x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kerja Kolaboratif sebagai Kunci Inovasi

Tidak ada karya inovasi yang lahir dari penemuan tunggal—semuanya bertumpu pada pencapaian orang-orang sebelumnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejarah sesungguhnya memiliki banyak lintasan, dan kendatipun kita telah memilih salah satu lintasan untuk dilalui, kita tidak pernah tahu akan tiba di ujung yang mana. Begitulah hidup Augusta Ada, yang mewarisi dua dunia: seni dan sains. Annabele, yang tak ingin Ada mengikuti jejak ayahnya, penyair Lord Byron, memperkenalkan putri kecilnya ini dengan aritmatika.

Sembari tetap mewarisi kekuatan intuisi dari ayahnya, dan belajar kepada matematikawan Charles Babbage—pencetus ide mesin hitung yang dapat diprogram, kecintaan Ada kepada matematika kian tumbuh. Melampaui Babbage, Ada berimajinasi tentang alat penghitung yang suatu hari akan menjadi “mesin yang indah, yang bukan hanya bisa memanipulasi angka-angka, tetapi juga mampu menciptakan musik dan mengolah kata” dan “memadukan bersama-sama simbol-simbol umum dalam ragam yang tak terbatas”.

Lebih dari 150 tahun yang silam, Ada meninggal di usia muda, 37 tahun, dengan mewariskan imajinasi yang mencerahkan. Ujung dari lintasan sejarah yang dipilihkan ibunya ialah kelahiran mesin seperti yang diangankan Ada kira-kira satu abad setelah kematiannya. Sekitar 30 tahun kemudian, dua inovasi bersejarah telah merevolusi cara hidup kita: penemuan microchip yang memungkinkan komputer dibuat sekecil mungkin dan packet-switched networks yang memungkinkan komputer saling dihubungkan hingga membentuk jejaring.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari inovasi itulah lahir apa yang disebut kreativitas digital, berbagi konten, komunitas maya, dan jejaring sosial dalam skala masif. Apa yang disebut Ada sebagai ‘sains yang puitis’ menjadi nyata. Di dalamnya kreativitas seni dan teknologi menyatu—penyatuan dua dunia yang diwarisi Ada dari Lord Byron dan Annabelle; penyatuan dua budaya yang dibayangkan C.P. Snow.

Dimulai dengan kisah Augusta Ada, dalam karyanya The Innovators, Walter Isaacson menyusuri jejak-jejak historis yang melahirkan ‘Revolusi Digital’—yang pada dasarnya sebuah proses evolusioner yang melibatkan berbagai pencapaian. Komputer modern dan jejaring Internet (dua penemuan terpenting di zaman kita) bertumpu pada sekian penemuan sebelumnya: pemrograman, transistor, chip, peranti lunak, antarmuka grafis, dan seterusnya.

Tentu saja, Isaacson berkisah tentang orang-orang hebat seperti Alan Turing, Vannevar Bush, John von Neumann, Steve Jobs, Bill Gates, Linus Torvalds, Tim Berners-Lee, dan sosok lain. Merekalah orang-orang hebat yang memasang tonggak pada lintasan sejarah hingga kita memakai komputer seperti sekarang. Seorang inovator membawa egonya sendiri dengan visi yang lebih besar dari diri mereka, tapi tonggak itu tidak akan tegak kecuali berjalinan dengan tonggak lainnya. Isaacson ingin mengatakan: inovasi adalah hasil kerja kolaboratif. Seperti kata Isaac Newton: “Bila aku melihat lebih jauh dari yang lain, itu karena aku berdiri di atas pundak-pundak raksasa.”

Nama-nama hebat itu tidak bekerja sendiri. Ada saatnya militer mewadahi mereka atas dasar saling membutuhkan: memenangkan perang dan memenuhi hasrat ingin tahu yang luar biasa besar. Saat perang berkecamuk, ratusan ilmuwan dan insinyur dari berbagai disiplin diberi kebebasan oleh militer dan pemerintah untuk menyalurkan spirit kreatif mereka. Hingga kemudian, dalam konteks Amerika yang didorong oleh motif keuntungan, Lembah Silikon mengambil peran dalam menyediakan ekosistem inovasi pada tahun 1970an.

Namun dunia bisnis melahirkan antitesisnya sendiri: para aktivis free speech, hacker, pengembang bebas, komunitas open source, gamers—mereka mengembangkan ideologi berbeda yang mendorong inovasi teknologi digital ke arah yang berlainan. Pelajaran tetap sama, bahwa inovasi di dunia nyata membutuhkan pelajaran tentang kerjasama tim dan kompleksitas.

Kisah tentang kerjasama tim mereka begitu penting, sebab, kata Isaacson, selama ini ribuan buku ditulis sebagai ‘perayaan atas keberhasilan inovator tunggal’—Steve Jobs, karya Isaacson, tidak terkecuali. Carilah frasa ‘the man who invented’ di Amazon dan Anda akan dapati 1.860 buku tentang para penemu ini. Dalam The Innovators, Isaacson berusaha mengisahkan kreativitas sebagai kerja kolaboratif dan menunjukkan bagaimana inovator paling imajinatif mewujudkan gagasan disruptifnya menjadi kenyataan. Isaacson memusatkan perhatian pada 12 terobosan paling signifikan di era digital serta bagaimana terobosan itu diciptakan.

Revolusi Digital  bertumpu pada tiga inovasi radikal yang berlangsung secara evolusioner dan melibatkan banyak sosok berbakat maupun para jenius. Komputer merupakan hasil inovasi radikal yang pertama. Inovasi radikal yang kedua ialah penemuan ‘budaya perusahaan dan gaya manajemen’ yang menjadi antitesis organisasi hierarkis yang semula dianut kebanyakan perusahaan. Sedangkan penemuan piranti-piranti pribadi, seperti kalkulator, radio saku, video game, hingga personal computer, merupakan hasil inovasi radikal ketiga.

Sejarah dapat ditulis dengan penekanan yang berbeda. “Sejarah dunia tak lain adalah sejarah orang-orang hebat,” kata Thomas Carlyle, tapi Herbert Spences menunjukkan betapa hebat peran kekuatan masyarakat. Isaacson cenderung memikirkan sejarah dijalankan oleh kekuatan-kekuatan impersonal. Kolaborasi yang menciptakan Revolusi Digital bukan hanya berlangsung di antara orang-orang sezaman, tapi juga antar generasi. Dan kini, kita tengah menuju kepada kolaborasi antara manusia dan mesin. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler