x

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Akhirnya Lidah Hujan Menyapa Tanah

Hujan baru saja reda, setelah lumayan turun lama, sejak petang tadi. Bau hujan meruap wangi dari aspal yang basah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Bah, dipasihan oge nya hujan (kek, diberi hujan juga ya)," kalimat itu terucap dari bibir seorang lelaki tua. Mang Maman, sahabat saya, pemilik warung gerobak di Cipete yang diajak bicara oleh si lelaki tua itu, langsung menimpali. 
 
"Alhamdulillah, rahmat dari Allah (Tuhan)", kata Mang Maman, lelaki asal Kabupaten Kuningan yang sudah berusia lebih dari 60 tahun itu.
 
Malam itu, jarum jam menunjukan pukul 19.37 Wib. Hujan baru saja reda, setelah lumayan turun lama,  sejak petang tadi. Bau hujan meruap wangi dari aspal yang basah. Gemericak sisa air hujan, yang tergilas roda mobil dan motor terasa seperti nada musik yang sangat indah. Kemarau serta musim kering yang lama, membuat kerinduan akan turunnya hujan, begitu dinanti-nanti setiap saat, setiap hari, bahkan setiap detik. Maka, ketika hujan turun, puji syukur pun terucap dari bibir-bibir yang menanti lidah gerimis menyapa tanah. 
 
Seperti yang diucapkan oleh lelaki tua itu, dan juga jawaban dari Mang Maman. Saya rekam itu, saat ikut meneduh di pinggir warungnya, sembari mereguk segelas kopi.
 
"Lamun kieu mah, ngopi nu cocok mah ( kalau begitu, ngopi adalah yang paling cocok)," kata si lelaki tua itu dengan wajah senang sumringah.
 
Mang Maman pun kembali menimpali. "Nya atuh sok (Ya sudah kalau begitu, silahkan," katanya.
 
Si lelaki tua pun memesan segelas kopi. Mungkin lewat segelas kopi itu ia ingin meresapi rasa syukurnya atas turunnya hujan di Jakarta. Dan Mang Maman, dengan cekatan langsung melayani. Segelas kopi sachetan, ia langsung racik. Dan, diberikan kepada lelaki tua itu.
 
Dengan takzimnya, si lelaki tua itu menyeruput segelas kopi yang masih mengepul hangat. Terlihat ia begitu menikmati. Mungkin sisa hujan, membuat acara minum kopinya beda seperti biasanya. Ia begitu menikmati seruputan demi seruputan. 
 
Namun memang, hujan yang turun sejak sore tadi, membuat wangi kopi begitu berbeda. Ada ruap bau sisa gerimis, menyatu dalam wanginya kopi. Nikmat. Dan memang harus di syukuri. "Alhamdulillah, akhirnya hujan turun juga," gumam saya dalam hati, ikut merasakan kegembiraan bersama lelaki tua dan Mang Maman. 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler