x

Iklan

niwayanprima

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Layang di Ranting Cemara

Kisah penjual layang-layang yang mammpu menghidupi istri dan delapan orang anaknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada bulan di Ranting Cemara

Rindu-rindu makin menderu

Ku ingin kau ada disisiku…

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Di balik tas usang menggantung pada tubuhnya yang renta, sayup-sayup terdengar alunan lagu yang populer di tahun 70an.

Suparman, pria 70 tahun yang menghabiskan 14 tahun hidupnya menjual layangan. Lima tahun terakhir, ia memilih Taman Ayodya sebagai tempat berjualan. Sebenarnya, Suparman adalah orang asli Betawi. Namun dua tahun yang lalu, ia harus rela menjual rumahnya di Jakarta untuk pengobatan sang anak. Kemudian ia membeli tanah di daerah Bogor, tentu dengan harga murah. Hingga kini, di Bogor Suparman tinggal bersama istri yang setia membantunya membuat layangan untuk dijual.

Dalam seminggu, Suparman hanya berjualan tiga kali. Sisanya ia gunakan membuat layangan dirumah. Berangkat pukul lima pagi dari rumah, Suparman naik bus ke Jakarta. Di Taman Ayodya, ia mulai berjualan pukul tujuh pagi. Jika hari minggu, keuntungan Suparman lebih besar dibanding hari biasa. Ini karena banyak orang tua yang mengajak anak mereka berolahraga atau sekedar bersantai di taman. Dalam sehari, rata-rata Suparman bisa membawa pulang uang Rp 200.000. Jumlah tersebut belum dikurangi ongkos bus pulang-pergi Bogor-Jakarta. Suparman juga pernah menjual layangannya di Kebun Raya Bogor, tapi hasil penjualan yang ia dapat tidak sebesar di Taman Ayodya.

Bentuk layang-layang Suparman sangat sederhana dengan warna yang beragam. Ia tidak bisa membuat pola yang rumit atau dengan bentuk yang lebih besar. Lagian menurutnya, layangan yang ia jual untuk anak-anak jadi tidak perlu ukuran besar. Dalam sekali jualan, Suparman membawa 100 buah layangan. Layang-layang ini nantinya akan dijual seharga Rp 5.000 perbuah.

Di Taman Ayodya, Suparman berjualan sampai pukul 12 siang karena taman mulai sepi. Kemudian ia melanjutkan berjualan di pasar yang letaknya tidak jauh dari Taman Ayodya. Ketika sore, sekitar pukul empat barulah Suparman balik lagi ke Taman Ayodya. Biasanya jam tujuh malam atau delapan, Suparman pulang ke rumah. Ia sudah tahu Jakarta. Jika ia balik jam enam sore, jalanan masih macet. Ia memilih menunggu di taman ketimbang merasakan macetnya ibukota.

Sebelum menjual layangan, Suparman ternyata telah mencoba berbagai macam barang dagangan. Ia pernah berjualan bubur ayam, kaos konveksi, hingga bajigur. Semua itu tidak bertahan lama. Ia akhirnya setia pada layangan. Menurutnya, menjual bubur ayam, kaos ataupun bajigur membutuhkan modal yang lumayan besar. Ditambah sangat repot. Ia harus mempunyai gerobak, mendorongnya kesana-kemari dan harus menelan kerugian bila tidak laku terjual. Sedangkan ia harus menghidupi delapan anaknya.

Menjual layangan di Taman Ayodya bukan berarti Suparman tidak pernah mengalami kejadian buruk. Ia dan pedagang yang lain pernah kabur karena razia satpol pp. “Untungnya belum pernah ketangkep” katanya. “Kalo ada satpol pp, biasanya ada yang ngasi tau. Jadinya kita ngga jualan. Tapi kalo tiba-tiba dateng, ya kita kabur. Hehe” tambah Suparman.

Suparman memiliki delapan orang anak, namun satu orang anaknya meninggal saat masih kecil. Dengan usaha kerasnya, ia mampu menghidupi dan menyekolahkan ke tujuh anaknya hingga tamat sekolah menengah atas. Kini semua anak Suparman telah berkeluarga. Tinggalah ia dan sang istri di rumah.

Untuk membunuh kebosanan saat berjualan, Suparman biasanya memutar mp3 di hp-nya. Hp tersebut adalah pemberian sang anak agar bisa menghubungi Suparman dalam kondisi tertentu. Ia sendiri mengaku tidak bisa memakai hp selain menelpon, menerima telepon dan memutar lagu. “lagunya juga itu-itu aja tinggal di play. Nomer hp sendiri aja saya ngga hapal” kata Suparman sambil tertawa. Ditanya lagu apa yang ia suka, Suparman langsung mengatakan lagu Bulan di Ranting Cemara dari Elvy Sukaesih. “tiap hari itu aja yang saya denger. Hahhhaa” ungkapnya.

Suparman mengaku akan terus berjualan sampai ia tidak sanggup lagi berjualan. Walaupun kini anak-anak Suparman khawatir dengan kondisi Suparman yang sudah tua, ia ingin terus berjualan. “saya ngga bisa minta uang sama anak terus. Mereka kan juga ada tanggungan keluarga. Lagian bosen kalo di rumah terus” celotehnya.

Suparman adalah salah satu dari sekian banyak orang pinggiran yang berjuang di Jakarta. Keadaan, jarak bahkan usia tidak sanggup mengalahkan semangat mereka. Termasuk Suparman dalam tubuhnya yang renta. Berkelana untuk menyambung hidup, seperti lagu “Bulan di Ranting Cemara”, sang penjual layangan tentu rindu untuk pulang.

Ikuti tulisan menarik niwayanprima lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB