x

Ketua DPR Setya Novanto (kiri) menghadiri upacara sumpah kesetiaan Kandidat presiden A.S, Donald Trump (depan), di Trump Tower, New York, 3 September 2015. Victor J. Blue/Bloomberg via Getty Images

Iklan

Jajang Jamaludin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Balik Pertemuan Novanto-Trump

Pertemuan Ketua DPR Setya Novanto dengan bakal calon Presiden Amerika Serikat Donald Trump memicu banyak pertanyaan seputar kepantasan serta motifnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semula, saya masih berupaya mencari pembenaran atas pertemuan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dengan bakal calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Tapi akhirnya saya menyerah. Buat saya, wajar bila kemunculan Ketua DPR Setya Novanto dan wakilnya, Fadli Zon, di depan pendukung Trump Kamis pekan lalu itu dipergunjingkan.

Coba kita putar ulang penggalan rekaman video konferensi pers Trump itu. Kepada media dan pendukungnya, Trump memperkenalkan Setya Novanto sebagai ketua DPR, orang “hebat”, serta orang “paling berpengaruh” di Indonesia. Setelah mengklaim akan membuat sesuatu yang penting untuk Amerika, Trump pun melempar umpan, “Apakah orang-orang di Indonesia menyukai saya?” Tanpa berpikir panjang, Setya Novanto menjawab, “Ya.”

Dialog singkat di depan kamera itu jelas menjadi gula-gula bagi kampanye Trump. Tapi, untuk sebagian orang Indonesia—termasuk mereka yang lama tinggal di Amerika seperti imam masjid New York Shamsi Ali—kejadian itu amat memalukan. Soalnya, di Amerika, Trump sendiri dikenal sebagai tokoh yang kerap melontarkan pernyataan bernada rasis, anti imigran, dan intoleran terhadap perbedaan agama. Bagaimana bisa, pemimpin DPR negara demokratis dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia tiba-tiba menyatakan rakyatnya mencintai Trump?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalih pimpinan DPR bahwa mereka sedang membangun jaringan karena Trump merupakan pengusaha besar terdengar mengada-ada. Katakanlah pimpinan DPR yang seharusnya mulia itu memang hendak merayu Trump untuk berinvestasi di Indonesia. Pertanyaannya, apakah itu tugas pimpinan DPR? Saya kira bukan. Urusan menjaring investasi merupakan tugas eksekutif, khususnya lembaga semacam Badan Koordinasi Penanaman Modal. Adapun kewajiban DPR membuat undang-undang yang ramah investasi.

Kemarahan Wakil Ketua DPR Fadli Zon atas kritik terbuka orang seperti Shamsi Ali juga membuat saya hanya bisa mengurut dada sendiri (bukan dada orang lain, tentunya). Bung Fadli tak hanya mengklarifikasi, tapi juga mengancam akan mengajukan somasi dan memperkarakan Shamsi ke jalur hukum. (Untung saja imam Shamsi tak terpancing. Dia telah menjawab dengan tenang dan gamblang ancaman terbuka Fadli. Salut buat imam muda yang pernah saya lihat di acara santai#ngopidikantor beberapa waktu lalu itu).

Sebagai warga negara dan pembayar pajak, Shamsi Ali memang berhak meminta penjelasan rinci soal manfaat pertemuan Setya Novanto-Trump untuk kepentingan rakyat Indonesia. Coba simak perhitungan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran. Menurut mereka, perjalanan sembilan anggota DPR itu menghabiskan dana sekitar Rp 4,6 miliar.

Seperti desakan sebagian anggota DPR, Mahkamah Kehormatan DPR perlu segera memeriksa Setya Novanto dkk. Mahkamah Kehormatan harus turun tangan untuk membuktikan ada tidaknya pelanggaran kode etik serta benturan kepentingan di balik lawatan Setya Novanto dkk ke kantor Trump.

Ikuti tulisan menarik Jajang Jamaludin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler