x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Teringat Kembali kepada Mintardja dan Api

Dari cerita yang ditulis Mintardja, saya menemukan pelajaran serupa yang masih tetap aktual bahwa kekuasaan mampu membuat siapapun untuk melakukan apapun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Membaca kabar perihal ‘menghangatnya kembali’ keraton Jogja, saya teringat kembali kepada kisah-kisah yang dituturkan oleh mendiang SH Mintardja. Penulis yang semasa hidup bermukim di Jogja ini menulis masterpiece yang masih dibaca hingga kini, yaitu Nagasasra Sabuk Inten dan Api di Bukit Menoreh. Meskipun begitu, Mintardja menulis cerita-cerita lain yang tak kalah seru, seperti Istana yang Suram, Pelangi di Langit Singasari, Suramnya Bayang-bayang, dan banyak lagi.

Dalam kisah yang diangkat dari negeri sendiri, Mintardja menyingkapkan pergulatan di seputar perebutan kekuasaan di Tanah Jawa. Tokoh-tokoh penting dalam sejarah Tanah Jawa memang disebut, tapi dalam cerita Mintardja mereka tidak memperoleh porsi terbesar dalam pengisahan. Mintardja justru tertarik untuk menyingkapkan bagaimana orang-orang di sekeliling tokoh-tokoh penting itu tertarik ke dalam pusaran perebutan kekuasaan.

Dalam Api di Bukit Menoreh, misalnya, ada sosok Kiai Gringsing, Ki Gede Menoreh, dan Agung Sedayu yang mungkin hanya merupakan tokoh rekaan Mintardja. Mereka mengisi halaman-halaman cerita ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan Sutawijaya yang kemudian menjadi raja Mataram. Lebih banyak lagi, karakter-karakter kecil yang juga tidak tertulis dalam sejarah tapi niscaya amat populer di kalangan penggemar cerita Mintardja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mintardja tidak menjadikan keraton Jogjakarta sebagai inti cerita, melainkan wilayah sekitar yang menjadi penopang kerajaan tersebut.  Api di Bukit Menoreh, yang mengambil latar tanah perdikan (barangkali semacam provinsi) yang dipimpin oleh Ki Gede Menoreh sebagai kepala wilayah ini, mengisahkan betapa dahsyatnya pergulatan kekuasaan di antara pendukung maupun penentang Mataram di wilayah sekitarnya. Tak kurang pula intrik-intrik yang menyertai persaingan anak-anak mudanya maupun ambisi tokoh tuanya, yang umumnya menjadi guru ilmu kanuragan anak-anak muda itu.

Namun begitu, melalui karakter fiktif dan relatif jauh dari pusat kekuasaan, seperti Alap-alap Jalatunda, Mintardja mampu membangkitkan nuansa betapa dahsyat perebutan kekuasaan di dalam istana—di antara orang-orang yang sebenarnya masih memiliki pertalian darah. Juga intrik, intimidasi, kekecewaan, dan persaingan di antara saudara. Dan betapa hasrat akan kuasa itu telah menyeret banyak wong cilik yang tak punya kepentingan apapun untuk berkuasa. Mereka jadi korban karena saling bertikai untuk hasrat yang bukan mereka punya.

Hingga kini, saya tidak tahu persis, apakah Mintardja melakukan riset mendalam untuk menulis cerita-ceritanya. Wilayah-wilayah yang disebutkan dalam cerita tersebut memang pernah ada atau masih ada, misalnya Menoreh, sementara sebagian tokohnya mungkin campuran antara yang faktual historis dan yang fiktif. Sebutlah misalnya Kiai Grinsing dan lawan bebuyutannya, Ki Tambak Wedi, yang sama-sama sakti. Mintardja mampu menghidupkan karakter-karakter tersebut begitu hebat. Untuk menunjukkan bagaimana Kiai Grinsing dan Ki Tambak Wedi unjuk kesaktian, Mintardja cukup menceritakan bagaimana Ki Tambak Wedi melengkungkan besi tebal dan kemudian Kiai Grinsing kembali meluruskan besi itu.

Api di Bukit Menoreh semula diterbitkan setiap hari sebagai cerita bersambung di surat kabar Kedaulatan Rakjat yang berbasis di Jogjakarta, dan kemudian dibukukan. Ceritanya panjang, dan kalau tidak keliru mencapai Seri IV yang ditulis hingga Mintardja meninggal. Meskipun kadang-kadang ceritanya terasa encer, mungkin karena begitu panjang, Api tetap ditunggu oleh pembacanya. Menariknya, cerita dan karakter tokoh-tokohnya, seperti Ki Gede Pemanahan, Agung Sedayu, atau Pandan Wangi kerap menjadi bahan pembicaraan. Hingga kini, situs Internet yang memuat kisah-kisah rekaan Mintardja dapat dengan mudah ditemukan. Di antaranya di https://serialshmintardja.wordpress.com/ dan https://apidibukitmenoreh.wordpress.com/.

Bagi saya, karya puncak Mintardja adalah Nagasasra dan Sabuk Inten. Karya ini tidak panjang bila dibandingkan dengan Api di Bukit Menoreh serta padat isi. Sebagai penulis, Mintardja piawai dalam memberi warna perihal filosofi hidup tentang kebaikan, keburukan, perjuangan, kesabaran, keputusasaan, dengki, dan kehausan akan kekuasaan tanpa menggurui.

Seperti halnya Koo Ping Hoo, yang fokus pada pergulatan kekuasaan dan dunia persilatan di Tanah Tionghoa, Mintardja konsisten dengan cerita di Tanah Jawa. Dari cerita yang ditulis Mintardja, saya mencoba menarik garis relevansi ke dunia sekarang, dan menemukan pelajaran serupa yang masih tetap aktual bahwa kekuasaan sanggup membuat siapapun untuk melakukan apapun. Hasrat akan kuasa sanggup merenggangkan tali persaudaraan, sedarah sekalipun. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB