x

Iklan

Ipul Gassing

Pemilik blog daenggassing.com yang senang menulis apa saja. Penikmat pantai yang hobi memotret dan rajin menggambar
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berkunjung ke Indonesia Paling Timur

Merauke sudah kita dengar sejak dulu, tapi tidak banyak yang tahu bagaimana kehidupan di kota ini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 704 mendarat dengan mulus di bandara Mopah, Merauke. Saya melirik jam tangan, pukul 8:35, berarti sekarang sudah pukul 9:35 waktu Merauke karena jamnya memang satu jam lebih cepat dari jam Makassar. Di luar matahari sudah bersinar garang, saya menguap sejenak. Sepanjang perjalanan saya lebih banyak tidur, maklum penerbangan dimulai dari jam 4 subuh waktu Makassar.

Ini untuk pertama kalinya saya menjejakkan kaki di Merauke, kabupaten di Papua yang sejak kecil sudah saya dengar namanya dari lagu Nasional; Dari Sabang sampai Merauke. Sebuah kota yang melambangkan wilayah paling timur Indonesia, berbatasan langsung dengan Papua New Guinea.

Saya masih penasaran, kenapa Merauke yang dijadikan lambang paling timur Indonesia? Padahal di peta letak Merauke dan Jayapura yang berada di sebelah utaranya hampir sejajar dan sama-sama dekat dengan perbatasan Papua New Guinea.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari bandara Mopah saya bergeser ke pusat kota dengan diantar oleh seorang supir yang memang ditugaskan menjemput saya. Tujuan saya ke sini bukan untuk berlibur, tapi untuk bekerja. Tapi tak mengapa, setidaknya saya sudah bisa melihat sedikit kota yang sangat terkenal ini.

Jalanan tidak seberapa lebar dan lengang. Saya baru sadar kalau ini hari Minggu, hari di mana sebagian besar orang Merauke yang beragama Nasrani menghabisan waktu untuk beribadah di gereja. Sisanya masih memilih berleyeh-leyeh atau bersantai di rumah. Hampir semua toko masih tertutup, padahal jam sudah mendekati pukul 10 pagi.

Sepanjang jalan saya dengan mudah menemukan warung makan atau toko yang menggunakan nama-nama yang lekat dengan Sulawesi Selatan seperti: Putra Bugis, Anging Mammiri atau Warung Sulawesi. Merauke sama dengan kota-kota lain di Papua, menjadi tanah bagi banyak pendatang dari Sulawesi Selatan yang mencari hidup dengan cara berdagang dan menjadi guru. Pendatang bersuku Bugis dan Makassar mencari nafkah sebagai pendatang, sementara mereka yang dari Tana Toraja hidup sebagai pengajar atau pegawai negeri sipil.

Selain orang Sulawesi Selatan, Merauke juga dipenuhi oleh pendatang dari Jawa. Maklum, karena Merauke memang jadi daerah pertama yang dibuka untuk transmigran asal pulau Jawa di tahun 1980an. Purnomo, supir yang mengantar saya mengaku sudah tinggal di Merauke sejak kecil padahal saya taksir usianya pasti di atas 30 tahun. “Orang tua saya transmigran, saya ikut mereka sejak masih kecil.” Katanya.

Merauke awalnya adalah tanah milik orang suku Marind sebelum mereka perlahan tergeser oleh para pendatang. Kedatangan orang-orang dari Sulawesi dan Jawa serta sedikit Sumatera itu pula yang ikut mengubah wajah Merauke, menghidupkan roda ekonomi dan membuatnya semakin maju.

Merauke agak berbeda dengan kota-kota lain di Papua yang pernah saya datangi. Di Merauke tanahnya terlihat datar dan tidak ada bukit apalagi gunung, tidak seperti Jayapura, Manokwari bahkan Sorong yang dekat dengan laut tapi juga dipagari bukit dan gunung.

Untuk urusan wisata, Merauke memang tidak terlalu terkenal. Tidak seperti Jayapura atau Sorong dengan Raja Ampatnya. Di dalam kota ada pantai bernama Pintu Satu yang katanya menjadi latar sebuah film komedi berjudul Epen Cupen yang memang berkisah tentang kelucuan orang Papua dan mop-nya. Sayang saya tidak sempat berkunjug ke pantai itu, petugas hotel malah berkata kalau pantainya biasa saja. Pasirnya cokelat dan airnya tidak biru, kata petugas hotel ketika saya tanya tentang Pantai Pintu Satu. Ya sudah, rencana ke sana saya batalkan saja.

Objek wisata yang mungkin menarik dari Merauke adalah Taman Nasional Wasur yang berada di sebelah utara kota. Di Taman Nasional ini kita bisa melihat keindahan alam Papua yang masih alami lengkap dengan hewan-hewannya yang juga masih dibiarkan hidup bebas. Konon di waktu-waktu tertentu kita bisa melihat langsung kanguru Papua yang bentuknya lebih kecil dari kanguru Australia.

Sayang memang saya hanya beberapa hari di Merauke, pun saya tak sempat banyak menikmati tempat wisata di kota ini. Tapi Merauke buat saya tetap menarik, menyimpan banyak cerita tentang Papua yang indah, tentang bagaimana para pendatang dan penduduk asli bisa hidup berdampingan dengan tenang, tentang bagaimana Muslim dan Nasrani bisa hidup dengan damai.

Mungkin suatu hari nanti saya harus kembali ke Merauke, biar saya bisa cerita lebih banyak tentang Merauke.

Ikuti tulisan menarik Ipul Gassing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler