x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Astaga, Tulisan Tanganku Makin Tak Terbaca

Di tengah evolusi budaya akibat teknologi kita kehilangan aktivitas menulis tangan yang sebenarnya punya efek bagus bagi kelangsungan kemampuan otak kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak perlu dibantah, laptop, iPad, tablet, ataupun smartphone  memang membantu kita dalam berkomunikasi—secara cepat. Jika tidak bertelepon, kita mampu menulis dengan cepat di papan ketik: email, pesan pendek, maupun cuitan di media sosial. Kita semakin malas menulis dengan tangan.

Namun, sungguh mengagetkan, sebuah studi yang dilakukan Forrester Research menyebutkan bahwa 87 persen profesional bisnis masih memakai catatan tangan di samping media digital. Studi ini menyimpulkan, dengan memadukan catatan tangan dengan komunikasi digital, produktivitas meningkat drastis.

Salah satu alasannya ialah bahwa tulisan tangan seseorang bersifat unik dan individual layaknya sidik jari. Orang lain mungkin dapat meniru dan sekilas tampak persis, tapi ahli tulisan tangan atau grafologi akan tahu perbedaannya dikarenakan perbedaan tekanan saat menulis. Tekanan yang berbeda akan menghasilkan huruf yang tidak persis sama dan bahkan berbeda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itu tadi hasil studi. Selanjutnya, sedikit cerita:

Saya tidak ingat persis kapan terakhir kali menulis surat yang cukup panjang, dengan tangan—bukan dengan keyboard komputer, laptop, maupun tablet. Di masa lalu, menulis surat dari perantauan untuk orang tua menjadi pengalaman mengasyikkan—seperti halnya harap-harap cemas menunggu kiriman uang melalui wesel tatkala isi dompet semakin tipis (ketika zaman ATM belum lagi tiba). Kita harus mendatangi kantor pos untuk menukar kertas wesel dengan uang tunai—aktivitas yang jadi rutin bulanan.

Generasi Net—meminjam istilah yang dipakai oleh Don Tapscott—mungkin tidak mengenal surat pos maupun wesel, karena itu mungkin kurang akrab dengan aktivitas menulis-tangan, kecuali untuk kuliah, misalnya. Kehadiran smartphone malah membuat pelajar dan mahasiswa enggan mencatat dan lebih suka memotret materi pelajaran yang terpampang di layar proyeksi. Klik, selesai. Hanya jempol yang bekerja. Materi kuliah bisa dikirim kepada teman yang absen, juga dengan sekali klik.

Padahal, mencatat dengan tangan memberi manfaat unik. Saya sering merasa, ketika saya lupa akan sesuatu, tangan yang pernah mencatatnya seperti mengingatkan kembali. Baru belakangan saya mendapati temuan peneliti yang mengatakan bahwa kegiatan menulis huruf, serta menyusun kata dan simbol di kertas mampu meningkatkan kemampuan kita dalam mengingat kembali informasi tertentu. Ya, jemari kita seolah-olah punya daya ingat dan ia sangat berguna ketika kita lupa.

Kembali ke soal menulis. Menulis surat dengan tangan tidak bisa cepat-cepat, karena sejumlah alasan. Pertama, agar tulisannya tetap bagus kita perlu menulis dalam tempo sedang. Jika terlalu cepat, bisa berubah jadi tulisan steno. Kedua, agar tidak ada kesalahan tulis—di era net sekarang, salah tulis bisa dengan cepat dihapus (tekan saja tombol delete atau backspace atau kontrol Z). Mencoret huruf atau kata membuat surat akan terlihat kotor. Tipp-ex bisa dipakai, tapi surat jadi tampak kurang bersih.

Alasan ketiga kenapa tidak bisa menulis cepat, karena saya perlu cukup waktu untuk memilih kata dan menyusun kalimat yang tepat, agar tidak mengulang-ulang kata yang sama. Meskipun begitu, seingat saya, saya sanggup menulis 3-4 halaman untuk setiap kali mengirim surat.

Dulu, setiap minggu saya menulis surat untuk orang tua, paman, tante, kakak, saudara, maupun teman-teman, secara bergantian. Sekarang, dengan sekali tekan, email (yang sama) bisa dikirim ke banyak sekali orang. Di masa lalu, berkomunikasi lewat sambungan telepon antarkota terbilang mahal, sebab itu kabar selalu terlambat diterima. Kecuali untuk kabar yang sangat mendesak, barulah telepon dipakai atau sekurang-kurangnya lewat telegram dengan memanfaatkan jasa pos.

Kehadiran komputer membuat saya semakin jarang menulis surat dengan tangan. Anak-anak Generasi Net niscaya jarang atau tak pernah menulis surat dengan tangan. Kesempatan yang dulu sering saya punyai sekarang kian jarang dan semakin jarang. Perusahaan pos pasti merasakan berkurangnya pemakaian jasa pengiriman surat sejak orang lebih akrab dengan electronic mail, twitter, pesan pendek, maupun telepon seluler. Prangko semakin tidak laku. Kotak pos di pinggir jalan tak lagi dapat dijumpai, sebagian mungkin sudah jadi barang koleksi.

Sebagian orang mengatakan bahwa wired world (di mana email, kicauan di Twitter, dan SMS lebih cepat diakses ketimbang surat bertulisan tangan) merupakan evolusi alamiah dari komunikasi. Alamiah belaka. Siapa kini yang punya waktu untuk menempel prangko, menulis tangan, memeriksa ejaan ‘secara manual’, melipat kertas surat dan memasukkannya ke dalam amplop (Sekarang amplop lebih sering dipakai untuk ‘menyampuli’ uang sumbangan saat kondangan). Kita bisa menulis SMS dan berkicau puluhan kali setiap hari. Ini berbeda dengan menulis-tangan yang mungkin hanya sekali seminggu. Jika kita menulis surat dengan tangan sesering menulis SMS, jemari dan tangan kita akan pegal-pegal.

Di tengah evolusi budaya akibat teknologi ini kita kehilangan satu aktivitas yang sebenarnya punya efek bagus bagi kelangsungan kemampuan otak kita, salah satunya mengingat kembali informasi yang sempat terlupa. Saya sudah merasakan efek buruk dari jarangnya menulis dengan tangan. Baris pertama, kedua, dan ketiga, tulisan saya masih lumayan bagus, tapi baris-bari selanjutnya semakin tak enak dipandang dan semakin sukar dibaca. Ya, saya semakin sulit membaca tulisan-tangan saya sendiri.

Begitulah, teknologi berevolusi dengan segala dampaknya. (Gambar: Naskah proklamasi, ditulis oleh Bung Karno, didiktekan oleh Bung Hatta) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler