x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Praktek Good Governance yang Angin-anginan

Banyak pihak yang menderita karena korupsi, suap, maupun praktek tak sehat perusahaan. Masyarakat paling terkena dampaknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam banyak kasus, korupsi dan suap melibatkan dua entitas: pejabat yang punya wewenang (bupati, walikota, gubernur) dan perusahaan yang mengusung motif bisnis dan keuntungan. Tatkala aturan main diikuti dengan normal, suap dan korupsi tidak terjadi. Di tengah persaingan bisnis yang ketat dan motif mencari keuntungan besar dengan cara mudah, banyak eksekutif dan pemilik perusahaan tak mau menempuh jalan normal. Mereka menghendaki jalan pintas (shortcut). Celakanya, keinginan ini bertemu dengan pejabat publik yang juga ingin lekas kaya.

Suap dan korupsi bukan hanya merugikan negara lantaran, misalnya, anggaran yang dicairkan bocor kemana-mana tapi rencana pembangunan tidak terwujud. Banyak pihak yang menderita karena korupsi, suap, maupun praktek tak sehat perusahaan: sekolah ambruk karena spesifikasi bahan bangunan tidak sesuai dengan rencana, anak didik tidak bisa belajar; jalan rusak, transportasi berjalan tersendat-sendat dan jadi lebih mahal; persaingan usaha berjalan timpang, dan banyak lagi kerugian yang dialami masyarakat.

Lantaran itulah, banyak pihak berusaha mengusung good corporate governance (GCG). Isu ini memperoleh perhatian luas di AS pada paruh pertama tahun 1990an ketika banyak chief excecutive officer (CEO) perusahaan multinasional (MNC) dipecat karena praktek buruk perusahaan. Namun situasinya segera surut. Minat terhadap GCG kembali muncul pada 2001 terutama setelah sejumlah perusahaan besar AS, seperti Enron Corp. ambruk karena praktek tak sehat yang menyebabkan sebagian besar karyawan dirumahkan dan ekonomi terganggu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menyusul kejadian menghebohkan itu, pada tahun berikutnya pemerintah federal AS menerbitkan Sarbanes-Oxley Act (SOA) sebagai upaya memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan publik. Aturan ini mesti dipenuhi apabila perusahaan mendaftarkan diri di Bursa Saham New York. Tujuannya: agar perusahaan memenuhi prinsip-prinsip good corporate governance agar kepentingan para pemegang saham dan stakeholders lainnya (termasuk masyarakat umum) terlindungi.

Namun praktek bisnis tak selalu berjalan seperti diangankan. Belum lagi satu dekade sejak terbitnya SOA, sejumlah perusahaan besar Amerika “berguguran”. Lehman Brothers, yang sudah berusia sekitar satu setengah abad, bangkrut. Beberapa nama mashur lainnya terancam bubar, seandainya pemerintah federal tidak segera turun tangan menyelamatkan. Ada kepentingan yang jauh lebih besar dari kepentinngan perusahaan maupun pemegang saham yang harus diselamatkan. Lagi-lagi, isu corporate governance yang sempat terabaikan kembali memperoleh momentum dan berbagai pihak mencari tahu apa lagi yang keliru dalam cara-cara pengelolaan perusahaan.

Perhatian atas cara-cara mengelola perusahaan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Ambruknya bursa saham Wall Street pada 1929 telah mendorong orang untuk merenungkan peran korporasi modern di dalam masyarakat. Tulisan Adolf Augustus Berle dan Gardiner C. Means dalam monograf yang terbit tiga tahun kemudian, The Modern Corporation and Private Property, masih menebarkan pengaruh yang mendalam terhadap konsepsi mengenai corporate governance hingga hari ini.

Studi-studi mengenai tempat perusahaan di dalam masyarakat terus berkembang, sebagaimana ditulis Ronald Coase dari Chicago, The Nature of the Firm (1937). Coase mengajak kita untuk merenungkan kembali mengapa perusahaan didirikan dan bagaimana perusahaan seharusnya berperilaku. Lima puluh tahun kemudian, Eugene Fama dan Michael Jensen menulis di Journal of Law and Economics, 1983 tentang bagaimana corporate governance: harus dipandang sebagai serangkaian kontrak tentang cara mengelola perusahaan. Tulisan Coase dan Fama itu terkait dengan dampak yang ditimbulkan oleh perilaku perusahaan terhadap masyarakat luas: jika eksekutif perusahaan menyuap pejabat publik, masyarakat luas yang dirugikan.

“Perusahaan (company)”, tulis Jonathan Mantle dalam Companies that Changed the World (2008), sebenarnya diciptakan dan dibangun untuk menyediakan kemanfaatan bagi publik, dalam bentuk barang dan jasa. Ketika produksi dan distribusi menjadi masal serta terintegrasi, muncullah “corporation”. Menurut Mantle, teknik manajemen perusahaan mengambil alih dan menginternalisasi transaksi yang sebelumnya dilakukan oleh pasar. Mereka menciptakan pasar.

Korporasi ini ditransformasikan oleh penemuan (invention). Meski bukan mereka yang menemukan kapal uap, kereta api, telegraf, dan sebagainya, namun mereka mengkapitalisasi penemuan itu. Dalam perjalanan, prioritas mereka bukan lagi kemanfaatan publik, melainkan kemakmuran pemilik privat mereka. Mereka pun semakin independen dari pemerintah yang memungkinkan perusahaan terwujud. Repotnya, berbagai cara kemudian ditempuh agar perusahaan dapat menumpuk keuntungan sebesa-besarnya. Di saat itulah kepentingan publik luas mulai terancam.

Karena itulah, ada yang mendefinisikan corporate governance sebagai serangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi cara korporasi diarahkan, ditata, dan dikendalikan. Corporate governance juga mencakup berbagai hubungan di antara banyak stakeholder dan tujuan yang hendak dicapai perusahaan.

Orang sering menyebut unsur-unsur kunci good corporate governance itu mencakup kejujuran, kepercayaan, integritas, keterbukaan (transparansi), orientasi pada performansi, responsibilitas dan akuntabilitas, saling menghormati, dan komitmen kepada organisasi. Diasumsikan, apabila prinsip-prinsip tersebut ditunaikan dalam praktek, perusahaan niscaya menampilkan performansi kerja yang prima, menangguk keuntungan yang layak dibagikan untuk kemakmuran pemegang saham maupun karyawan, dan akan selamat sampai kepada tujuannya. Kepentingan masyarakat luas pun tidak terancam, bahkan mungkin bisa ikut menikmati kemakmuran perusahaan.

Tentu saja, dalam praktek, semua harapan yang bagus-bagus itu tidak mudah diwujudkan. Praktek korupsi dan suap yang melibatkan petinggi perusahaan dan pejabat publik maupun figur-figur politik pengambil keputusan adalah buah penyelewengan terhadap good corporate governance. Dalam konteks inilah, ketika korupsi dan suap tetap marak di negeri ini, penerapan prinsip-prinsip GCG dalam menjalankan perusahaan semestinya digelorakan lagi. Jika tidak, masyarakat yang akan menderita. Artinya, penerapan GCG juga jadi kepentingan masyarakat luas. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler