x

Iklan

Emanuel S Leuape Blonda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Arkeologi Estetika Tubuh (Perempuan)

Tubuh ada bersama kehidupan manusia dimulai, tubuh menjadi wacana yang terus-menerus berada pada reproduksi makna dan respon atas keberadaannya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tubuh senantiasa menjadi obyek kuasa secara anatomi-metafisik dan teknik-politis. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil, dan meningkat kekuatannya, demikian kata Michel Foucault dalam karyanya Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Moderen. Tubuh memang entitas paling purba, tubuh ada bersama kehidupan manusia dimulai, tubuh menjadi media jiwa bagi pencapaian eksistensinya, tubuh menjadi wacana yang terus-menerus berada pada reproduksi makna dan respon atas keberadaannya, tubuh menyimpan sejumlah misteri pemahaman atas dirinya, dan karenanya tubuh memang menarik dalam penelusuran esensinya. Dalam kebudayaan partiarkhi atau martiarki, perempuan dan tubuhnya menempati semacam posisi khusus dalam teater kehidupan sosial. Perempuan dan tubuhnya terhitung paling banyak hadir dalam teater sosial yang mempertonton estetika (keindahan) daripada tubuh laki-laki. Perempuan, makhluk Tuhan paling seksi, sebagaimana dalam penggalan lirik lagu Mulan Jamela paling tidak mengafirmasi dan menegaskan keindahan tubuh perempuan. Sebagai sesuatu yang dinilai indah, maka tubuh perempuan tak pernah lepas dalam teater kehidupan sosial. Tubuh perempuan dan teater sosial bertemu dan mereproduksi wacana keindahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan historia tubuh wanita dan nilai keindahannya dalam tiap peradaban manusia di belahan dunia manapun baik dalam budaya patriarkhi ataupun martiarkhi. Namun, pertanyaannya adalah apakah estetika tubuh perempuan hadir sebagai yang natural yang sudah indah pada dirinya sendiri dan merupakan persepsi bawaan lahir ataukah hanya sekedar konstruksi realitas dalam wujud pengetahuan yang terinternalisasi ke dalam benak para perempuan dan penikmat visual tubuh perempuan yang lambat-laun menjadi habitus (nilai yang dihayati) lantas diregenerasikan secara terus-menerus?

ESTETIKA TUBUH

Estetika dapat dimaknai sebagai filosofi mengenai sifat dan persepsi tentang keindahan yang dialami si subyek terhadap karya seni baik itu obyek kesenian alami (natural object) ataupun dari karya cipta manusia (artificial object). Ketika mengapresiasi keindahan sebuah subyek maka selalu timbul rasa tertarik (simpati) yang diikuti kehendak untuk memiliki dan menikmati keindahan itu lebih dari sebuah tatapan visual semata. Pemenuhan rasa keindahan akan tubuh tentu akan melibatkan sentuhan lebih daripada sekedar sebuah tatapan mata. Ini dapat dibaca sebagai insting kehendak berkuasa/penaklukan dalam konsepsi Nietzsche. Dalam pandangan esensialis tentang tubuh, maka kita percaya bahwa tubuh diciptakan oleh Tuhan sebagai primus interpares. Sehingga tubuh dikategorikan ke dalam keindahan akan kesenian yang alami. Jika persoalan keindahan ditetapkan sebagai kehendak subyektif aktor, maka jenis tubuh laki-laki dan perempuan dinilai secara subyektif oleh para penikmatnya sebagai yang indah atau tidaknya. Konsekuensinya, keindahan tidak hanya berlangsung di antara laki-laki dan perempuan, tetapi di antara sesama jenis; seorang laki-laki tertarik pada keindahan tubuh laki-laki dan seorang perempuan tertarik pada keindahan tubuh sesama wanitanya tanpa batasan normatif tertentu. Seorang ayah dapat tertarik pada keindahan tubuh putra atau putrinya, anak laki-laki dapat tertarik pada keindahan tubuh ibunya, anak perempuan tertarik pada keindahan saudara perempuannya, anak laki-laki tertarik pada keindahan tubuh saudara perempuannya. Ini bisa diperlawankan dengan keindahan sebagai satu konsesus sosial, maka jelas keindahan menjadi satu entitas normatif yang mengarahkan arah dan penerapan rasa indah pada jenis seks tubuh tertentu dan kriteria kualitas keindahannya. Ada konstruksi realitas secara sosial yang membatasi cita-rasa arah dan penerapan rasa keindahan akan tubuh. Anak laki-laki dilarang memiliki rasa indah akan tubuh ibunya atau saudarinya, ayah dilarang menikmati keindahan visual tubuh putrinya atau iparnya, tetapi wajar jikalau anak laki-laki menikmati keindahan visual teman/sahabat wanita.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berkaitan dengan kedua sudut pandang di atas, maka muncul pertayaan Apakah keindahan itu murni naluriah subyek atau memang naluriah subyek yang terakomodir batasan normatif sebagai konsesus sosial? Perspektif pertama melihat keindahan adalah sesuatu yang datang dari dalam diri subyek tanpa terkondisikan oleh batasan normatif tertentu. Artinya, keindahan tubuh-tubuh tertentu tidak ada pada dirinya sendiri tetapi merupakan hasil persepsi subyek secara mandiri. Dalam perspektif Cartesian yang mendewakan ratio dalam semboyan “cogito ergo sum”, maka persepsi keindahan tubuh menjadi domain murni hasil pikiran subyek tanpa terdistorsi oleh entitas-entitas realitas eksternal. Seolah-olah pikiran menjadi satu kemampuan bawaan lahir subyek tanpa perlu proses belajar sosial. Dalam jejak historis Yunani kuno, ritual pemujaan dewa-dewa mitologi Yunani dirayakan dengan menikmati keindahan tubuh-tubuh melalui laku hubungan seksual sebagai puncak penikmatan atas tubuh-tubuh. Bahkan tubuh dengan busana dianggap sebagai patologi sosial karena tidak menghargai keindahan. Ini dilakukan jauh sebelum kehadiran masa kegelapan (The Dark Age) pada abad ke-19 yang hadir untuk merepresi tubuh-tubuh seturut pemaknaan dogmatis agama dan kaum viktorian (borjuis). Mengutip Foucault dalam karya Seks dan Kekuasaan: “Pada abad ke-17, konon masih berlaku keterbukaan tertentu. Kegiatan seksual (tubuh) tidak ditutupi. Kata-kata bernada seks dilontarkan tanpa keraguan, dan berbagai hal yang menyangkut seks tidak disamarkan. Ketika itu yang haram dianggap halal. Ukuran tingkah laku vulagar, jorok, tidak santun sangat longgar, jika dibandingkan dengan abad ke-19. Kita bisa menemukan berbagai kial yang menjurus, kata-kata polos, pelanggaran norma yang terang-terangan, aurat tubuh yang dipertontonkan, anak-anak bugil yang lalu-lalang tanpa rasa malu ataupun menimbulkan reaksi orang dewasa: tubuh-tubuh, pada waktu itu tenggelam dalam keasyikan…namum keterbukaan yang bak siang hari itu segera disusul senja, sampai tiba malam-malam monoton kaum borjuasi viktorian…kekhasan masyarakat moderen bukanlah bahwa bahwa masyarakat itu memaksa seks untuk berada di kegelapan, melainkan bahwa masyarakat itu terpaksa selalu membicarakannya, dengan mengunggulkannya sebagai sang rahasia.” Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa ada satu transformasi pemaknaan terhadap konsep keindahan tubuh yang ditandai oleh adanya perubahan dari satu bentuk keterbukaan tubuh dalam teater sosial sebelumnya kepada trisabda konsep keindahan atas tubuh: pantangan, ketiadaan, dan kebungkaman. Keindahan tubuh tidak dapat lagi maknai sebagai ketelanjangan tubuh tanpa sehelai benang pun, apalagi ritual penikmatan atas tubuh-tubuh tersebut tanpa batasan normatif. Dan pada akhirnya, di era kekinian wacana ketelanjangan tubuh sebagai konsep keindahan tubuh kembali muncul, diperjuangkan, dan diperbiasakan dalam atmosfer liberalisme sang aktor. Konsep keindahan tubuh yang bereksistensi dalam ratio Cartesian rupanya tidak pas dalam membaca gerak perubahan dari masa ke masa, karena ratio yang diagung-agungkan oleh kaum Cartesian mampu mereproduksi pengetahuan murni dalam kemandirian ratio ternyata difalsifikasi oleh adanya pengetahuan yang disuntikan dari luar. Jika memang benar ratio akan keindahan tubuh sebagai naluriah yang terbawa dari lahir secara sama di antara manusia (dan juga sama sebagai citra Penciptanya), maka tentu konsep keindahan tubuh tidaklah mengalami perubahan. Yang terjadi adalah terjadi represi dari aktor sebagai subyek yang mewacanakan pengetahuan kepada aktor sebagai  obyek yang dimaksud menerima wacana tersebut. Ini tentunya mengindikasikan adanya intensi subyek dalam konstruksi makna terhadap tubuh. Kenyataannya, perubahan tersebut memang merupakan hasil konstruksi pengetahuan manusia secara internal, tetapi hal yang perlu digarisbawahi adalah pengetahuan manusia tersebut tidak murni bio-produksi dalam ratio, melainkan pengetahuan itu diresapi oleh realitas eksternal, yaitu wacana pengetahuan yang datang dari luar, diterima, dan menghasilkan daya kuasa dalam diri subyek sehingga mempengaruhi cara pandang, sikap, dan wujud tindakan yang sesuai dengan resapan pengetahuan yang datang dari luar tersebut. Hingga pada titik ini kita bisa memahami bahwa terdapat serangkaian persepsi pengetahuan atas tubuh dan keindahannya. Lantas muncul pernyataan lanjutan, jika ratio tidak benar-benar murni, maka naluriah keindahan atas tubuh merupakan kehendak yang menjadi entitas bawaan lahir aktor. Kembali kepada konsep Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa. Tiap manusia memiliki kehendak untuk mengatasi kehidupannya dari yang satu bentuk (laku) hidup ke bentuk hidup yang idealkan. Bahkan Schopenhauer menyakini kehendak metafisisnya sebagai yang terus hidup sepanjang hayat manusia dan kehendak itu berhenti ketika manusia mati. Baik Nietzsche atau Schopenhauer sama menyakini kehendak manusialah yang menjadi ciri khas manusia dibedakan dari makhluk hidup lain dan menjadi dasar utama manusia mencapai revolusi perkembangan kualitas kehidupan yang lebih cepat dan baik ketimbang makhluk hidup lainnya. Schopenhauer melihat ratio yang yang diprioritaskan oleh Hegel hanya merupakan pelayan kehendak. Kedua filsuf ini hanya dibedakan pada alasan bagaimana kehendak manusia bekerja, tetapi intinya keduanya memprioritaskan kehendak. Benar bahwa kehendak itu naluriah, tetapi kehendak itu tidak bisa menjadi aspek tunggal dalam mendorong sikap dan tindakan manusia tanpa melalui pikiran yang berisi pengetahuan. Jika kita percaya bahwa secara naluriah ketertarikan subyek akan keindahan tubuh murni kehendak, maka tidak mungkin ada perbedaan sikap dan tindakan manusia dalam merespon tubuh sebagai entitas yang estetis. Sebaliknya, ada distingsi perspektif dalam mewacanakan tubuh dan keindahan disebabkan karena adanya pengetahuan yang berbeda, antara yang mewacanakan pengetahuan dan yang menjadi obyek hegemoni wacana pengetahuan tersebut, antara yang merepresi melalui wacana pengetahuan dan yang direpresi oleh wacana pengetahuan tersebut. Padahal kedua sama sebagai subyek manusia yang memiliki kehendak. Dengan demikian, perspektif keindahan atas tubuh tidak murni naluriah, melainkan hasil percampuran antara kehendak naluriah (insting) dan ratio pengetahuan subyek yang direpresi wacana dari luar dirinya. Lebih tepatnya, keindahan dihasilkan oleh proses mental dan fisiologis individu. Akhirnya, tubuh dan keindahan merupakan perangkat wacana yang sama-sama berlandaskan internalisasi pengetahuan. Tiap aktor individu memiliki daya ekspresi berskala mikro (micro forces of expression) yang diwujudkan dalam susunan unsur-unsur pembentuk persepsi dan sistem makna (keindahan), seperti: kebiasaan berpikir, perasaan (aspek emotif), tindakan, dan sistem pembentuk nilai yang direfleksikan dari akal budinya sehingga tidak murni naluriah yang sudah ada. Keindahan sebagai konstruksi persepsi tiap aktor tidak pernah murni reproduksi ratio yang berapriori mandiri tanpa tangkapan pancaindera dan proses internalisasi pengetahuan ke dalam benak, sehingga ini tentunya mengesampingkan pandangan keindahan subyektif aktor sebagai yang terberi dari lahir. Jelas keindahan sebagai obyektifikasi wacana luar murni konstruksi karena adanya pertentangan dan pertarungan wacana pengetahuan antara individu.

ESTETIKA TUBUH PEREMPUAN

Jika tubuh dan keindahan menjadi perangkat wacana pengetahuan yang dikonstruksi, maka estetika tubuh perempuan pun dibangun di atas wacana pengetahuan yang mengendalikan kualitas keindahan dalam persepsi aktor. Keindahan yang terdapat pada tubuh perempuan berbeda dengan keindahan yang terdapat pada tubuh laki-laki. Keindahan yang khas dari tubuh perempuan memuat cita-rasa estetis yang unik. Seringkali apa yang dikenakan pada perempuan dikaitkan dengan keindahan. Sama halnya dengan teater yang merupakan bagian dari kesenian tidak mungkin lepas dari unsur estetika. Persamaan itu telah mempertemukan perempuan dan teater sebagai media representasinya yang melahirkan cita-rasa keindahan. Dalam teater, tubuh perempuan menjadi simbol yang merujuk pada acuan imaji (ide) keindahan. Keindahan ini tidak bisa dibaca dalam pemaknaan dalam paradigma semiotika (Pierce, Saussure, Barthes, dan lainya) karena keindahan itu sendiri menyatu dengan tampilan tubuh itu sendiri. Misalnya: kita melihat gelas sebagai yang hadir dengan bentuk tertentu, kualitas warna tertentu, dengan kualitas kepadatan tertentu, dan kualitas berat tertentu, tanpa berpretensi melihat makna lain dibalik gelas tersebut, seperti: moderenitas, kapitalisme, dan sebagainya. Demikian pun keindahan tubuh perempuan dipersepsikan indah dari susunan tampilan visual adanya tanpa mencoba menggali makna lain dibalik tubuh perempuan itu sendiri. Keindahan tubuh perempuan bukanlah acuan/rujukan dari tubuh itu sendiri, tetapi ia menjadi cita-rasa yang diperoleh secara langsung oleh individu yang mempersepsikannya. Tubuh perempuan itulah keindahan, bukan mengacu pada entitas makna yang lain. Terdapat banyak kriteria dalam mempersepsikan tubuh perempuan sebagai sesuatu yang indah dan jelas itu bukan murni naluriah atau juga bukan murni ratio atau juga bukan murni emosi atau juga bukan murni pengalaman atau bahkan bukan murni proses mental, tetapi lebih merupakan percampuran semua aspek mental dan fisiologis individu. Pada hal ini, tesis Sarte tentang kehadiran (keberadaan) eksistensi manusia mendahului esensinya (hakikat/ideal) harus dimaknai secara hati-hati. Bagi perempuan sebagai subyek pemilik tubuhnya, eksistensi tubuhnya memang harus terlebih dahulu disadari sebelum menyentuh esensinya. Eksistensi manusia perempuan (dalam penyatuan tubuh dan jiwa) tentunya harus ada (dilahirkan) sebelum perempuan itu sendiri memaknai secara lebih tubuhnya. Tanpa tubuh kita tidak mungkin memaknai tubuh kita dan tanpa jiwa, kita mustahil mengenali tubuh kita karena tubuh kita mati. Tubuh dan jiwa adalah dualitas yang saling mengadakan dan mempertegas identitas kita sebagai human, kendati belum menjamin aspek humanity kita. Sebaliknya, jika kita memandang tubuh perempuan sebagai obyek yang menjadi kepunyaan orang lain, maka eksistensi dan esensi bersifat fleksibel. Artinya, kita dapat memandang tubuh sebagai yang ada dalam tangkapan pancaindera lalu berabstraksi tentang esensinya atau kita dapat memperoleh pengetahuan yang menggambarkan tubuh perempuan tanpa kita harus menginderai tubuh tersebut. Misalnya: andai saja kita melihat tubuh perempuan dan kita akan mampu berabstraksi tentang bagaimana memaknai hakikat tubuh tersebut atau jikalau bayi yang dibesarkan dari kecil dengan tidak pernah melihat sosok tubuh yang namanya perempuan, tapi dia masih bisa berabstraksi dengan sosialisasi dan internalisasi pengetahuan sehingga dia dapat membayangkan bagaimana sosok tubuh seorang perempuan dalam benaknya. Sebagai konstruksi, keindahan tubuh perempuan pada dasarnya tetap berangkat dari wacana pengetahuan. Pengetahuan yang disosialisasi dan dinternalisasi pada bayi sekalipun tetap berangkat dari pengetahuan sebagai hasil “persepsi yang menubuh” dalam pandangan Ponty. Dalam menengi pertentangan antara idealisme dan empirisme dalam hal pengetahuan, maka tesis Ponty ini dinilai cukup baik mengsolusikan bagaimana sebuah pengetahuan diproduksi dan direproduksi, tak terkecuali tentang pengetahuan tentang keindahan tubuh perempuan. Kalau diasumsikan keindahan itu subyektif, maka tiap individu punya cita-rasa keindahan khas dalam mempersepsikan tubuh perempuan sebagai yang estetis. Kriteria dalam mempersepsikan keindahan tubuh perempuan pun khas bagi subyek. Sedangkan asumsi keindahan tubuh perempuan sebagai satu persepsi yang obyektif, maka kriteria yang dipakai pun obyektif.

Di samping keindahan, tubuh perempuan dapat dimaknai secara beragam. Ditinjau dari sisi anatomi, tubuh perempuan merupakan kompleksitas biologis yang mengagumkan dan signifikan bagi kelangsungan hidup manusia. Keindahan tubuh perempuan diagungkan dalam kegiatan ritual manusia dan dimaknai keindahannya secara simbolik, seperti pentas drama atau seni lukis. Bagi perempuan sebagai pemilik tubuhnya, ia menjadikan tubuhnya sebagai modal untuk menciptakan dan membentuk manusia baru atau untuk presentasi simbolik lainnya. Salah satu pementasan teater yang membahasakan tubuh perempuan secara tekstual adalah Vagina Monolog karya Eve Ensler. Bagian diri manusia yang paling transparan untuk diekspos adalah tubuh, sekaligus sebagai entitas purba yang paling misteri untuk disingkap. Tubuh bagaikan sebuah puzzle yang kerap kali membuat orang bingun darimana harus mulai menyusunnya atau seperti cuplikan adegan yang kita tidak tahu apakah itu awal, tengah, atau akhir. Kerumitan ini juga dialami oleh sosiologi tubuh yang berusaha menemukan satu penjelasan fundamental dalam mengenali tubuh sebagai teks dan representasi atau tubuh sebagai habitus dan praktik. Dalam kajian dan pemahaman tentang tubuh, sosiologi tubuh berusaha menawarkan satu refleksi kritis sosiologis tentang pemisahan antara pikiran (rohaniah) dan tubuh (jasmaniah) yang telah jauh dicetuskan Cartesian. Bahkan dalam kajian filsafat, salah satunya Ponty, telah berusaha memberikan satu sudut pandang baru tentang dari dualisme kepada dualitas jiwa dan tubuh. Tinjauan-tinjaun ini setidaknya membuktikan bahwa tubuh sebagai satu ontologi yang esensi dan natural adalah sebuah ilusi dalam pencarian kebenaran obyektif tentang tubuh. Yang sudah dan sedang terjadi adalah hanya konstruksi epistemologi yang hampir mencapai kebenaran pemaknaan tentang tubuh, di antaranya: makna tubuh sebagai metafora yang selalu ada terkait hubungan sosial dan politik sepanjang sejarah manusia, tubuh sebagai kriteria keteraturan sosial dalam oposisi biner antara keseimbangan tubuh dan ketidakseimbangan tubuh, dan sebagainya. Bahkan penyebutan kata “tubuh” itu sendiri pun hasil konstruksi makna untuk menandai satu entitas material yang diacu imaji akustik “tubuh”. Persoalan selanjutnya adalah apakah keindahan tubuh perempuan merupakan hasil kegiatan mental subyek yang mempersepsi atau ada semacam aspek keindahan yang melekat pada tubuh perempuan itu sendiri sehingga dipersepsi sebagai keindahan? Untuk yang pertama dilihat keindahan tubuh perempuan sebagai persepsi subyektif aktor. Bernedeto Croce dalam karyanya Aesthetics mencoba memahami aspek estetis dengan analisa mengenai kejiwaan. Keindahan (seni) merupakan kegiatan kejiwaan. Keindahan dipandang sebagai hasil kegiatan intuisi serta pengungkapan perasaan. Tidak ada batasan obyektif tentang kriteria tubuh perempuan sebagai sesuatu yang indah. Artinya, keindahan atas tubuh perempuan lahir dari dalam diri aktor yang mempersepsi.  Ini bisa dibandingkan dengan pengetahuan obyektif-universal tentang keindahan yang akan dijelaskan. Kendati sebagai kegiatan intuisi dan ungkapan perasaan, keindahan ini juga hadir sebagai satu bentuk pengetahuan. Pengetahuan obyektif-universal menyangkut persoalan kriteria obyektif yang dipakai sebagai acuan dalam melihat tubuh perempuan sebagai yang estetis. Tubuh perempuan dikatakan estetis jika kualitasnya nampak suturut pengetahuan obyektif demikian. Hal ini disebut pengetahuan konseptual, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang diobyektifkan (melalui konsesus atas wacana) sebagai satu ide/gagasan yang berlaku universal. Sebaliknya, keindahan sebagai kegiatan intuisi dan ungkapan perasaan lahir sebagai bentuk pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara imajinasi. Pengetahuan intuitif bukanlah berupa pengertian-pengertian akali (concept), melainkan berupa citra (image) dank arena keindahan yang dimaksud tidak berkaitan dengan hal-hal semesta (universal), melainkan dengan hal-hal subyektif (individual). Akan tetapi, keindahan tidak semata lahir dari dalam diri aktor secara apriori. Santayana dalam bukunya yang berjudul The Sence of Beauty mempunyai usaha satu langka lebih komplit dalam menjelaskan hakikat keindahan itu sendiri. Baginya, keindahan memang bisa subyektif sebagai kegiatan ituitisi dan ungkapan perasaan aktor, tetapi tidak akan pernah lepas dari pencerapan pancaindera terhadap obyek. Upaya Santayana ini memang tidak berlaku secara universal atau kaku, sebab manusia juga memiliki konstruksi keindahan secara imajinatif tanpa harus mengacu pada obyek yang nyata ada. Namun, dalam mempersepsikan tubuh perempuan sebagai sesuatu yang indah, maka jelas harus melalui pencerapan pancaindera aktor. Sesubyektif apapun aktor dalam menentukan indah tidaknya tubuh perempuan, ia memang harus mengalami kehadiran tubuh itu sendiri. Penjelasan ini tidak berarti ada aspek keindahan yang melekat pada tubuh sebagai yang objektif, tetapi rasa keindahan itu tetap merupakan kegiatan hasil persepsi (kejiwaan) atas respon (pemahaman) kehadiran tubuh dengan kualitas visual. Tepatnya, Santayana keindahan sebagai “rasa nikmat yang diobjektivikasikan”. Misalnya: kita bangun di pagi hari dan mengalami pancaran matahari, kita merasa sehat, dan secara umum merasa nikmat lantas kita berkata: “indah nian pagi ini”. Sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah, tetapi hanya perasaan nikmatlah yang kita alami. Dalam hal ini, kita cenderung mengalihkan perasaan nikmat menjadi sifat obyek, artinya memandang keindahan sebagai sifat obyek yang kita cerap. Padahal sebenarnya rasa nikmat (keindahan) sebenarnya tetap merupakan perasaan. Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas obyek, melainkan sesuatu yang senantiasa berkaitan dengan perasaan. Tidak mungkin ada keindahan yang terlepas dari pemahaman (perasaan) kita mengenai obyek. Secara alamiah, tubuh perempuan tidak pernah dikonstruksi menjadi sesuatu yang indah. Keindahan tubuh perempuan lahir sebagai persepsi aktor setelah mencerap keberadaan tubuh itu sendiri. Sehingga jelas, tubuh perempuan punya dampak indah tidaknya selalu bergantung pada subyek yang mempersepsikannya. Dalam sudut pandang kedua, Jacques Martin dalam karyanya Art and Scholasticism (ide dasar dari pemikiran Thomas Aquinas) menentang subyektivitas aktor dalam mempersepsi keindahan yang berdasarkan intuisi dan ungkapan perasaan dengan menyatakan bahwa keindahan bukanlah tangkapan intuisi/perasaan, tetapi selalu melalui akal (pikiran). Sehingga keindahan adalah tangkapan akali. Pemikiran ini setidaknya menegaskan bahwa keindahan melekat pada obyeknya dengan syarat/kriteria tertentu yang dicerap oleh pancaindera. Martin beranggapan bahwa keindahan terjadi bilamana terjadi “kesenangan pada akal”. Syarat obyek yang dapat menimbulkan kesenangan pada akal menurut Martin yaitu: “akal merasa senang pada sesuatu yang indah, karena di dalam sesuatu yang indah ia menemukan kembali dirinya, mengenal dirinya kembali, dan berhubungan dengan pancarannya sendiri.” Obyek dikatakan indah jika obyek tersebut memiliki kesesuaian dengan akal, yang menyangkut: aspek kesempurnaan, ketertiban, dan kejelasan. Pemahaman akan obyek sebagai yang indah terlebih dahulu ditangkap oleh pancaindera aktor dan berakhir pada konstruksi pengetahuan atas obyek tersebut. Sehingga untuk mempersepsikan obyek sebagai yang indah maka ada penangkapan bentuk obyek. Dengan berpijak pada asumsi estetis Martin, maka setidaknya ada 2 kemungkinan bilamana keindahan hadir sebagai tangkapan akali. Pertama, keindahan tubuh perempuan akan menjadi persepsi yang subyektif bagi aktor apabila kriteria aspek kesempurnaan, ketertiban, dan kejelasan tampilan visual tubuh memiliki standar kualitas yang berbeda-beda bagi aktor. Kedua, keindahan tubuh perempuan akan menjadi satu kenyataan obyektif bilamana tiap-tiap aktor memiliki kesamaan rasa keindahan pada satu tubuh perempuan. Keindahan sebagai tangkapan akali jelas mengacu pada satu entitas yang empiris, bukan yang metafisis. Dengan berlandaskan pada obyek empiris, maka tidak juga menutup kemungkinan bahwa tiap orang memiliki tangkapan akali yang sama terhadap obyek keindahan tersebut. Akan tetapi, dalam keobyektivan persepsi keindahan demikian mensyaratkan adanya 3 kriteria yang sama kualitasnya pada tiap orang. Untuk menjadi sama, maka tentunya dibutuhkan satu pengalaman yang sama yang ditandai transfer pengetahuan yang sama pula. Dewey dalam karyanya Art as Experience menegaskan aktor senantiasa mengacu kepada pengalaman sebagai unsur hakiki dalam penilaian estetis. Keindahan dapat dikenal melalui pengalaman, dan terbentuk oleh pengalaman dengan membayangkan sesuatu. Sebagai satu pengalaman, maka keindahan itu merupakan akumulasi pengetahuan dalam benak aktor. Ini berkaitan dengan teori Tabula Rasa yang menegaskan aktor individu lahir bagai kertas kosong yang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangannya senantiasa diisi dengan eksistensi pengalaman dan belajar sosial. Sehingga keindahan akan tubuh perempuan sebagai pengalaman yang terus menerus dialami oleh aktor, mengkonstruksi persepsinya, dan menimbulkan cita rasa keindahan pada tubuh perempuan itu sendiri.

Tubuh perempuan merupakan entitas material yang dipandang indah. Baik keindahan sebagai intuisi dan ungkapan perasaan ataupun tangkapan akali sama-sama tidak bisa mengabaikan tubuh material perempuan itu sendiri. Persepsi indah-tidaknya tubuh perempuan tidak dapat dipisahkan dari eksistensi tubuh material perempuan itu sendiri. Ini artinya, dalam mempersepsi tubuh perempuan aktor senantiasa menggunakan pancainderanya dalam mencerap eksistensi tubuh material tersebut. Dalam berapriori tentang esensi tubuh perempuan sekalipun tetap berangkat dari pengalaman penginderaan atas tubuh material perempuan itu sendiri. Selain itu, kedua perspektif ini juga sama-sama menandai proses mental manusia. Intuisi/perasaan dan akal merupakan 2 entitas kejiwaan manusia. Keduanya menandai kemampuan aktor dalam mempersepsikan tubuh perempuan sebagai yang indah. Dalam inti pemikiran Berkeley “Esse est Percipi” (Ada sesungguhnya hanya persepsi), maka keindahan tubuh perempuan hadir sebagai persepsi aktor yang mengadakan, bukan keindahan merupakan kualitas yang sudah ada pada tubuh perempuan itu sendiri. Bahkan tubuh perempuan yang bereksistensi hanya karena persepsi manusia yang mengadakannya. Ini dipertentangkan dengan konsep “Das Ding an Sich” Kant bahwa entitas material sesungguhnya ada pada dirinya sendiri dan cukup dapat mengadakan keadaannya pada tangkapan pancaindera dan persepsi manusia. Sehingga keindahan sesungguhnya sudah ada pada tubuh perempuan dan dapat bereksistensi bagi aktor. Akan tetapi hal perlu ditelisik, yaitu aktor tidak mungkin mengadakan tubuh perempuan dan keindahannya tanpa mencerap kehadiran tubuh material perempuan itu sendiri dan juga tidak mungkin tubuh perempuan (sekalipun tubuh itu dihidupi oleh tuannya) dapat serta-merta mengadakan diri dan keindahannya tanpa persepsi aktor. Guna menengahi kontradiksi antara idealisme dan materialism ini, Ponty menegaskan bahwa persepsi dan realitas material itu merupakan dualitas yang saling mengadakan. Ponty memperkenalkan konsep “persepsi yang menubuh” dengan mau mengatakan bahwa tubuh perempuan dan keindahanya ada karena aktor mempersepsi tubuh perempuan dengan pertama-tama menginderai tubuh material. Tanpa penginderaan terhadap material tubuh tidak mungkin ada persepsi dan tanpa persepsi tidak mungkin material tubuh itu dikenali oleh aktor. Bahkan citra indera akan tubuh material itulah persepsi manusia dalam tingkatan kemampuannya yang paling rendah, yaitu: melihat disamping kemampuan lainnya, yaitu: mengerti, mengetahui, dan memahami. Pertanyaan apakah tubuh perempuan dan keindahannya adalah konstruksi pengetahuan manusia semata atau keindahan itu memang sudah ada secara natural pada tubuh perempuan itu sendiri? Hume berpendirian bahwa yang diketahui subyek individu hanyalah persepsi, bukan obyek. Sehingga aktor mengadakan tubuh hanya dalam pengetahuannya. Dalam sudut pandang yang agak sedikit fleksibel, entitas material yang dinamakan tubuh perempuan memang ada di luar diri manusia, tetapi penyebutan entitas material itu sebagai tubuh perempuan merupakan konstruksi pengetahuan dan persepsi manusia. Aktor menangkap ciri-ciri visual material tubuh perempuan dan membuat kesatuan artifisial atas ciri-ciri itu dalam konsep pengetahuan yang disebut tubuh perempuan. Hal yang sama pun terjadi pada aktor dalam mempersepsi keindahan tubuh perempuan. Indah-tidaknya tubuh perempuan merupakan hasil penyatuan artifisial bentuk, pola, struktur, ciri-ciri visual material tubuh perempuan yang bekerja dalam kesatuan indera dan aspek mental aktor. Sekilas ini tentunya bertentangan dengan konsep Ponty tentang “persepsi yang menubuh”, tetapi sebenarnya Ponty hanya mau menjelaskan proses pembentukan pengetahuan manusia terhadap entitas material. Ponty tidak sedang mengatakan bahwa entitas material mampu menjelaskan dirinya sendiri pada aktor, tetapi entitas material itu ada dan diketahui oleh aktor dalam dualitas pancaindera dan aspek mental. Sehingga pada titik ini, aktor manusialah yang aktif memulai mengadakan dan mengetahui tubuh perempuan dan aspek keindahannya. Ada 2 kemungkinan bilamana tiap aktor mempersepsikan tubuh perempuan secara subyektif (khas) sehingga persepsi keindahan tubuh perempuan itu dapat berbeda antar aktor dan segenap aktor memiliki persepsi yang sama terhadap keindahan tubuh perempuan. Awalnya persepsi keindahan tubuh perempuan sangat subyektif bagi tiap aktor dan dalam kemungkinan selanjutnya dapat menjadi obyektif (sama) di antar aktor. Persepsi aktor tidaklah tersusun secara tunggal atas satu aspek mentalitas aktor, tetapi terjalin atas: aspek ratio (pikiran), aspek emotif (intuisi/perasaan), dan historika hidup semenjak bayi. Semua unsur pembentuk ini dilihat sebagai aspek pengetahuan aktor karena kehadirannya selalu dalam kesadaran minim atau utuh aktor. Sehingga untuk menjawab pertanyaan kenapa keindahan tubuh perempuan hadir sebagai persepsi yang obyektif, maka pengetahuan (wacana) yang mengkondisikan bagaimana antar aktor memiliki sudut pandang yang sama tentang keindahan. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya sedari bayi, aktor terus mengalami internalisasi pengetahuan dalam proses belajar sosialnya. Baik itu berkaitan kebiasaan berpikir, merasakan, pematangan insting, dan pengalaman perilakunya sehari-hari. Akhirnya semua ini menjadi habitus yang dihayati dalam keseharian hidupnya dan menjadi kriteria-kriteria dalam laku hidupnya. Hal yang ingin ditekankan di sini adalah bagaimana habitus yang dihayati dan dilakoni aktor hadir sebagai konstruksi pengetahuan sosial (konsesus) yang terus-menerus dihidupi dalam satu lingkup kelompok sosial yang pada akhirnya menjadi standar-standar persepsi bagi segenap aktor anggotanya. Keindahan tubuh perempuan dalam batasan wacana sosial demikian tentunya berkontribusi dalam menjelaskan bagaimana satu kelompok sosial tertentu terkondisikan dalam penilaian obyektif terkait keindahan tubuh perempuan. Sebagai wacana yang dikonstruksi secara sosial sekalipun, persepsi aktor tidak murni hadir karena pengaruh habitus yang dihidupi secara sosial. Persepsi aktor dapat saja berubah sewaktu-waktu karena proses belajar sosialnya. Subyektivitas aktor dalam mempersepsi keindahan tubuh perempuan di bawah tekanan habitus sosial yang dihayati selalu dapat terjadi karena persepsi itu tidaklah tersusun secara tunggal sebagai aspek rohaniah aktor. Ini menandai kedinamisan persepsi aktor dalam mempersepsikan aspek estetis tubuh perempuan.

ESTETIKA TUBUH PEREMPUAN DALAM WACANA

Berbicara soal wacana (pengetahuan), maka selalu pasti memiliki kandungan adanya asumsi konstruksi sosial. Pandangan bahwa tubuh dikonstruksi secara sosial merupakan perspektif yang dominan dalam sosiologi moderen dan terkait erat dengan gerakan-gerakan sosial radikal, yang biasanya menggunakan konstruksionisme sebagai suatu alat kritik untuk menentang pandangan bahwa tubuh hanyalah obyek alam semata. Beaviour dalam karyanya The Second Sex menegaskan bahwa konsep perempuan itu tidak dilahirkan namun menjadi perempuan itu melalui proses sosial dan psikologis yang membentuknya menjadi perempuan sesungguhnya. Secara obyektif, asumsi ini dapat dilihat dalam eksistensi individu manusia (dilihat sebagai patologi sosial) yang disebut banci/bencong dan tomboy. Dalam wacana universal, perempuan dalam tampilan dan fungsi fisiologis, perempuan dilihat sebagai yang memiliki vagina dan payudara, memiliki kulit yang relatif halus, berambut panjang, mengalami kehamilan, menyusui bayi, dan lainnya. Dalam tampilan dan fungsi psikologis, perempuan itu adalah yang berperangai lemah-lembut, punya perasaan yang sensitif, berpikir praktis dan domestik, dan sebagainya. Gambaran baik secara fisiologis ataupun psikologis ini nampaknya agak kabur dengan eksistensi mereka yang disebut sebagai banci atau tomboy. Kategori banci merujuk kepada mereka yang secara fisiologis dinamakan kaum laki-laki tetapi memiliki kondisi psikologis kaum perempuan. Sebaliknya, kategori tomboy mengacu kepada mereka yang secara psikologis menampilkan karakter kaum laki-laki, tetapi dalam visual tubuh mereka masuk dalam kategori kaum perempuan. Ketidaksesuaian wacana seksualitas tentang tubuh ini dapat dilihat dalam 2 perspektif sebagai yang relatif sama selaku hasil konstruksi sosial, yaitu: tubuh yang menghabitus dan tubuh yang dipertunjukan. Tubuh yang menghabitus lebih bersifat ekspresif karena berangkat dari satu penghayatan yang mendalam oleh tuannya. Sedangkan tubuh yang dipertujukan merupakan tampilan tubuh-tubuh yang indikatif dan fungsional karena dilakoni dengan maksud dan tujuan tertentu. Kedua ini sama sebagai hasil konstruksi tetapi dibedakan berdasarkan jarak antara tubuh dan kesadaran subyek pemiliknya. Kembali pada persoalan wacana seksualitas, guna menunjukkan kategori seksualitas sebagai konstruksi perlu juga dibedakan antara tubuh dan kemenubuhan. Tubuh adalah entitas material yang secara obyektif kita persepsi (aspek fisiologis) dan kemenubuhan yang merupakan aktivitas penghayatan subyek dalam memperlakukan tubuhnya (aspek psikologis). Dalam banyak kajian tentang konsep seksualitas, pertumbuhan dan perkembangan individu untuk menjadi perempuan atau laki-laki mendapat pengaruh yang cukup besar dalam lingkungan sosialnya. Ini berkaitan dengan bagaimana individu melakukan proses belajar sosial untuk menemukan jati diri (seksualitas) dan perlakuan sosial terhadap tubuhnya. Dalam aktivitas belajar sosial, maka wacana pengetahuan tentang seksualitas akan disosialisasikan dan diinternalisasikan oleh individu sebelum proses identifikasi dan penghayatan kemenubuhan terhadap tubuh biologisnya. Yang bervagina dan berbuah dada harus bermain boneka barbie, berperangai lembut, belajar memasak, tidak mencukur rambutnya hingga botak, mengenakan rok, dan lainnya. Yang memiliki penis harus bermain bola, berperangai kasar/keras, tegar dan tegas, tidak boleh mengenakan rok, dan lainya.  Wacana pengetahuan itu akan terkonstruksi dalam benak individu dan terpelihara (lestari) dalam kontrol sosial dalam batasan normal dan patologis. Realitas ini akan menjadi sangat kontrol jika dibandingkan dengan wacana pengetahuan tubuh dan kemenubuhannya dalam konteks lingkup sosio-kultural lain atau dalam jejak historis perkembangan peradaban manusia. Sistem sosial yang matrilineal yang menjadi realitas lain dalam pengetahuan mayoritas bangsa Indonesia yang menganut sistem patrilineal cukup menandai adanya kandungan bentukan sosial. Saya pikir ini sudah menjadi pemahaman bersama, terutama di antara kaum intelektual ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Bagaimana dengan keindahan tubuh (perempuan)? Tentunya keindahan adalah aktivitas perseptual aktor individu terhadap satu tubuh (material) dengan melibatkan segenap habitus pikiran, perasaan, intuisi, insting, dan pengalaman hidup. Keindahan adalah persepsi yang menubuh yang terbentuk dalam sejarah historis pertumbuhan dan perkembangan aktor individu. Sebagai yang historis, maka ada 2 hal yang menandai periode perjalanan aktor, yaitu pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman aktor dimaknai sebagai proses keberadaan aktor dalam ruang dan waktu. Waktu itu terus berjalan dan turut pula mempengaruhi dinamisasi ruang sehingga pengalaman bisa saja berbeda ketika dialami oleh aktor bahkan dalam hitungan waktu yang sangat singkat. Nah, pada momen-momen demikianlah, aktor masuk dalam proses belajar sosial minimal dalam atensi terhadap realitas tertentu yang dialami (kendati tidak semua) atau maksimal dalam intensi belajar (hampir banyak realitas). Apa yang dipelajari inilah yang menjadi entitas pengetahuan aktor. Pengetahuan tidak hanya persoalan rasionalitas semata, tetapi juga pengalaman kepernahan merasakan, berintuisi, praktik insting oleh aktor ketika mengalami realitas dalam tiap periode kehidupannya. Aktor senantiasa mengalami realitas dan belajar terhadap pengalaman hidup demikian yang selanjutnya tersimpan dalam pengetahuan aktor yang pada waktunya mempengaruhi aktor dalam mempersepsi realitas. Persepsi keindahan oleh aktor juga dihasilkan dari mekanisme demikian. Tetapi di sini kita perlu berhati-hati dalam membedakan konstruksi sosial dan konstruksi individual. Sebab dalam kenyataan dapat ditemukan dinamisasi kerja kedua ragam konstruksi pengetahuan ini. Dalam habitus hidup (termasuk kriteria keindahan) aktor dapat saja cenderung kuat dipengaruhi oleh wacana pengetahuan sosial, tetap tidak menutup kemungkinan muncul cita rasa keindahan yang khas dan lain oleh aktor dari yang diwacanakan secara sosial. Seorang yang beretnis Jawa atau Sunda menginternalisasi wacana pengetahuan keindahan tubuh perempuan, salah satunya adalah berkulit putih. Pertanyaannya, apakah wacana sosial tersebut menjadi jaminan permanesitas kriteria persepsi dalam mempersepsi tubuh perempuan? Saya pikir ini bersifat relatif karena wacana sosial tidak bekerja secara tunggal dalam persepsi aktor. Aktor selalu terkondisi dalam kepemilikan pengalaman hidup yang kompleks dan mempelajarinya sebagai pengetahuan yang akhirnya menjadi habitus dalam persepsinya. Sehingga kekuatan wacana pengetahuan sosial tidaklah memiliki signifikansi power yang total mempengaruhi persepsi keindahan tubuh perempuan oleh aktor. Sekalipun aktor mempersepsi keindahan tubuh perempuan sesuai wacana sosial, itu tidak berarti wacana sosial langsung mempengaruhi aktor. Namun, konstruksi persepsi ini bekerja sama dengan aspek pengetahuan yang lain. Artinya, wacana sosial tentang keindahan tubuh perempuan selalu melewati aspek sadar aktor baik dalam nuansa yang sangat sadar ataupun nuansa sedikit sadar (habitus keseharian) dan saling berkolaborasi dengan aspek pengetahuan yang lainnya. Menyangkut relativisme persepsi keindahan tubuh perempuan ini dapat diterangkan dalam konsep dekonstruksi-nya Derrida. Tubuh perempuan dapat dibaca sebagai teks karena memang tubuh perempuan hadir dalam teater sosial dan dapat ditangkap oleh aktor atau sosial. Sebagai teks, tubuh perempuan menjadi fenomena material yang tidak serta-merta memiliki kandungan indah pada dirinya. Keindahan tubuh perempuan selalu menjadi konstruksi persepsi aktor terhadap entitas material tubuh itu sendiri atau persepsi yang menubuh. Persepsi keindahan merupakan inisiatif aktor dan tanpa inisiatif mempersepsi ini tidaklah mungkin tubuh perempuan menyampaikan keindahannya kepada aktor. Sebaliknya, tanpa entitas tubuh material perempuan aktor tidak dapat mempersepsi secara apriori. Hal ini membuka fleksibelitas persepsi aktor dalam mempersepsi tubuh perempuan sebagai yang indah. Kemajemukan persepsi ini sangat dimungkinkan karena pengalaman, proses belajar, dan pengetahuan aktor sebagai manusia tersebut sangat kompleks dan dinamis. Akhirnya, arkeologi estetika tubuh perempuan dapat menjadi pijakan pemahaman kita dalam mengapresiasi kemajemukan persepsi keindahan oleh tiap aktor atau kelompok sosial tertentu. Sikap apresiatif ini hadir sebagai satu sikap yang mengeliminir sikap mendiskriminasi tubuh perempuan dalam konsep oposisi biner yang menyesatkan.         

Ikuti tulisan menarik Emanuel S Leuape Blonda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB