x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Laut Sabang, Catatan-catatan Seorang Urban - Nagari Bandar

Sesuai rencana, Free Port Sabang beroperasi maksimal setelah 2070. 70 tahun pembangunan pelabuhan apakah masuk akal, untuk skala internasional sekalipun?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terjadi bersama pada 1970, Sabang ditetapkan menjadi pelabuhan bebas sekaligus daerah perdagangan bebas (Free Port) dan Batam dikembangkan Pertamina menjadi basis industri minyak dan gas. Selang setahun, Batam masuk lima tahun periode persiapan pembangunan pelabuhan bebas dan kawasan perdagangan bebas, sama dengan Sabang. Maka alasan pemerintah menutup Free Port Sabang pada 1985, padahal beroperasi baru setengah dari waktu yang direncakan selama 30 tahun merujuk UU No.4 tahun 1970, seluruhnya misteri.

Jika kemungkinan membangun Bounded Zone Batam atau pelabuhan bebas dan kawasan perdagangan bebas Batam ditemukan seusai Sabang, masuk akal pelabuhan Sabang ditutup gara-gara Batam. Tapi karena keduanya hampir bersamaan, penutupan Free Port Sabang tetap janggal menurut saya. Ditambah Batam dan Sabang bukan berjauhan.

Seusai perjanjian damai GAM dan pemerintah RI, Free Port Sabang tiba-tiba mulai dibuka kembali, dengan skala internasional katanya, bahkan digadang menyaingi Singapura. Teluk Sabang yang pelabuhan alam karena berkedalaman lebih dibanding dermaga-dermaga terkemuka lainnya di dunia, digembar-gemborkan menjadi dermaga dagang masa depan. Lahirnya generasi kapal kargo, yang perlu dermaga dalam, sering dikemukakan Badan Pengembang Free Port Sabang (BPKS) sebagai daya tarik utama. Free Port Sabang bakal ramai nantinya, menjadi tujuan sandar kapal-kapal dari penjuru dunia, khususnya wilayah Asia, karena tidak akan ada yang sanggup menyaingi kedalaman, katanya, seiring perkembangan jenis kapal pengangkut peti kemas yang bergerak ke arah sana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anehnya lagi, bagi saya, untuk mimpi kaliber nasional, membangun Sabang menjadi pelabuhan masa depan kebanggaan Indonesia, BPKS adalah badan lokal saja yang dimandati Gubernur Aceh. Jelas jauh dengan pengembang Batam (otorita Batam), misalnya, yang dikomando pejabat-pejabat nasional setiap periode. Sejak 1970 difungsikan oleh Pertamina, Batam dikembangkan dari pusat.

1971 – 1976 Batam memulai Periode Persiapan dipimpin Dr Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina kala itu. Disambung 1976 – 1978 disebut Periode Konsolidasi di bawah Prof Dr JB Sumarlin, yang menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Diteruskan Prof Dr BJ Habibie di Periode Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal pada 1978 – 1998, ketika beliau sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Diganti Kapt JE Habibie bebeberapa bulan (Maret 1998 – Juli 1998), adik kandung Prof Dr BJ Habibie, yang berdinas di Angkatan Laut juga beberapa kali menjadi Duta Besar Indonesia, dalam Periode Pembangunan Sarana Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan. Kemudian dari 1998, diteruskan Ismeth Abdullah jebolan institut Bank Dunia dalam periode yang dinamai Pengembangan Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan. Pak Ismeth kemudian menjadi Gubernur Kepulauan Riau sejak 2004.

Menyimak master plan dan bisnis plan Free Port Sabang, sistem dan porsi kerja  BPKS sama dengan Otorita Batam. Di sana tercantum periode-periode seperti konsolidasi, pembangunan prasarana, penanaman modal, dan pengembangan. Mungkin beda di jangka pembangunan, yang Batam sudah berhasil ramai sejak ‘80an, atau sepuluh tahun sejak awal periode, sementara Free Port Sabang direncanakan purna dikembangkan setelah 2070 dimulai tahun 2000. 70 tahun pembangunan sebuah dermaga dagang internasional lumayan susah terpantau.

Saya tidak yakin banyak orang Sabang mengetahui hal ini, tapi pelabuhan memang kadung jadi trade mark. Temurun, orang Sabang sangat akrab dengan pelabuhan. Pulau Weh, pulau terbesar dari gugusan pulau-pulau kecil Kotamadya Sabang, figurnya menyerupai huruf W, dan di lekuk kedualah legenda pelabuhan itu bersemayam. Teluk Sabang berkedalaman rata-rata 22 meter atau beberapa meter lebih dalam dari dermaga Singapura yang 15 meter, Port Klang Malaysia yang 15 meter juga, dermaga di Shanghai yang hanya 9 meter, atau New Tanjung Priok, yang baru dibangun, yang 14 meter saja.

Jika mengandalkan hitam di atas putih, Teluk Sabang dibuka pertama menjadi dermaga pengisian batu bara (Kolen Station), bahan bakar lazim, dulu. Mungkin sebenarnya lebih tua karena jauh sebelum peresmian Kolen Station, Sabang telah ditinggali rakyat Kesultanan Darussalam. Kerajaan Aceh pelabuhan besar sekaligus pusat perdagangan rempah. Bisa saja Sabang, yang penghasil cengkeh, dulu, menjadi tempat bersandar kapal saudagar-saudagar manca, pemburu rempah itu.  Sayang, Indonesia kehilangan banyak bukti sejarah.

Catatan pertama dimiliki penjajah Belanda, yang membangun dermaga Sabang, pada 1881. Kolen Station melayani pengisian batu bara dan suplai air bersih kapal-kapal Belanda. 1887 sebuah firma Belanda melengkapi Teluk Sabang dengan fasilitas-fasilitas pelabuhan dagang, kemudian pemerintah penjajah membukanya menjadi pelabuhan bebas. Mulailah perdagangan internasional menyentuh perairan Sabang. Pelabuhan dagang internasional di Sabang waktu itu dikelola Sabang Mactscappij milik Hindia Belanda.

Pelabuhan Sabang kemudian luluh lantak pada Perang Dunia II ketika Jepang menggempur musuhnya, termasuk Belanda, di Asia Pasifik. Teluk Sabang dan seluruh laut sekitarnya menjadi palagan raya. Kapal-kapal tenggelam dari masa peperangan itu masih beberapa terlihat di dasar laut Sabang, termasuk Kapal Sophie Rickmers, yang pernah ramai diperbincangkan gara-gara muatannya diincar akan dijual. Bangkai-bangkai itu menjadi tujuan wisata selam sekarang.

Awal Indonesia merdeka dan selama orde lama, pelabuhan Sabang nyaris selalu berfungsi sebagai benteng pertahanan karena tempatnya di pintu gerbang. Baru di akhir pemerintahan, Bung Karno menetapkan Sabang menjadi pelabuhan dagang bebas cukai berdasar Penetapan Presiden No. 10 Tahun 1963. Tapi waktu itu, Indonesia tidak punya satupun pelabuhan dagang bebas pajak. Belum dua tahun berjalan, huru-hara menimpa tanah air, menyebabkan rencana terhenti total.  

Free Port Sabang dibuka kembali 1970, tapi ditutup lagi, di tengah perjalannnya, 1985, seperti saya ungkap di awal. Rencana membuka Free Port Sabang terjadi lagi masa pemerintahan Gus Dur, dimulai sebuah Instruksi Presiden No.2 Tahun 2000. Di atas kertas, periode persiapan pembangunan Free Port dimulai, tapi nyatanya tersendat karena Aceh darurat militer.

Usai MoU Helsinki, pembangunan menjadi euforia di Aceh. Harapan-harapan orang Aceh membangun tanah sendiri dengan kekuatan sendiri seperti membludak setelah masa lalunya penuh kesulitan dari teror keamanan. Berimbas ke Free Port Sabang.

Sejak itu kawasan Free Port bukan saja di Sabang, tetapi mencapai Pulau Aceh. Free Port meluas termasuk hal peruntukan. Tidak saja pelabuhan dagang lengkap dengan jasa bongkar muat peti kemas dan gudang-gudang, tapi dua pulau mungil itu direncanakan memiliki dermaga khusus melayani cruise (kapal pesiar), ada zona khusus pariwisata, zona industri, pusat perdagangan otomotif, budidaya perikanan, penelitian bidang kemaritiman, dan pertahanan nasional. Sebuah mega rencana. Ya, kita tunggu saja pengoperasiannya ….. 2070.

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler