x

Iklan

Fadly Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pelonco

Tulisan ini membahas tentang tradisi perpeloncoan yang melekat dalam dunia pendidikan di Indonesia serta apa imbasnya bagi mental anak-anak didik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pelonco

Fadly Rahman

 

 

"All in all it's just another brick in the wall. All in all you're just another brick in the wall." (Another Brick in the Wall, Pink Floyd)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"I can't explain you would not understand. This is not how I am. I have become comfortably numb." (Comfortably Numb, Pink Floyd)

 
Setiap tahun penerimaan peserta didik baru digelar di berbagai sekolah hingga pendidikan tinggi. Mereka bergelombang masuk ke sekolah pilihannya. Di dunia barunya, mereka telah dinanti para seniornya yang menyiapkan agenda orientasi pengenalan dengan istilah populer macam: MOS dan Ospek. Nyatanya, istilah itu tak lebih dipakai sebagai eufemisme untuk menyamarkan prosesi penerimaan siswa baru. Mereka mesti terlebih dahulu dipelonco para seniornya yang sudah berlatih memasang lagak galak dan sok jago di hadapan para juniornya. Bentakan, cacian, hukuman, hingga –tak menutup kemungkinan– kontak fisik dari senior mesti dilalui para juniornya sebagai syarat untuk nanti diterima resmi menjadi bagian dari “keluarga”. Mereka yang tidak mengikuti inisiasi konyol ini, akan disisihkan dari “keluarganya”, bahkan oleh rekan-rekan seangkatannya sekalipun.

Melihat pemandangan tahunan begini saya selalu terngiang dengan lantunan lagu lawas Pink Floyd berikut video klipnya yang menayangkan betapa suram wajah pendidikan. Dalam Another Brick in the Wall yang sohor itu, ruang pendidikan dialegorikan sebagai “tembok kekuasaan” yang ditempati peserta didik. Suatu kondisi yang membuat mereka tidak mampu bersuara (baca: berpendapat) secara individu; biasanya kelantangan bersuara –yang menggerumut– baru ke luar ketika mengelompok. Fragmen video juga menampilkan wajah pendidikan seolah “pabrik” pencetak barang-barang produksi. Sebagian besar peserta didik dari mulai mereka masuk hingga tamat studi, berpandangan dan bertujuan seragam, bahwa sekolah adalah untuk: menjalani –bukan menghayati– pendidikan.

Secara sarkastik, lirik lagu itu menampilkan seorang guru galak berteriak pada murid-muridnya: “If you don't eat your meat, you can't have any pudding. How can you have any pudding if you don't eat your meat?.” Kata-kata “eat”, “meat”, dan “pudding” adalah satir Roger Waters dkk terhadap realitas pendidikan yang diibarat seperti “makanan” untuk “dimakan” oleh para murid agar kelak mereka bisa memanen hasil seperti gelar pendidikan, status sosial, hingga pekerjaan bonafid. Murid-murid menerima saja tanpa merasa ada masalah. Tidak ada kritik, protes, dan melawan atas segala bentuk keganjilan pendidikan yang mendidik mereka. Ini terjadi karena budaya kritis sendiri sudah dimati-rasakan. Bagaimana hal itu bisa terjadi?   

Mesti disadari, selama ini dunia pendidikan masih lemah dalam membangun karakter intelektual para murid. Salah satu akarnya adalah tradisi pelonco, bagaimana si senior memperlakukan si juniornya; entah itu melalui pedandanan atribut konyol layaknya badut, bentakan, caci maki, hingga kontak fisik. Meski acapkali jatuh korban jiwa, celakanya tradisi ini masih tetap lestari. Sekalipun terjadi insiden, dengan beralasan menjaga “nama baik lembaga pendidikan”, noda kekerasan cenderung ditutup-tutupi.

Walhasil, kekerasan seolah dikondisikan untuk “dinikmati” dan “diwariskan”. Inilah wajah feodal dunia pendidikan kita yang bibitnya tumbuh sejak peserta didik menjalani proses perpeloncoan. Tanpa disadari, tradisi ini tumbuh berkembang, hatta menubuhkan mental-mental feodal gaya baru berupa hubungan patron-client dalam ruang-ruang pendidikan dan bahkan bisa memengaruhi masa depan jiwa para murid.

Jika meminjam telaah dari Saya Sasaki Shiraishi dalam bukunya Pahlawan-Pahlawan Belia; Keluarga Indonesia dalam Politik (2001), mentalitas neo-feodal semacam itu khas sekali rezim Orde Baru yang menggunakan hubungan berpola “bapak dan anak”. Praktik dan mental korupsi, kolusi, dan nepotisme gaya Orde Baru dibongkar oleh Sasaki melalui hubungan antara “si bapak” yang “mengayomi” dan “si anak” yang “diayominya.” Sasaki sangat bagus mengungkapkan biang keladi semua itu berakar pada gaya kroni Orde Baru yang jelas-jelas dan secara gamblang diakui oleh Soeharto bahwa kekuasaannya mengadopsi konsep Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarsa Sung Tuladha-nya Taman Siswa gagasan Soewardi Soeryaningrat. Soewardi atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara sendiri adalah bapak/penggagas pendidikan nasional yang mengenalkan konsep “kekeluargaan” dalam lembaga pendidikan Taman Siswa-nya. Artinya, konsep ini telah diselewengkan secara politis.

Hubungan “keluarga” tanpa landasan pertalian darah ini secara politis dipakai (baca: diselewengkan) dalam kroni Orde Baru untuk “mengayomi”, “membangun”, dan “memberi teladan” bagi “anak-anaknya”. Dalam riwayat politik Orde Baru, “anak” yang bersimpang jalan dengan si “bapak” disisihkan, diasingkan, dibungkam, hingga dibuang. Dan nyata, tanpa disadari ini menyuruk masuk juga ke dalam mental lingkungan pendidikan sebagaimana jejaringnya diungkap secara sistematis oleh Sasaki. Telaah Sasaki ini juga menjadi cermin untuk menelaah tradisi pelonco yang meski disadari “feodal”, tapi mengapa selalu dikondisikan ada dan begitu sulit dihapuskan? Barangkali jawabnya tersuarakan dalam lirik lagu Pink Floyd, Comfortably Numb, bahwa mereka yang terlibat di dalamnya sendiri seolah tidak dapat menjelaskannya; pun mereka sendiri sulit mengerti mengapa dirinya bermental begitu; mereka seakan sudah dibuat “mati rasa” karena “kenyamanan” atas despotisme kekuasaan di dunia pendidikan.

Kondisi itulah yang membuat kekerasan (akan) terus lestari. Dan tanpa disadari, itu semua hanya bakal memenjara nalar dan kemanusiaan para peserta didik. Padahal, pedagog Alexander Sutherland Neill dalam bukunya Summerhill (1968), pernah mengatakan bahwa: “memaksakan apa pun dengan kekuasaan adalah salah. Seorang anak seharusnya tidak melakukan apa pun sampai ia mampu berpendapat  dengan pendapatnya sendiri, bahwa itulah yang harus dilakukan.” Begitu.

(Sumber foto: nasional.tempo.co)

Ikuti tulisan menarik Fadly Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler