x

Iklan

Fadjriah Nurdiarsih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ayah: Sebuah Cermin dan Teka-teki

Andrea Hirata bermain-main dengan alur. Ia membuat plot-plot yang berbeda, tapi ternyata berkelindan. Berhasilkah usahanya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul : Ayah

Pengarang : Andrea Hirata

Penerbit : PT Bentang Pustaka

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jumlah halaman : xx + 420 halaman

Edisi : Cetakan keempat, Juni 2015

 

Tanda tanya yang terbayang-bayang sejak awal baru terjawab di akhir cerita.

Benarkah Ayah merupakan sebuah kisah tentang cinta antara Sabari dan Marlena seperti yang ditabalkan penulisnya di akhir novel? Penggiringan asumsi semacam ini sebenarnya terasa menganggu, sama menyebalkannya seperti melihat endorsement atau pujian-pujian untuk Laskar Pelangi yang terlalu banyak dalam novel yang sebenarnya—saya asumsikan—tidak satu seri dengan karya pertama Andrea Hirata yang fenomenal itu.

Nasib para tokoh dalam Ayah memang membingungkan dan mungkin dalam beberapa hal terasa tak masuk akal. Plot di awal cerita dijalin Andrea dengan rumit. Fokus penceritaan berganti-ganti antara Sabari, Amiru, dan Marlena. Dari ketiga tokoh ini, kemudian kisah bergulir kepada Tamat, Ukun, dan Toharun yang merupakan kawan-kawan setia Sabari. Eratnya persahabatan ketiga orang ini mau tak mau mengingatkan saya akan perkawanan Mahar, Lintang, dan Ikal dalam Laskar Pelangi.

Belitung masih menjadi latar secara keseluruhan dan Melayu (khususnya Sumatera) menjadi kunci yang menyatukan cerita. Dari novel ini Andrea menyodorkan cara pandang orang Melayu terhadap kehidupan. Ia juga memaparkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Melayu. Panggilan khas Belitung, yakni boi, terasa wajar digunakan. Selain itu, kita pun tak aneh menemukan para tokoh ini duduk-duduk di warung kopi sambil membicarakan berbagai hal. Secara jenaka Andrea menyelipkan teka-teka soal arti bahasa Belitung kuno, yakni gelaning,hademat,ngayau, dan ketumbi. Saya rasa ini didasari kesadarannya sebagai penulis untuk lebih mengangkat lokalitas daerah dalam karyanya.

Salah satu hal yang mencolok adalah banyaknya puisi yang bertebaran dalam novel ini. “Puisi adalah salah satu temuan manusia yang paling indah,” begitu ayah Sabari, yaitu Insyafi, pernah berkata (hlm. 62). Puisi, utamanya bentuk lama seperti syair dan pantun, memang sudah menjadi bagian tak terlepaskan dari cara hidup orang Melayu. Bu Norma, guru di sekolah tempat Sabari, Ukun, dan Tamat menuntut ilmu mengatakan, “Jangan sungkan berpantun, berpepatah. Pantun adalah madu bahasa, pepatah adalah harta bahasa” (hlm. 296).

Dari ayahnya Sabari mendapatkan dongeng tentang keluarga langit, awan, angin, bulan, dan matahari. Dongeng-dongeng itu kemudian ia turunkan pada anaknya, Zorro, yang sebenarnya bukan anak kandung Sabari. Marlena sudah mengandung Zorro kala ia menikah dengan Sabari. Karakter Sabari yang rela mengorbankan dirinya bukan karakter omong kosong. Pun dengan Marlena yang begitu tega meninggalkan Sabari dan orang tuanya sambil membawa Zorro. Namun Marlena yang dicitrakan sebagai perempuan pemberontak yang suka mempermainkan cinta itu lama-kelamaan membuat saya merasa dekat dengannya. Ia boleh jadi pernah berbuat salah, tapi kesalahannya itu justru membuat ia makin dewasa dan bijaksana. Manusiawi sekali dan karena itu kesalahannya termaafkan. Apalagi Marlena kemudian meminta dimakamkan di dekat makam Sabari, bukan di samping makam suami terakhirnya, Amirza.

Yang agak membingungkan justru Amiru. Ia dikisahkan berurutan dengan kisah Sabari, tapi terasa sekali Andrea menggunakan nuansa yang berbeda. Jika pada kisah Sabari ia—katakanlah—lucu dan berlebihan, pada Amiru nuansa hati-hati dan serius lebih terasa. Yang menarik, saat mengisahkan pertemuan Zorro dan ayahnya bertemu setelah delapan tahun berpisah, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa Zorro adalah nama panggilan. Nama asli Zorro adalah Amiru. Dalam perjuangan mencari Marlena ke seantero Sumatera sampai akhirnya tiba di Singkep, Tamat dan Ukun dikejutkan dengan seorang perempuan yang menangisi kematian Lady Diana. Petunjuk ini akan sinkron dengan petunjuk bahwa Amiru, pada usia sebelas tahun, sudah berjuang untuk menebus radio Philips yang digadaikan ayahnya agar sang ayah bisa mendengar siaran Lady Diana.

Deskripsi yang kuat dan mendetail menjadi bagian yang paling menarik dalam novel ini. Ketika mengisahkan perjuangan Sabari mengikuti pelombaan lari, deskripsinya begitu lancar mengalir. Ini adalah bagian terkuat dalam novel yang kala membacanya seperti seolah-olah menonton film. Setiap gerakan, pikiran, dan suasana memiliki arti. Namun perubahan besar-besaran dilakukan pada bagian akhir. Ikal hadir sebagai teman Amiru yang sedang kursus elektronika di Bogor. Secara tiba-tiba Ikal menjadi pencerita yang menutup kisah. Kita pun merasa dipermainkan alur yang dengan segaja dicerai-beraikan Andrea. Dan dengan demikianlah, seluruh teka-teka akhirnya terjawab. Andrea berhasil memberi twist yang mengesankan.

Yang agak menganggu adalah kisah Larissa dan Pak Tua Niel di northen teritory. Saya tidak mengerti kenapa mereka harus hadir jika hanya terasa seperti sempalan. Tapi mungkin saja Andrea masih memiliki rahasia yang belum ia bagi. Seperti kisah tokoh-tokohnya yang terjalin rumit dalam rentang waktu yang berbeda, perlu lebih banyak petunjuk untuk menjawabnya.

 

Fadjriah Nurdiarsih

 

 

Ikuti tulisan menarik Fadjriah Nurdiarsih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler