x

Iklan

anton septian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sepak Bola dan Filsuf

Apa jadinya bila para filsuf Jerman bertanding sepak bola melawan para filsuf Prancis?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PADA 1972, dalam semesta Monty Python, kesebelasan Yunani dijamu Jerman di Stadion Olimpiade Muenchen. Yunani menurunkan para pemain terbaiknya. Di antaranya, Plato (kiper), Aristoteles, Heraklitus, Archimedes, dan Socrates (kapten). Mereka berkostum toga zaman Helenistik.

Tim Jerman, yang berseragam jas panjang ala era Victoria, diperkuat Leibniz (kiper), Kant, Hegel (kapten), Nietzsche, Wittgenstein, dan Heidegger. Wittgenstein sebenarnya orang Austria. Entah kenapa Monty Python, grup lawak asal Inggris itu, menyertakannya dalam "Pertandingan Sepak Bola Para Filsuf"-sketsa komedi dalam acara televisi lawas Sirkus Terbang Monty Python. Karl Marx tak masuk starting lineup. Ia masuk pada babak kedua untuk menggantikan Wittgenstein.

Begitu Kong Hu Cu, sang wasit, menyempritkan peluit pada awal pertandingan, para pemain tak mengejar bola. Mereka malah wira-wiri di lapangan sembari sesekali menopang dagu. Ada juga yang tampak berargumentasi dan mendebat wasit. Nietzsche mendapat kartu kuning lantaran menyebut Kong Hu Cu tak punya "kehendak bebas".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertandingan sesungguhnya baru dimulai setelah Archimedes berseru "Eureka!" pada menit ke-89. Archimedes lalu menendang bola yang menganggur di tengah lapangan ke arah Socrates. Hanya sekali sentuh, bola berpindah lagi ke kaki Archimedes, lalu Heraklitus. Operan satu-dua itu seperti gaya tiki-taka Barcelona. Sampai di mulut gawang Jerman, Socrates menanduk bola umpan Archimedes. Gol!

Menganggap gol itu tak sah, Jerman memburu Kong Hu Cu. Menurut komentator pertandingan, "Hegel berargumen bahwa kenyataan adalah apriori dari etika non-alamiah belaka." Adapun Kant, kata komentator, berpendapat bahwa "lewat kewajiban mutlak (categorical imperative), secara ontologis gol itu hanya ada dalam imajinasi." Hanya Marx yang mengatakan Socrates sudah offside sebelum menceploskan bola.

Marx benar. Dalam tayangan ulang, terlihat bahwa posisi Socrates berada di belakang bek Jerman ketika menerima umpan. Ini juga mengingatkan kita pada sindiran Marx yang masyhur itu: para ahli filsafat menafsirkan dunia dalam beragam cara, padahal yang paling penting adalah mengubahnya.

Saya membayangkan Monty Python membikin vinyet lain yang menampilkan kesebelasan Prancis. Bukan hanya karena banyak filsuf dari Prancis, tapi juga ada dua filsuf dari negeri ini yang betul-betul menggilai bal-balan. Mereka, Albert Camus dan Jacques Derrida, mesti masuk tim nasional.

Saat mahasiswa, Camus bermain sebagai penjaga gawang dalam tim kampus. Puluhan tahun kemudian, ketika ditanya lebih suka sepak bola atau teater, Camus menjawab, "Sepak bola, enggak ragu." Dari sepak bola juga Camus belajar mengenai moralitas untuk ilmu filsafatnya.

Mungkin Monty Python akan menggambarkan Camus sebagai gelandang yang memburu bola di kaki musuh. Setelah berhasil mendapatkan bola, ia malah mengopernya lagi ke tim lawan. Perbuatan ini dilakukan terus-menerus, seperti Sisyphus.

Sepak bola pun mengilhami Derrida untuk melahirkan "dekonstruksi". Allan Hutchinson, penafsir Derrida, menyatakan pemikir tersebut menemukan kemungkinan tak terbatas dalam sebuah pertandingan sepak bola. Walau aturannya sama, tapi jalannya pertandingan-di mana saja dan kapan saja-akan selalu berbeda.

Hutchinson menganggap Derrida sebagai pemain bernomor punggung 7, seperti Eric Cantona. Keduanya sama-sama jenius dan pemberontak. Derrida memberontak terhadap kungkungan pemikiran Platonis. Di luar itu, kata Hutchinson, semasa muda Derrida memang bermimpi menjadi pemain sepak bola profesional.

Di lapangan bola sungguhan, sepak bola dan filsafat bertemu dalam satu tubuh: Socrates. Ini bukan Socrates dari Yunani, melainkan dari Brasil. Nama lengkapnya Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira. Ia adalah kapten Brasil pada Piala Dunia 1982. Pele menyebutnya sebagai salah satu pemain terbaik yang pernah ada.

Socrates meraih gelar sarjana kedokteran, dan belakangan, setelah gantung sepatu, meraih gelar doktor filsafat. Ketika bermain untuk klub Corinthians, ia terlibat dalam gerakan pro-demokrasi untuk menentang rezim militer di negerinya. Setelah pensiun, ia menulis dalam kolom olahraga, ekonomi, dan politik di surat kabar. Ia juga sering muncul di televisi sebagai pengamat sosial.

Ketika dipanggil Tuhan dalam usia 57 tahun pada 2011, ia sedang menulis novel tentang Piala Dunia 2014 di Brasil.

 

*Dimuat di Koran Tempo edisi 23 Juni 2014

Ikuti tulisan menarik anton septian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler