x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ibn al-Haytham dan Hasrat akan Cahaya

Ibn al-Haytham telah menyediakan bukti eksperimental pertama bahwa cahaya tidak memancar dari mata manusia, seperti diajarkan oleh orang-orang Yunani.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam Kitab al-Manazir atau Buku Optika, Abu 'Ali al-Hasan ibn al-Hasan ibn al-Haytham—lelaki kelahiran Basra, 965 M—menawarkan solusi baru terhadap persoalan penglihatan (vision) dengan menyertakan penyelidikan eksperimental perilaku cahaya. Dalam buku setebal 7 jilid itu, Ibn al-Haytham mengusung bukti-bukti geometris serta pembahasan psikologi manusia tentang persepsi visual. Gagasannya ini membentuk alternatif yang utuh terhadap teori Euclidean dan Ptolemian mengenai ‘berkas visual’ yang dipancarkan dari mata.

Salah satu gagasan awal mengenai bagaimana penglihatan manusia bekerja berasal dari filosof Yunani bernama Empedocles pada sekitar tahun 450 SM. Dalam pandangan Empedocles, dewi Yunani Aphrodite telah meletakkan api di mata manusia, lalu manusia bisa melihat karena cahaya dari api yang memancar dari mata manusia menerangi obyek di sekelilingnya.

Meskpiun sejumlah orang menantang gagasan itu, gagasan bahwa cahaya dipancarkan oleh mata manusia mampu bertahan hingga tahun 1.000 Masehi. Hingga akhirnya seorang ilmuwan Muslim memberi kontribusi penting bagi kemajuan pengetahuan kita tentang watak cahaya dan, dengan melakukan hal itu, ia juga telah membangun pendekatan baru serta lebih ketat terhadap penelitian ilmiah, yakni bagaimana sebuah penelitian ilmiah harus dijalankan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kitab al-Manazir adalah salah satu kontribusi terpenting Alhazen (demikian orang Barat menyebut namanya) yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin sebagai Opticae Thesaurus Alhazeni. Lebih dari kontribusi terhadap bidang optika, karya luar biasa ini mendasarkan kesimpulannya di atas bukti-bukti eksperimental ketimbang sekedar penalaran abstrak—dan menjadikannya karya publikasi pertama yang melakukan hal itu.

Ibn al-Haytham melakukan penyelidikan mendalam mengenai cahaya, warna, bayangan, pelangi, refleksi dan refraksi (mendahului Snellius), maupun fenomena optis lainnya—hingga persepsi dan psikologi manusia terhadap cahaya. Ia bereksperimen di ruang gelap dengan lubang kecil di dinding. Di luar ruangan ia menggantungkan dua lentara pada ketinggian yang berbeda.

Ia lalu mendapati bahwa masing-masing lentera menerangi titik-titik yang berbeda di dalam ruang. Masing-masing titik cahaya membentuk garis langsung dengan lubang di dinding dan dengan lentera di luar ruangan.

Dengan melakukan hal itu, Ibn al-Haytham telah menyediakan bukti eksperimental pertama bahwa cahaya tidak memancar dari mata manusia, melainkan dipancarkan oleh obyek tertentu (seperti lentera) dan berjalan dari obyek-obyek ini mengikuti garis lurus. Eksperimen Alhazen mungkin terlihat sederhana dipandang dari masa sekarang, namun metodologinya groundbreaking: ia mengembangkan hipotesis berdasarkan observasi hubungan-hubungan fiisik (bahwa cahaya berasal dari obyek-obyek) dan kemudian mendesain eksperimen untuk menguji hipotesis tersebut.

Meskipun metode ini terbilang sederhana, eksperimen Ibn al-Haytham merupakan langkah kritis dalam mengguncang teori yang bertahan lama bahwa cahaya berasal dari mata manusia. Eksperimen itu juga merupakan peristiwa besar dalam perkembangan metodologi riset ilmiah modern.

Ilmuwan-ilmuwan dari masa kemudian membangun gagasannya di atas karya Alhazen. Setelah Alhazen mengemukakan bahwa cahaya yang diberikan oleh obyek-obyek memasuki mata manusia, maka pertanyaan berikut yang diajukan ialah “seperti apa sifat cahaya yang memasuki mata manusia?”

Dua teori mengenai sifat cahaya diperdebatkan selama bertahun-tahun. Isaac Newton merupakan salah satu pendukung utama teori yang menyebutkan bahwa cahaya terbuat dari partikel-partikel kecil. Naturalis Inggris Robert Hooke mendukung teori lain yang menyatakan bahwa cahaya merupakan sejenis gelombang, seperti gelombang suara.

Pada tahun 1801, Thomas Young melakukan eksperimen ilmiah yang kini klasik yang membantu menyelesaikan kontroversi ini. Young melakukan eksperimen menyerupai yang dilakukan Ibn al-Haytham dengan bekerja di dalam ruang gelap dan membiarkan cahaya masuk hanya melalui lubang kecil. Young lalu memfokuskan kembali berkas cahaya dengan cermin dan membagi berkas cahaya itu dengan kartu tipis terbuat dari kertas. Berkas cahaya yang terbelah kemudian diproyeksikan ke sebuah layar, dan membentuk pola gelap terang berganti-ganti. Ini merupakan tanda bahwa cahaya adalah gelombang.

Sekitar 100 tahun kemudian, pada tahun 1905, eksperimen baru membawa Albert Einstein kepada kesimpulan bahwa cahaya memiliki sifat gelombang dan sekaligus partikel—teori yang hingga kini secara umum diterima oleh para ilmuwan. Hampir 1.000 tahun sebelumnya, Ibn al-Haytham ikut berkontribusi di dalamnya lantaran hasratnya yang luar biasa terhadap cahaya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB