x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sepatu Kita, Identitas Kita

Kita dipaksa oleh tradisi untuk memakai sepatu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa yang akan kamu lakukan jika anak buahmu dalam satu tim mengenakan sepatu persis seperti yang kamu pakai setelah ia melihat kamu keren memakainya? Memarahinya atau kamu tak mau lagi memakai sepatu yang baru kamu beli itu?

Berikut ini sebuah cerita kecil serupa yang masuk ke telinga saya dan menggambarkan serba sedikit tentang makna sepasang sepatu.

Seorang istri memperoleh hadiah sepasang sepatu dari suaminya yang punya bisnis memproduksi sepatu. Model sepatu itu hanya diproduksi sepasang. Sepatu ini boleh jadi bagus (saya sebut boleh jadi, karena saya tidak melihatnya sendiri). Jika tidak bagus, orang lain barangkali tidak menginginkannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nah, ternyata memang ada orang lain yang menginginkan sepatu serupa, yaitu asisten rumah tangga keluarga suami-isteri itu. Asisten itu bilang kepada suaminya bahwa ia sangat kepingin punya sepatu seperti yang dipakai majikan-perempuannya. Serunya, suami asisten rumah tangga itu bekerja di perusahaan sepatu milik suami majikan-perempuan itu. Syahdan, suami asisten itupun diam-diam membuatkan sepatu seperti permintaan isterinya.

Soalnya sederhana seperti itu, namun jadi rumit ketika kompleksitasnya ditingkatkan menjadi perkara gengsi. Gosip dengan cepat menyebar: bagaimana ya, kok ada asisten rumah tangga pengin sepatu persis yang dipakai majikan-perempuannya? Majikan perempuan itu kikuk: jika ia melarang keinginan asistennya itu, apa hak dia? Jika ia memilih untuk tidak lagi memakai sepatu hadiah suaminya, sayang juga ya sepatu baru hanya disimpan di dalam kotak.

Mengapa kita memilih sepatu tertentu dan bukan yang lain? Salah satu alasannya ialah untuk melindungi kaki kita, sebagai alas agar kita nyaman saat berjalan, agar terlindung dari kerikil yang bisa melukai telapak kaki. Kita butuh kenyamanan agar sanggup berjalan dan bekerja dalam waktu cukup lama—berjam-jam.

Tapi sesungguhnya kita juga dipaksa oleh tradisi untuk memakai sepatu—banyak komunitas masyarakat yang hanya memakai sandal kayu atau malah berkaki telanjang alias nyeker. Tradisi menempatkan seseorang yang mengenakan sepatu dianggap lebih beradab ketimbang yang bersandal jepit dari karet. Ketika Anda hendak memasuki sebuah kantor di gedung mentereng di jalan Thamrin, Jakarta, dengan beralas sandal jepit, bersiaplah untuk dilarang masuk.

Interaksi sosial di antara manusia juga menempatkan sepatu sebagai simbol status. Seperti cerita pembuka tadi, majikan-perempuan jadi merasa kikuk ketika asisten rumah tangganya juga mengenakan sepatu yang persis sama. Perbedaan status sosial yang direfleksikan pada sepasang sepatu telah menimbulkan ketegangan hubungan individual di antara orang dekat.

Identitas diri juga dibangun melalui sepatu: brand sepatu (terkenal atau tanpa merek), jenis material sepatu (kulit atau imitasi), pilihan warna, desain sepatu (asli atau contekan), ragam aksesorinya, bahkan hingga jumlah sepatu dibuat untuk model tertentu—semakin sedikit, semakin bergengsi, dan semakin mempertegas identitas pemakainya.

Sepatu dianggap merefleksikan cita rasa pemakainya: jika Anda datang ke sebuah acara, bisa saja Anda segera jadi perbincangan karena dianggap keliru memilih sepatu yang mesti dipakai dalam acara itu. Bisa jadi, kekeliruan Anda memilih sepatu dianggap sebagai ‘kepribadian yang terbelah’. Bisa pula, itu pertanda ‘semangat kebebasan’ Anda, sebuah perlawanan terhadap tradisi.

Berlebihan? Terserah saja. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu