x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ilmu Ekonomi Aliran Chicago Versus MIT

Aliran Chicago yang menjadi penopang fundamentalisme pasar makin ditinggalkan. Penggantinya? Pemikiran para alumni dan akademisi MIT.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bukan Paul Krugman namanya kalau artikel opininya tak mengguncang jagat pemikiran ekonomi.  Artikel bertajuk The M.I.T Gang di New York Times tanggal 24 Juli 2015 menimbulkan diskusi hebat.  Sebetulnya, Krugman sudah memulai perdebatan soal ‘hantu’ Keynes dalam ilmu ekonomi ini melalui artikel di media massa yang sama pada tanggal 28 Februari 2015.  Lewat Empire of the Institute, Krugman menyatakan bahwa para ekonom yang memeroleh gelar PhD dari MIT pada pertengahan hingga akhir 1970an kini merupakan figur-figur paling berpengaruh dalam kebijakan publik.   Figur-figur itu—termasuk Ben Bernanke, Olivier Blanchard, Mario Draghi, Kenneth Rogoff, serta Krugman sendiri—dengan setia menggunakan pendekatan yang diajarkan di kampusnya, yaitu bahwa pasar tidaklah sempurna dan koreksi oleh pemerintah menjadi sangat penting, kalau bukan satu-satunya mekanisme koreksi yang mungkin.

 

Tentu, pendekatan Keynesian itu berbenturan dengan apa yang diajarkan dan dikutbahkan oleh para ahli ekonomi dari Universitas Chicago.  Aliran Chicago benar-benar mendewakan teori harga neoklasik, dengan posisi normatif membela liberalisme dan pasar bebas.  Pada kenyataannya, sebagaimana yang ditunjukkan lewat situasi AS dan Eropa kontemporer, apa yang diyakini oleh aliran Chicago tidaklah berlaku lagi.  Bradford deLong dari UC Berkeley pernah menyatakan bahwa aliran ini telah dan tengah mengalami intellectual collapse.  Dalam pembukaan artikel terbarunya di atas, Krugman menyatakan “Goodbye, Chicago boys. Hello, M.I.T gang” yang mungkin jadi penjelas mengapa banyak ahli ekonomi—dari beragam kubu—kemudian menganggapi artikel Krugman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Siapapun yang belajar ekonomi makro secara ringkas akan menyadari bahwa fundamentalisme pasar, sebagaimana yang dikutbahkan oleh para pakar ekonomi Aliran Chicago, kini sudah tergerus.  Amerika Serikat sendiri sama sekali tidak mengamalkannya.  Ketika bank-bank besar limbung karena krisis subprime mortgage, dengan sigap Pemerintah AS menanggalkan fundamentalisme pasar.  Bank-bank itu diselamatkan melalui upaya bail out, dengan dalih yang sangat terkenal: too big to fail.  Pemerintah AS khawatir kalau lembaga-lembaga keuangan raksasa itu tak diselamatkan, maka dampaknya terhadap perekonomian menjadi tak terkendali.  Ini berarti bahwa sesungguhnya pasar sudah tak lagi dipercaya bisa mengendalikan dirinya sendiri lantaran tak memiliki mekanisme homeostasis atau pencarian kesetimbangan.

 

Kepercayaan bahwa pasar mampu mengendalikan dirinya sendiri memang sudah problematik sejak awal.  Ketika Ronald Reagan di AS dan Margaret Thatcher di Inggris meluncurkan deregulasi, banyak pihak sudah mengingatkan tentang bahaya kepercayaan buta tersebut.  Argumentasi Keynesian soal pentingnya peran negara tak diidengarkan, lantaran para ideolog Liberalisme di belakang Reagan dan Thatcher yang bersenjatakan pemikiran ekonomi Aliran Chicago memang sedang kuat-kuatnya.  Seperti yang dituliskan oleh Krugman, pada saat itupun analisis soal pengangguran dan inflasi yang diajukan oleh pendukung Aliran Chicago mengandung banyak kelemahan.  Sebaliknya, para PhD ekonomi dari MIT, yang terus membawa pemikiran Keynes, menyajikan analisis yang jauh lebih mendekati kenyataan.  ‘Aliran MIT’, kalau bisa disebut demikian, benar pendiriannya, namun semangat zaman masih memihak pada Liberalisme dan fundamentalisme pasar.  Kebenaran analisis dan kokohnya rekomendasi tidaklah cukup untuk menempatkan ‘Aliran MIT’ di dalam arus utama kebijakan publik.

 

Salah satu hal yang luput dari pembicaraan Krugman adalah bagaimana sesungguhnya ilmu ekonomi yang lebih membumi—mendekati realitas pengambilan keputusan—dibangun oleh para ahli ekonomi jebolan MIT.  Krugman tampak sibuk menyebutkan para alumni yang memang kini memegang jabatan publik sangat strategis, dan memengaruhi banyak hal.  Namun, menurut hemat penulis, yang juga sangat penting adalah bahwa empirisisme yang diajarkan di MIT telah membawa konsekuensi ilmu ekonomi yang berbeda sama sekali dengan model-model matematika Aliran Chicago yang membungkus ideologi fundamentalisme pasar.  Sebagai kampus teknologi, MIT membuka diri terhadap beragam cabang ilmu pengetahuan dan sejak dahulu terkenal dengan pendekatan multidisiplinnya.  Karenanya, ilmu ekonomi—sebagai bagian dari ilmu sosial yang hendak memahami bagaimana keputusan manusia terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi, diambil—di MIT sangat terpengaruh oleh biologi, psikologi, antropologi dan sosiologi.  Hanya dengan memanfaatkan pendekatan multidisiplin dan perkembangan terbaru di setiap cabang ilmu pengetahuan itu saja maka keputusan manusia bisa dipahami.

 

Tak mengherankan kemudian kalau para ahli ekonomi jebolan MIT pula yang mendirikan ilmu ekonomi perilaku (behavioral economics).  Sebut misalnya George Akerlof dan Robert Shiller, yang bukunya Animal Spirit: How Human Psychology Drives the Economy and Why It Matters to Global Capitalism (2009) membuat banyak pihak tersadar bahwa bagaimanapun di balik model-model matematika sekalipun ada manusia yang mengambil keputusan.  Dan, keputusan itu tidaklah (sepenuhnya) rasional.  Karenanya, ketika Shiller berbagi Nobel Ekonomi 2013 dengan Eugene Fama yang berasal dari Aliran Chicago, ketegangan pemikiranpun terjadi.  Keduanya mendapatkan Nobel karena kerja mereka dalam efisiensi pasar, dengan alasan yang berbeda sama sekali.  Sebagai pemuka Aliran Chicago, Fama tak percaya sama sekali dengan kemungkinan pemerintah untuk mengantisipasi kebutuhan serta peluang, dan mengalokasikan sumberdaya dengan efisien.  Pasar adalah cerminan seluruh informasi yang ada pada setiap noktah waktu, dan karenanya ‘efisien’.  Berseberangan dengan itu, Shiller memandang bahwa pasar haruslah dikoreksi oleh tindakan pemerintah agar menjadi lebih efisien, sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

 

Namun, pembagian antara Aliran Chicago versus MIT menjadi tak berlaku bagi figur Richard Thaler, sang pemuka utama ilmu ekonomi perilaku.  Ia dididik di Universitas Rochester, dan kemudian menjadi pengajar di Universitas Chicago.  Dalam bukunya, Misbehaving: The Making of Behavioral Economics (2015), ia menjelaskan betapa aneh posisinya di antara para ahli ekonomi yang memegang erat “iman” bahwa manusia itu rasional dan pasar adalah cerminan rasionalitas yang sempurna itu.  Ia bercerita bahwa pengaruh terbesar yang hinggap kepada pemikirannya adalah karya-karya Daniel Kahneman dan Amos Tversky.  Keduanya adalah ahli psikologi yang menjadi pemenang Nobel Ekonomi lantaran keberhasilan mereka menjelaskan bagaimana keputusan ekonomi dibuat di tingkat individu, dengan tidak rasional. Thaler, bersama-sama dengan profesor hukum Cass Sunstein, menuliskan kitab klasik yang kemudian menjadi standar dalam ilmu ekonomi perilaku, Nudge: Improving Decisions about Health, Wealth and Happiness (2008).

 

Jadi, para ahli ekonomi dari MIT—dan yang mengikuti jejak mereka—sesungguhnya berbeda dari pendukung Aliran Chicago karena empirisisme yang mereka pegang erat-erat telah membawa kemajuan ilmu ekonomi yang benar-benar menggambarkan realitas pengambilan keputusan oleh manusia.  Ciri lain yang juga tak dibicarakan oleh Krugman adalah bahwa para ahli ekonomi dari MIT jauh lebih kerap menganalisa ketidakadilan dan membuat rekomendasi bagaimana keadilan di dunia ini bisa terwujud.  Krugman sendiri sesekali menuliskan masalah ini, dan ketika ada ahli ekonomi Prancis, Thomas Piketty, melancarkan kritik atas Kapitalisme sebagai biang keladi ketimpangan dalam Capital in the 21st Century (2014), ia memujinya setinggi langit.  Tapi, masih banyak lagi ahli ekonomi jebolan atau yang kini mengajar di MIT memerangi ketidakadilan secara konsisten.

 

Yang paling terkenal di antara mereka mungkin adalah Joseph Stiglitz.  Peraih Nobel Ekonomi 2001 ini adalah lulusan MIT yang kini menjadi profesor di Universitas Columbia.  Namun, peran paling terkenalnya adalah sebagai ekonom kepala di Bank Dunia yang mbalelo.  Dia dikenal sebagai the rebel within di institusi tersebut.  Spesialisasinya adalah membuktikan kondisi ketimpangan, menyajikan analisis mengapa ketimpangan ekonomi itu buruk, dan memberikan rekomendasi bagaimana kondisi itu bisa diperbaiki. Lewat buku-bukunya seperti The Great Divide (2015) dan The Price of Inequality (2012) ia membuka kesadaran dunia tentang bahaya dari ekonomi kapitalistik yang memihak kepada orang-orang kaya.

 

Daron Acemoglu adalah salah satu ahli ekonomi dari MIT yang juga penting disebutkan.  Lewat bukunya Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty (2012) yang dituliskannya bersama dengan James Robertson, profesor politik dari Universitas Harvard, ia membeberkan mengenai ketimpangan pendapatan antar-negara, dan menjelaskan mengapa hal yang demikian terjadi, beserta konsekuensinya.  Mirip temanya dengan karya-karya Stiglitz sebenarnya, namun jauh lebih luas, dengan kasus yang jauh lebih banyak dibandingkan sekadar ketimpangan di AS.  Dengan sifat yang demikian, keberlakuan dan pengaruh buku Acemoglu telah dan akan terus menjadi sangat penting.  Buku ini telah menjadi karya klasik sejak hari pertama penerbitannya.

 

Ahli ekonomi dan pengajar di MIT yang juga sangat penting disebut adalah Esther Duflo dan Abhijit Banerjee.  Keduanya adalah pendiri dari Abdul Latif Jameel Poverty Actions Lab di MIT.  Duflo juga adalah profesor bidang penghapusan kemiskinan dan ekonomi pembangunan; sementara Banerjee merupakan profesor bidang ekonomi.  Mereka bersama-sama menuliskan buku Poor Economics (2011) yang di antaranya menimbang soal keberhasilan dan kegagalan kredit mikro sebagai alat untuk penghapusan kemiskinan.  Dalam kasus-kasus yang mereka angkat di buku tersebut—termasuk kasus Indonesia—kredir mikro tidak sepenuhnya berhasil di antaranya karena banyak kelompok yang memanfaatkannya untuk kepentingan konsumtif.  Hal ini terutama terjadi pada pinjaman kedua dan seterusnya.  Duflo dan Banerjee juga membuka mata dunia terhadap berbagai kerumitan upaya penghilangan kemiskinan.  Kredit mikro, walaupun sangat penting untuk menghadirkan akses modal kepada orang-orang miskin, sama sekali tidak bisa menjamin kemiskinan menghilang.  Pekerjaan rumah, dan pekerjaan lapangan, untuk penghilangan kemiskinan masih menumpuk.

 

Akhir kata, Krugman mungkin benar bahwa Aliran Chicago sudah ditinggalkan, dan para ahli ekonomi dari MIT memang jauh lebih memiliki peluang memengaruhi kebijakan publik sekarang.  Namun, sangat penting untuk menekankan bahwa hal tersebut bukan terjadi semata-mata karena di MIT hantu Keynes sedemikian berpengaruhnya.  Empirisisme dan sifat multidisiplin dari ilmu ekonomi yang diajarkan di sana telah menghasilkan kemajuan yang membuat ilmu ekonomi relevan buat konteks mutakhir.  Ilmu ekonomi yang dikembangkan di MIT, pada akhirnya, memang lebih memuaskan akal karena dekat dengan realitas pengambilan keputusan manusiawi—yang oleh Dan Ariely dinyatakan kerap tak rasional dalam bukunya yang terkenal Predictably Irrational: The Hidden Forces That Shape Our Decisions (2008)—selain lebih memihak kepada keadilan.  Sementara, ilmu ekonomi Aliran Chicago menjadi usang lantaran asumsinya soal rasionalitas dan fundamentalisme pasar tak lagi bisa dipertahankan, juga semangat zaman yang kini melihat ketimpangan sebagai musuh bersama.

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler