x

Sebuah crane patah dan menimpa calon jemaah haji di Masjidil Haram, Mekah, Arab Saudi, 11 September 2015. Sebanyak 107 orang dilaporkan tewas, termasuk warga negara Indonesia. Ozkan Bilgin/Anadolu Agency/Getty Images

Iklan

Budi Setyarso

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Musibah Crane dan Tanggung Jawab Pemerintah Saudi

Mengapa pemerintah Arab Saudi tidak memperhitungkan keselamatan jutaan orang jamaah haji dalam megaproyek perluasan Masjidil Haram.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SIMPATI dan duka yang mendalam sudah sepatutnya disampaikan kepada ratusan korban jiwa musibah robohnya crane di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi, Jumat pekan lalu. Namun, pada saat yang sama, kita selayaknya juga mempertanyakan penerapan standar keselamatan oleh pemerintah negara itu untuk jemaah haji.

Kurang dari dua pekan sebelum puncak haji, ketika jutaan orang akan berkumpul di Mekkah pada waktu bersamaan, puluhan crane masih mengangkang di atas masjid terbesar sedunia itu. Pekerja terus menggunakan alat berat raksasa tersebut dalam megaproyek perluasan masjid. Padahal, ratusan ribu orang dari pelbagai negara termasuk Indonesia mulai berdatangan.

Pemerintah Arab Saudi seharusnya telah memperhitungkan risiko datangnya angin kencang. Apalagi, musim haji tahun ini jatuh pada September, ketika hujan badai dengan petir biasa menderu di Mekkah. Badai seperti ini terbentuk di atas Pegunungan Asir, sebelah selatan Saudi, sebelum berarak menuju utara pada September hingga November. Daerah bertekanan rendah di kawasan itu juga kerap memicu badai pasir, seperti yang terjadi beberapa hari sebelum musibah robohnya crane.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan kondisi cuaca tahunan seperti itu, pemerintah Saudi semestinya menurunkan tiang-tiang tinggi crane hingga ambang batas keselamatan sebelum memasuki musim haji. Tidak selayaknya para “tamu Allah” beribadah dalam ancaman musibah mematikan. Benar, menara crane raksasa itu secara teoritis mampu menahan petir dan tiupan angin berkecepatan hingga 86 kilometer per jam. Tiupan angin pada Jumat sore sebelum musibah mendekati batas ketahanan crane itu, yaitu 83 kilometer per jam. Lebih dari itu, kemungkinan menara roboh pada saat hujan badai sebenarnya sejak awal tidak boleh diabaikan.

Pertanyaan atas penerapan standar keselamatan oleh pemerintah Saudi jelas valid dilontarkan. Sebab, musibah yang merenggut nyawa jamaah telah berkali-kali terjadi. Pada 2006, 350-an orang tewas pada saat menjalankan ritual melempar jumroh –batu kecil yang dilontarkan ke tiga tiang di Mekkah. Dua tahun sebelumnya, 250-orang meninggal pada ritual yang sama. Beberapa musibah lain pada tahun-tahun sebelumnya juga memakan korban tak sedikit.

Selama ini, jamaah memang berada di titik terlemah “bisnis” haji. Sebab, mereka menempatkan segalanya sebagai “ujian”: itu artinya mereka harus menerima apapun yang ada dan haram mengeluh, apalagi, memprotes. Aneka kesulitan diterima sebagai “jalan menuju arah lebih baik.” Tak sedikit bahkan yang “bercita-cita meninggal di Tanah Suci” karena yakin terjamin masuk surga. Walhasil, standar keselamatan dan kesehatan untuk mereka seringkali tidak dianggap sebagai prioritas.

Proyek perluasan area Masjidil Haram yang pengerjaannya dilakukan Bin Laden Group sejak 2011 hingga 2020 memang merupakan usaha untuk meningkatkan kenyamanan jamaah –dan sekaligus pendapatan negara itu. Namun, crane raksasa seharusnya tidak lagi dioperasikan pada musim haji. Begitu juga pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan masalah kesehatan bagi jamaah.

Kita patut menuntut pemerintah Saudi yang memperoleh setidaknya Rp 100 triliun per tahun dari haji untuk meningkatkan standar keselamatan bagi jamaah. Jika tidak, musibah demi musibah akan terus terulang di masa mendatang.

 

 

Ikuti tulisan menarik Budi Setyarso lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler