x

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Musim Gugur di Melbourne

Cerita dari festival penulis muda, Emerging Writers Festival 2015, Melbourne

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya tiba di Melbourne tatkala kota metropolitan itu tengah bersiap menghadapi musim dingin.

Turun dari trem tepat di simpang jalan Bourke dan Swanston, sebuah pusat kota yang selalu riuh, selintas tebersit rasa gamang dalam batin. Linglung akibat perjalanan panjang selama 9 jam dari Jakarta? Mungkin. Atau barangkali bingung oleh ketakjuban, menghempas tiba-tiba bagai angin musim gugur yang menghembus dedaunan: Saya akhirnya tiba di negeri yang sejatinya dekat dengan Indonesia, namun jauh dari angan untuk sungguh menjejak kaki di sini.

Menyisihlah saya dari halte dan pedestrian yang dipenuhi lalu lalang orang-orang—entah siapa dan dari mana asal mereka, benar-benar tidak saya ketahui. Tiada seorang pun melirik saya, yang berdiri kikuk di muka jendela toko mode kelas atas, dengan sebuah ransel naik gunung dan koper seadanya. Resleting jaket saya naikkan sampai ke leher sementara wanita muda baru saja lewat penuh percaya diri dengan mantel kancing terbuka. Celana dan sepatu saya seketika seperti lusuh sekali sedangkan nona dan tuan di seberang itu yang begitu trendi dan rapi. Saya mirip pengungsi yang baru saja melarikan diri, boleh jadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi, kemudian muncul sebuah pikiran bahwa saya tidak boleh terus menerus demikian. Bukankah saya datang kemari untuk memenuhi undangan yang kedengarannya cukup mentereng: mewakili Indonesia dalam pertemuan penulis muda di Australia, Emerging Writers Festival 2015, berlangsung sejak 26 Mei hingga 5 Juni. Saya diterbangkan khusus, dengan tiket yang sudah disiapkan, berikut jadwal seminar dan pembacaan karya yang telah disediakan. Lebih dari itu, saya diberikan kepercayaan oleh komite Bali Emerging Writers Festival, yang selama kurun lima tahun ini secara intens menggelar apresiasi bagi penulis dan kreator muda di segala bidang, guna bertukar gagasan serta pengalaman perihal perkembangan susastra di kalangan generasi muda Indonesia.

Maka, menyisihlah saya dari rasa minder itu, lalu melangkah pasti layaknya seorang utusan dengan mandat yang tidak bisa digugat….menuju toko kaki lima di simpang jalan Swaston, dan bertanya kemana arah menuju penginapan….ha-ha-ha….

BEWF x EWF

Emerging Writers Festival (EWF) 2015 menyajikan berbagai kegiatan yang masing-masing begitu kaya warna. Tiap agenda diselenggarakan tersebar di beberapa titik pusat kota Melbourne, menampilkan para penulis muda dari seluruh benua Australia. Inilah perayaan yang digiatkan oleh sekelompok anak muda, tanpa tujuan mencari laba, semata-mata demi memberi ruang bagi berseminya talenta sastra di Austalia.

Sam Twyford-Moore sebagai direktur festival menggagas acara ini sejak tahun 2011. “Saya tidak pernah belajar khusus tentang event organizer atau semacamnya. Saya hanya punya teman-teman yang berkomitmen bekerjasama sebagai satu tim solid, kemudian kami berupaya dan berupaya agar festival ini bisa terwujud,” ujar Sam ketika saya mengunjungi sekretariatnya di The Wheeler Centre, institusi yang khusus mewadahi serta mendukung kegiatan susastra di kota ini. “Saya tidak pernah menduga bahwa festival menjadi sebesar ini, dengan dukungan yang terus mengalir…” tambahnya.

Sejak mula pertama digelar hingga berlangsung di tahun 2015, EWF telah mengetengahkan ratusan penulis, puluhan program, dengan partisipasi antusias dari warga setempat. Kerjasama dengan Bali Emerging Writers Festival telah berlangsung selama 2 kali, dengan wujud pertukaran penulis muda dari dua negara demi memperkenalkan karya mereka sekaligus berbagi perihal perkembangan sastra oleh generasi muda di tiap negara.

Misalnya, pada BEWF 2014 lalu hadir Luke Ryan, penulis muda Australia yang dikenal lewat karyanya yang komikal dan satir lewat buku pertamanya A Funny Thing Happened on the Way to Chemo. Sementara itu, Ni Ketut Sudiani, penyair dan novelis asal Bali turut berpartisipasi dalam beberapa kesempatan EWF 2014. Adapun Lou Heinrich dan Omar Sakr ialah perwakilan EWF di ajang BEWF 2015, sementara saya akhirnya tiba ke Melbourne sendiri, sebab Penyair M. Aan Mansyur batal terbang karena sesuatu hal….

Apa saja yang saya lakukan selama EWF?

Ha-ha-ha…itu pertanyaan yang sulit dijawab. Pasalnya, saya sungguh mendapatkan banyak sekali pengalaman yang tidak dapat disebutkan satu demi satu. Semuanya menggembirakan, menyenangkan. Selain sebagai panelis di sesi seminar, saya berkesempatan mengisi diskusi di Monash Asia Institute yang merupakan rekanan EWF tahun ini, di samping turut menjadi penyaji dalam program bertajuk Travel Slide Night, berupa presentasi potret perjalanan berikut cerita di sebaliknya yang dituangkan dalam karya.

Sesi-sesi dialog selalu berlangsung hangat. Dalam diskusi di Monash Asia Institute misalnya, bahkan turut hadir Konsul Jenderal RI untuk Melbourne, Ibu Dewi Savitri Wahab, yang menjelaskan peran penting kebudayaan dalam hubungan Indonesia-Australia. Saya juga turut menyampaikan sedikit testimoni, sebelum kemudian dilanjutkan dengan pembacaan karya. Bahkan, Monash Asia Institute secara khusus menampilkan pertunjukan tari topeng Bali yang, terus terang, tampil dengan sangat memukau…

Perjumpaan Lintas Budaya

Hampir dua minggu di Melbourne, di samping mengikuti agenda festival, saya telah mencoba menjelajah, bahkan hingga ke daerah pinggiran Melbourne. Panitia Emerging Writers Festival dengan berbaik hati menempatkan saya di Swanston Street, sangat dekat dengan beberapa universitas seperti Melbourne University dan RMIT yang terkenal sebagai institusi seni dengan mahasiswa yang penuh gairah kreatif.

Sebelum kemudian saya menyadari, bahwa ternyata ada cukup banyak komunitas Asia di kota ini. Di simpang jalan Swanston, menyeberanglah gadis dan pemuda Asia, hampir setiap waktu. Selalu ada orang Asia di taman, toko, kafe atau di tempat mana saja yang saya datangi. Ini tentu bukan hal yang mengejutkan bagi sebuah kota besar seperti Melbourne. Orang-orang dengan berbagai latar budaya, bangsa dan sejarahnya, telah lekat membaur, menyilang interaksi dan membentuk nuansa keberagamannya sendiri.

Tetapi, saya pikir, fenomena ini tentu sangat mengejutkan bila terjadi di Melbourne masa silam. Atau di tempat lain yang telah sekian lama menutup diri, sengaja maupun tidak sengaja. Atau bagi sebuah masyarakat yang tiba-tiba dikepung keterbukaan globalitas. Bagi mereka, hadirnya orang asing—bukan hanya orang Asia, ataupun belahan benua lainnya—selalu menimbulkan rasa canggung, kikuk dan serba ragu untuk berkomunikasi serta mengenal lebih jauh. Pada tahapan berikutnya, andaikan rasa canggung itu tidak diatasi, sementara persaingan hidup makin sengit, kompetisi dalam merebut rezeki kian kuat terjadi, dan tiap kelompok bangsa menguatkan identitasnya sendiri, tentu bukan mustahil bila kita mendapati kenyataan memilukan sebagaimana di Myanmar belakangan ini. Atau kasus-kasus kemanusiaan di mana saja di dunia saat ini.

Semua itu tidak akan terjadi—saya yakin—bilamana kecintaan kita pada apapun, bahkan kepada Tuhan, ideologi, dan keyakinan manapun, tidak mengalahkan kecintaan kita pada kemanusiaan.

Sejujurnya, saya agak sedikit deg-degan datang ke Australia, terutama pascaperistiwa yang mengakibatkan terjadinya ketegangan dalam hubungan diplomatik negara ini dengan Indonesia. Saya datang dari Bali, sebuah pulau kecil di Indonesia, yang belakangan ini cukup menjadi perhatian karena penjatuhan hukuman mati bagi dua warga Australia untuk kasus narkotika. Terlepas dari esensi hukum atas pelanggaran yang mereka lakukan, saya adalah salah satu dari sekian banyak warga Indonesia yang tidak setuju dengan kebijakan hukuman mati. Hidup adalah anugerah paling utama dari Tuhan; melebihi kekayaan, kesehatan dan kemuliaan. Manusia dapat menciptakan banyak hal: teknologi yang membantu kita setiap saat, pakaian yang melindungi dari gigil cuaca, ataupun karya lainnya yang bermakna. Akan tetapi, kita tidak bisa mencipta jiwa. Bahkan selembar nyawa seekor lalat pun tidak.

Saya tentu tidak memiliki kapasitas bagaimana jalinan antarbangsa tersebut mesti dirawat, terutama bila menyinggung aspek politik dan kebijakan dua negara. Saya hanya bisa memimpikan, bahwa hubungan dua bangsa ini dilakukan atas dasar kecintaan pada kemanusiaan.

Australia telah melahirkan banyak penulis dengan berbagai penghargaan dan prestasinya, sejalan dengan regenerasi yang terus-menerus bertumbuh, dengan segelintir nama yang saya kenali: Gwen Harwood, Vincent Buckley, James McAuley, A.D. Hope, Patrick White serta banyak nama lain yang tentu punya pencapaian pentingnya masing-masing. Indonesia juga memiliki beberapa nama penulis: Chairil Anwar dalam sajak, Sutan Takdir Alisjahbana yang gagasan dan karyanya menginspirasi hingga kini, juga Pramoedya Ananta Toer yang prosanya sangat saya sukai.

Saya membayangkan, bukan hal yang tak mungkin, bahwa kelak akan muncul juga penulis-penulis yang menyadari dengan sungguh sejarah kebudayaan di dua negara ini, menemukan harta karun pemikiran dan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya, kemudian menjalin persahabatan—dalam karya dan dalam kehidupan senyatanya.

Ya, itulah yang saya bayangkan saat duduk dalam trem yang mengantarkan keliling kota Melbourne, duduk di bangku tepi jalan, singgah di Melbourne Central Station, mengunjungi Victoria Library of State, memasuki Melbourne Museum, bertemu dengan diaspora Indonesia, mengikuti diskusi di Melbourne University, hingga duduk termenung di Federation Square dan membisik doa syukur Katedral St. Paul.

Rasa-rasanya waktu itu, ketika saya memikirkan itu, gigilnya musim gugur Melbourne tidak begitu terasa. Mungkin begitu ya, betapa gemuruh pengharapan ternyata kuasa menghangatkan batin, sepanjang hari, sepanjang waktu. 

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler