x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apakah Secara Genetis Kita Makin Agresif?

Mengapa tindak kekerasan semakin mengerikan? Apakah ini terkait gen yang bermutasi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengapa tindak kekerasan  dalam masyarakat semakin mengerikan: seorang bocah 9 tahun dibunuh dan disembunyikan dalam kardus, seorang penentang tambang pasir disiksa dan dibunuh beramai-ramai, seorang perempuan diseret dengan sepeda motor hingga tewas—untuk menyebut beberapa contoh. Apakah kita sebagai masyarakat, rasa empati dan kemanusiaan kita sudah tergerus? Ataukah gen agresi dalam diri kita mengalami perubahan dan semakin mudah ‘terpantik’ untuk bereaksi?

Dalam banyak kasus, kita berharap ada penjelasan yang memadai secara psikologis maupun sosiologis terhadap berbagai aksi kekerasan yang, dalam hemat saya, kian seram. Apakah, misalnya, masyarakat kita mengalami perubahan mendalam dan apakah warga secara individual semakin agresif? Sayangnya, penjelasan semacam itu jarang kita peroleh kendati peristiwanya semakin sering—setidaknya semakin sering disiarkan berbagai media. Apa lagi penjelasan dari sudut pandang genetika.

Sudut pandang genetika sesungguhnya semakin dilihat sebagai alternatif maupun untuk melengkapi penjelasan secara psikologis dan sosiologis. Setelah jurnal sosiologi terkemuka, American Sociological Review, edisi Agustus 2008, menerbitkan artikel dengan tema perspektif genetika, tiga bulan kemudian American Journal of Sociology mengeluarkan edisi khusus yang mengangkat tema “Exploring Genetics and Social Structure”.

Terbitnya edisi khusus ini, menurut sosiolog Peter Bearman dari Columbia University yang menjadi editor edisi ini, termotivasi oleh apa yang tampak sebagai paradoks yang asing. Setiap pekan, Science Times—salah satu acara temu muka antara ilmuwan dan publik di AS—melaporkan temuan baru yang menyingkap basis genetik bagi kecerdasan, kegemukan, depresi, altruisme dan egoisme, dan seterusnya. Fenomena yang dilaporkan sebagai “genetik” itu sebagian besar bernuansa sosiologis. Namun para sosiolog jarang mendiskusikannya. Bahkan, di saat yang sama, penekanan pada ekspresi genetik sebagai penjelasan bagi perilaku manusia dan interaksi sosial dianggap oleh sebagian sosiolog akan menggerogoti perspektif sosiologis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di luar paradoks tadi, publikasi tersebut merupakan sebuah pertanda bahwa sebagian sosiolog, agaknya, memperhitungkan revolusi genetika. Mereka tak bisa mengabaikan atau berpura-pura tidak tahu bahwa terjadi sesuatu di tetangga sebelah. “Kita akan rugi jika kita tidak terlibat dalam argumen-argumen itu,” kata Jason Schnittker, associate professor di University of Pennsylvania, yang juga menjadi kontributor bagi edisi khusus American Journal of Sociology.

Bagi sebagian sosiolog, ‘sosiologi genetika’—istilah yang untuk sementara dipakai—adalah alternatif bagi ‘sosiologi tradisional’. Bahkan, bagi kelompok ‘garis keras’, perspektif sosiologis yang tidak melibatkan gen (see-no-gene perspective) kini dianggap sudah usang. Salah seorang pendukung arus ini ialah Guang Guo, ilmuwan yang bekerja di University of North Carolina, AS, yang melakukan kajian tentang gen dan kejahatan. Beberapa tahun yang lampau, di jurnal terkemuka Social Forces, Guo—pada mulanya ia seorang sosiolog—memaparkan pandangannya yang menghubungkan sosiologi dan biologi (“The Linking of Sociology and Biology”).

Studi genetika mengenai agresi dan kekerasan juga kian intensif. Tahun lalu, misalnya, dalam ranah biologi kejahatan, sebuah tim peneliti Swedia mengidentifikasi dua mutasi gen yang kelihatannya berkaitan dengan risiko yang semakin tinggi bagi munculnya perilaku sangat keras. Mutasi dan peningkatan risiko merupakan tanda-tanda perubahan.

Salah satu mutasi itu, kata Dr. Jari Tiihonen, guru besar di departemen clinical neuroscience di Karolinska Institute, Stockholm, melibatkan versi gen yang disebut MAOA. Mutasi genetik ini memperpendek sirkuit pemrosesan dan pengendalian hormon dopamine. Riset sebelumnya menyebutkan, ekses dopamine dapat mendorong perilaku agresif, khususnya ketika dicampur dengan alkohol ataupun narkoba. Mutasi lainnya melibatkan gen CDH13. Mutasi ini menghalangi perkembangan koneksi-koneksi saraf normal dan melemahkan kendali terhadap impuls. Sebelumnya, mutasi ini dikaitkan pula dengan serangan terhadap Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD).

Meskipun begitu, kata Jari Tiihonen, tidak berarti bahwa individu yang membawa mutasi MAOA dan CDH13 serta merta akan melakukan kekerasan, melainkan memiliki risiko lebih tinggi untuk berbuat kekerasan. Ini bergantung kepada kemampuan seseorang untuk mengendalikan perilaku itu, antara lain dengan menghindari konsumsi alkohol maupun narkoba. Gen yang bermutasi itu tak ubahnya bahan bakar yang akan menyala begitu terpantik api.

Dalam konteks Indonesia, niscaya relevan untuk mengetahui apakah ada gen dalam diri kita yang mengalami mutasi seperti ditunjukkan Jari Tiihonen. **

 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler