x

Tiga Calon Berebut Ketua Umum PBNU

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Muktamar NU, Gaya Politik Kaum Sarungan

Dua kepemimpinan dalam tubuh NU dinilai menjadi tidak efektif, Rais Am dan Ketua Tanfidziyah. Sebab keduanya dipilih langsung peserta Muktamar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Muktamar NU ke-33 di Jombang, 1-5 Agustus 2015, membawa usulan perubahan mendasar dalam model pemilihan Rais Am PBNU. Kalau sebelumnya dipilih secara langsung, kini hendak diubah dengan sistem musyawarah melalui model Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA).

Usulan ini bukan tanpa hambatan. Sebagian warga NU tetap tidak setuju. Sebab pemilihan dengan sistem AHWA berarti akan menghilangkan kesempatan memilih secara langsung Rais Am, yang biasanya diduduki kiai paling berpengaruh di Muktamar.

Alasan jika keduanya dipilih langsung menjadi tak efektif, tampaknya juga tak memiliki argumentasi secara empiris. Sebab, selama ini tak ada konflik yang berarti manakala terjadi perbedaan pandangan antara Rais Am dan Ketua Tanfidziyah. Paling-paling hanya muncul dialog-dialog sempalan antara warga yang lebih mempertimbangkan dawuh kiai dan warga aktivis yang lebih mementingkan strategi gerakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lantas apa yang mendorong munculnya usulan AHWA dalam memilih Rais Am? Bukan sebaliknya Ketua Tanfidziyah yang dipilih melalui sistem AHWA?Inilah politik kaum sarungan yang bernaluri tak hendak saling menyakiti dan merendahkan. Nalar politik yang sangat berbeda jauh dari wajah politik kekuasaan kepartaian dan negara.

Seperti disebutkan sebelumnya, posisi Rois Am dipastikan akan dipegang kiai paling berpengaruh dalam tubuh NU. Maka menjadi tak elok manakala mereka dipertandingkan dan dipertotonkan di antara sorak sorai para muktamirin setiap kali kertas suara dibacakan.

Bukan pada tempatnya, para kiai sepuh itu ditempatkan pada ruang kalah-menang, dan mereka sendiri tak menginginkan berebut kekuasaan dalam memimpin organisasi. Dalam kepemimpinan di NU diajarkan benar, saat terpilih menjadi pucuk pimpinan, segeralah ucapkan astaghfirulloh, dan saat tak terpilih ucapkanlah alhamdulillah. Sebuah doktrin yang bertolak belakang dengan model pemilihan kepemimpinan di mana pun dan apapun.

Pemilihan langsung cukuplah untuk menentukan Ketua Tanfidziyah. Setidaknya orang-orang yang maju menjadi calon Ketua Tanfidziyah ini memang berbeda cara berpikir dan nalar politiknya. Buktinya, saat ini, saja warga NU sudah hiruk pikuk menunjuk nama-nama. Dan bisa dipastikan tak akan tabu para pendukung memasang billboard besar-besar bergambar para calon.

Biarlah warga NU belajar berpolitik model kemenangan suara mayoritas melalui pemilihan Ketua Tanfidziyah, dan belajar menentukan Rais Am melalui demokrasi yang berazaskan pada kebijaksanaan hati dan kejernihan pikir. Inilah semangat dari Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA).

Jika benar nanti disetuju model Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA), maka lengkaplaj Mukatamar NU kali ini sebagai ajang pembelajaran dua model demokrasi pada waktu yang sama.***

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler