x

Iklan

Hari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Matinya Sepak Bola

Liga Primer Inggris dan beberapa liga lainnya kehilangan kegembiraan dan spontanitasnya di lapangan..

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya merindukan sepak bola kick and rush. Saya melihat pertandingan Southampton menjamu Manchester United dalam Liga Primer Inggris, 20 September 2015, melalui tayangan televisi dan melihat hilangnya kegembiraan dan kekacauan yang indah dalam sepak bola. Rivalitas yang timbul dari sejarah konflik lama dua pelatih tersohor dari Belanda yaitu Louis van Gaaal dan Ronald Koeman tidak terwujud dalam pertandingan yang terlalu santun.

Seperti sebuah pentas teater, musik, atau tari yang terlalu resik, rapi, penuh kalkukasi teknik, dan seakan lupa bahwa mereka adalah manusia. Hal-hal di luar nalar, kekurangajaran, keliaran, kesembronoan, dan semangat menggebu-gebu -yang terkadang kekanak-kanakan- tapi menimbulkan daya magis yang luar biasa adalah diperlukan untuk menghidupkan pertunjukan. Dan, bukankah pertandingan sepak bola adalah sebuah pertunjukan?

Liga Primer Inggris dan beberapa liga lainnya kehilangan kegembiraan dan spontanitasnya di lapangan. Semangat tereduksi oleh terlalu banyak perhitungan seperti cedera, urusan transfer belum selesai, masih main di Liga champions, dan seterusnya. Mereka terlalu lama memegang bola karena semakin rendah niat petualangannya untuk lolos dari sergapan lawan ketika menyerang. Beban menang dan kalah pada satu pertandingan semakin besar gara-gara niat semakin kalap untuk melakukan investasi besar-besaran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemurnian suatu pertandingan sepak bola telah lama dilupakan oleh begitu banyaknya pikiran-pikiran di luar sepak bola yang berkecamuk sebelum memasuki lorong stadion dan sebelum wasit meniupkan peluit pertama kali di lapangan. Kapitalisasi sepak bola di mana-mana yang terlalu serakah menyebabkan para pelatih kehilangan keliaran, semangatnya yang menggelegak. Pelatih terlalu dibayangi kecemasan yang menyebabkannya kelewat serius, kaku, dan menciptakan kejemuan di lapangan. Gairah itu telah lama redup di lapangan digerus oleh transaksi yang terlalu berlebihan di luar lapangan.

Hampir semua orang memuji Robert Lewandowski. Pada Rabu 23 September 2015, dalam lanjutan kompetisi Bundesliga Jerman, penyerang dari Polandia tersebut mencetak 5 gol buat Bayern Munich ketika mengalahkan tamunya di Allianz Arena, Munich, Wolfsburg, 5-1. Ia mencetak gol dengan kronologi waktu  yang istimewa yaitu menit ke-51, 52, 55,  57, dan 60. Tapi, jarang yang melihat dari sisi yang berbeda yaitu bagaimana para bek Wolfsburg bisa kehilangan hasrat yang begitu besar untuk “melabrak” penyerang dari Polandia itu? Bagaimana bisa para bek Wolfsburg kehilangan rasa penasarannya yang mendidih untuk  melakukan sliding tackle buat melumpuhkan Lewandowski dan kawan-kawan?

“Apa yang bisa saya katakan?” kata Pelatih Wolfsburg, Dieter Hecking, seusai pertandingan di koran the Guardian dari Inggris. “Seorang penyerang kelas dunia mencetak gol lima kali dan sebenarnya bisa mencetak tujuh gol. Itulah yang terjadi,” Hecking menambahkan. Sikap yang terkesan sportif tapi sebenarnya menyiratkan kelembekan dan kepasrahan yang tidak pantas. Sebuah permainan sepak bola butuh militansi perlawanan yang tiada habisnya.

Hanya pasrah dan tinggal menerima bahwa ada seorang pemain hebat bermukim di klub yang ternama adalah hal yang menyebabkan sepak bola kini terlalu elitis dan karena itu menjadi membosankan. Klub-klub yang selama ini berada di luar jangkauan radar popularitas atas nama dana, sejarah prestasi, rating, dan jaringan bisnis, terlalu lama pasrah untuk tidak memberikan perlawanan habis-habisan di lapangan.

Sepak bola mesti kembali kepada kegembiraannya, kepada semangat kepahlawanannya di lapangan, kembali kepada hal yang bisa irasional tapi bergelora karena hasrat yang menggegelegak di lapanan dan menyebar ke seluruh stadion.

Saya merindukan atmosfir yang membuat tubuh merinding itu seperti saat menyaksikan dari jarak hanya beberapa meter di Stadion Ernst Happel, Wina, Austria, 2008. Ketika Slaven Bilic terus berdiri di pinggir lapangan menyemangati para pemainnya dari tim Kroasia bertanding dalam babak lanjuran putaran final Piala Eropa.

Hari Prasetyo

 

Ikuti tulisan menarik Hari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler