x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apa Penyebab Pertikaian Manusia? Agamakah?

Doktrin semata, kata Karen, tidak dapat membangkitkan perselisihan antarkomunal. Umumnya, ‘terbawanya’ agama merupakan reaksi terhadap pergolakan sosial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apakah agama merupakan penyebab kekerasan? Pertanyaan ini berusaha dijawab oleh Karen Armstrong melalui bukunya yang terbit pada Oktober 2014: Fields of Blood: Religion and the History of Violence. Pertanyaan ini sangat mengusik Karen, yang memang menekuni isu-isu agama dalam lingkup luas, karena di Barat gagasan bahwa agama secara inheren menyebabkan kekerasan semakin diterima, terlebih lagi setelah peristiwa World Trade Center 11 September 2001.

Dalam buku setebal 512 halaman dan diterbitkan oleh Penerbit Knopf ini, Karen—yang juga menulis buku A History of God—memulai dengan gambar mengenai kesukaran dalam mendefinisikan agama. Sekurang-kurangnya, kata Karen, tidak ada cara universal untuk mendefinisikan agama.

“Kita (orang Barat, maksud Karen) memandang ‘agama’ sebagai sistem koheren keyakinan, institusi, serta ritual-ritual yang bersifat wajib, yang berpusat kepada Tuhan yang supernatural, yang praktiknya bersifat privat dan ditutup rapat-rapat dari segala aktivitas ‘sekuler’.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbeda dengan pemahaman tersebut, dalam Bahasa Arab din merujuk kepada ‘keseluruhan cara hidup’. Begitu pula, dalam Bahasa Sanskrit, dharma bermakna konsep ‘total’ yang tidak dapat diterjemahkan, yang mencakup hukum, keadilan, moral, dan kehidupan sosial.

Sementara itu, Oxford Classical Dictionary dengan tegas menyatakan: “Tidak ada kata dalam Bahasa Yunani maupun Latin yang berkaitan dengan ‘religion’ atau ‘religious’ dalam Bahasa Inggris.”

Di tengah kerumitan dalam mendefinisikan ‘agama’ itu, Karen menyusuri jejak-jejak historis peradaban manusia dan berusaha menemukan bukti-bukti yang mendukung anggapan Barat bahwa unsur kekerasan melekat di dalam agama. Karen  mengatakan tidak menemukan bukti yang cukup untuk mendukung anggapan itu.

Doktrin semata, kata Karen, tidak dapat membangkitkan perselisihan antar komunal. Umumnya, ‘terbawanya’ agama merupakan reaksi terhadap pergolakan sosial dan bentuk-bentuk baru penindasan struktural. Tanpa ada kondisi-kondisi ini, agama cenderung mendorong eksistensi damai. Kebangunan agama adalah gejala transisi yang terlampau cepat dari satu jenis masyarakat ke jenis lainnya: dari nomaden ke menetap, dari agraria ke perdagangan, dari perdagangan ke industri. Kekerasan kerap muncul pada momen-momen ini.

Karen berpendapat bahwa mustahil untuk menemukan kasus koheren mengenai peran agama dalam peperangan maupun kekerasan di sepanjang sejarah serta di seluruh dunia. Alasannya sederhana saja, karena agama memainkan peran yang berbeda-beda dalam budaya yang berlainan. Keyakinan dan praktik keagamaan di Mesopotamia kuno, umpamanya, berbeda dengan di zaman modern.

Periode modern, dalam pandangan Karen maupun banyak akademikus Barat, dimulai di Barat pada 1648 ketika perjanjian damai mengakhiri sejumlah perang besar di Eropa ditandatangani di Westphalia, wilayah yang kini termasuk Jerman. Pemerintahan sekuler di Barat semakin marak dan peran agama sebagai kekuatan pengorganisasi utama masyarakat berkurang.

Mustahil, kata Karen, untuk menjelaskan kekerasan pada masa kini maupun yang telah jadi sejarah semata-mata melalui agama. Manusia memulai perang dan membantai musuh-musuh mereka karena alasan-alasan yang rumit. Dengan fakta historis yang menggunung, Fields of Blood menunjukkan bahwa agama hanyalah salah satu dari sekian banyak pengalaman manusia.

Pengertian modern bahwa agama terpisah dari kehidupan dunia adalah penemuan Eropa di Abad Pencerahan sebagai pengiring sekularisme. Karen mengakui bahwa kekerasan seringkali berjubah bahasa keagamaan. Tapi ia berusaha menunjukkan bahwa daripada menyalahkan gambaran berdarah pada teks suci dan sejarah suci, lebih baik kita fokus pada konteks politik yang membingkai agama.

Untuk memperkuat argumennya, Karen membagi perjalanan historisnya ke dalam dua bagian besar buku ini. Bagian pertama meliputi masyarakat kuno: Babilonia, India, China, dan Israel klasik. Ia melihat kebangkitan kekerasan publik di masa ini sebagai bagian dari pembentukan kekuasaan negara, dan pembenaran bagi kekerasan seringkali dinyatakan dalam istilah-istilah keagamaan. Di bagian kedua, tema ini dikembangkan dalam kaitannya dengan Kemaharajaan Kekristenan awal, Bizantium, dan Muslim. Politik dan ambisi manusia adalah penyebab semua bentuk kekerasan publik.

Dari penelusuran historis itu, Karen melihat bahwa manusia memilih untuk mentautkan agama dengan aktivitas lain, termasuk bagaimana mereka diperintah. Keterlibatan dengan politik, kata Karen, menjadikan agama sering dikaitkan dengan kekerasan: crusader, conquistador, jihadis, dan banyak lagi istilah serupa. Tetapi, ujarnya lagi, kekerasan hampir selalu berawal dari negara dan baru kemudian meluber ke agama, ketimbang sebaliknya dari agama kemudian menjalar ke negara.

Hal itu terjadi, kata Karen, karena pemerintahan apapun, demokratis atau tiran, pecinta damai atau ekspansionis, “berkewajiban untuk mempertahankan jantung institusinya dengan melakukan pengkianatan dan kekerasan,” dan karena “kekerasan dan pemaksaan ... terletak di jantung eksistensi sosial.” Negara-negara di masa awal memerlukan kekuatan untuk menjaga sistem produksi agrikultural; negara-negara yang sudah matang menemukan bahwa perlakuan kekerasan—oleh polisi di wilayah mereka, dan oleh tentara untuk mempertahankan wilayah mereka—adalah cara terbaik untuk memelihara perdamaian.

Berkali-kali Karen mengingatkan bahwa kekerasan dalam sejarah memiliki hanya sedikit alasan agama dan bahkan tidak sama sekali. Di masa modern, Hitler, Mao Zedong, Stalin, maupun Lenin adalah orang-orang ateis, dan peristiwa Holocaust lebih disebabkan oleh kebencian etnis ketimbang alasan keagamaan. Penekanan yang berlebihan terhadap peran agama dalam kekerasan, kata Karen, dapat membutakan orang terhadap (apa yang ia istilahkan) nonholy terros yang ditimbulkan oleh negara.

Dalam hemat saya, pendekatan historis Karen ini menawarkan sudut pandang yang sangat patut dipertimbangkan

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler