PAN memiliki 49 kursi di DPR RI atau sekitar 7,59 persen. Keluarnya PAN dari KMP menjadikan dominasi kursi DPR terbalik, sebelumnya 292 kursi, berkurang menjadi 243 kursi. Sementara itu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bertambah menjadi 256 kursi yang sebelumnya 207.
Tak banyak memamg selisihnya, hanya 13 kursi. Tetapi sudah membalik peta kekuatan di DPR RI. Setidaknya, kebijakan-kebijakan fundamental pemerintah yang harus diputuskan berdasarkan pemungutan suara, KMP tak lagi memiliki kuasa.
Arah perubahan dukungan memang sudah bisa diprediksi sejak pergantian pimpinan PAN dari Hatta Radjasa ke Zulkifli Hasan. Bergabungnya PAN ke KMP memang sangat terkait dengan posisi Hatta Radjasa sebagai Calon Wakil Presiden pada Pilihan Presiden tahun 2014 lalu. Tak mengherankan dan menjadi wajar, ketika Hatta Radjasa tak lagi memiliki kuasa, haluan Partai pun berubah arahnya.
Jokowi tentu saja bak ketiban sampur dengan bergabungnya PAN ke KIH. Sebab kini lengkaplah sudah, kekuasaannya didukung dua partai politik, PKB dan PAN, yang keduanya memiliki basis kuat di NU dan Muhammadiyah. Pada konteks kultural, Jokowi memiliki kekuatan penuh dalam menjalankan program pembangunannya.
Nilai Positif
Meski tak mungkin mengubah ketundukan Jokowi terhadap PDI-P, sebagai partai pengusung utama, dan Jokowi menjadi kadernya, masuknya PAN bisa menjadi kekuatan penyeimbangan dalam negosiasi kepentingan politik saat berhadapan dengan PDI-P. Jokowi bisa meminjam kekuatan PKB dan PAN sebagai anggota KIH, untuk menghadapi tekanan dari PDI-P.
Dengan begitu, peta dan strategi PDI-P dalam mensukseskan agenda-agenda politiknya harus pula berubah, meski memiliki kursi paling besar di antara anggota KIH, yang mencapai 109 kursi. Suara yang hanya bisa tertandingi manakala seluruh anggota KIH bergabung melawan kebijakan PDI-P. Situasi yang sama sekali mustahil akan terjadi.
Jokowi harus pandai-pandai berstrategi dalam memanfaatkan kekuatan baru, sehingga sedikit banyak ia bisa melepaskan diri dari tekanan kekuatan penuh PDI-P. Nabok nyilih tangan, bisa jadi akan digunakan Jokowi dalam berstartegi menghadapi kehendak induk partainya.
Imbal Jasa
Zulkifli Hasan memang tak pernah membuka secara publik bergabungnya dengan PAN untuk mendapatkan jatah kursi menteri atau posisi jabatan strategis lainnya dalam pemerintahan Jokowi. Ia hanya menyatakan kepentingannya untuk mendukung pemerintah dalam menghadapi pelemahan ekonomi. Secara ideal kepentingan PAN bergabung dengan KIH demi bangsa dan negara..
Tetapi siapa yang bisa percaya begitu saja terhadap statemen tokoh politik di negeri ini. Tak ada yang bisa dimengerti bergabungnya PAN ke KIH tanpa harapan mendapatkan jatah kekuasaan. Jokowi saja, saat mencalonkan diri menjadi Presiden selalu mengatakan koalisi dibangun bukan untuk bagi-bagi kursi dan jabatan.
Faktanya, begitu berkuasa, sebagian besar partainya berasal dari partai politik pendukung KIH. Belum lagi tawaran kepada para relawan untuk menjadi komisaris di berbagai BUMN, tersiar pula untuk jabatan menteri. Dan paling anyar, diangkatnya Teten Masduki menjadi Kepala Staf Kepresiden, yang publik tahu, ia merupakan relawan dan pendukung Jokowi untuk menjadi Presiden.
Keinginan jabatan PAN pun tak lama bisa terkuak. Lain Zulkifli Hasan, lain pula Wakil Sekretaris Jenderal PAN, Soni Sumarsoni. Seperti dirilis Koran Tempo, ia mengatakan saat ini pihaknya sedang melakukan tawar menawar jabatan menteri. "Partai sekaliber PAN tak mungkin mendapat satu, minimal tiga," katanya kepada Koran Tempo.
Pada akhirnya kita tetap saja mengerti. Perubahan apapun yang terjadi dalam peta elit partai, tetap saja keuntungan-keuntungan politisnya, hanyalah untuk mereka sendiri. Rakyat cukuplah menikmati kegaduhan politik itu melalui media.
Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.