x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perempuan Keumala

Epos tentang peempuan perwira yang terlupakan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Perempuan Keumala Sebuah Epos Untuk Nanggroe

Penulis: Endang Moerdopo

Penerbit: Grasindo

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun terbit: 208

Tebal: x + 350

 

Jika aku sebut nama Kartini, maka semua pihak akan tahu siapa dia. Jika aku sebut Tjut Nyak Dien, banyak yang paham siapa dia. Namun jika aku katakan Keumalahayati, banyak dari anda yang mengernyit dahi. Siapa pula Keumalahayati? Orang manakah dia? Padahal Keumalahayati tak kalah hebat dan jauh lebih dahulu dari Kartini dalam membangun emansipasi perempuan. Keumalahayati juga tak kalah perwira dari Tjut Nyak Dien. Keumalahayati adalah Laksamana perempuan pertama di dunia! Laksanama yang memimpin para janda melawan bangsa Eropa. Laksamana yang menikam Cornelis De Houtman sampai pralaya. Perempuan pahlawan yang bahkan makamnya tak lagi terawat.

Merajut sejarah seorang tokoh dengan menggunakan sarana novel sudah banyak dilakukan. Sebut saja Tetralogogi Bumi Manusia, Arok Dedes dan Arus Balik karya Pram, seri kisah Gajah Mada karya Lintang Kresna Haryadi adalah beberapa contoh novel berbasis tokoh dan sejarah. Pada umumnya penulis novel berbasis sejarah dan tokok adalah para sastrawan lelaki. Tokoh yang ditulispun kebanyakan adalah tokoh berjenis kelamin laki-laki. Novel “Perempuan Keumala” ini menjadi spesial karena menulis tentang tokoh perempuan oleh novelis perempuan.

Dengan bahan yang sangat terbatas, Endah Moredopo merangkai kisah Keumalahayati, sang pahlawan yang gaungnya terkubur di laut sejarah Nusantara. Pahlawan pembela bangsa nan hilang dalam hutan belantara ingatan bangsa. Melalui novel yang ditulisnya kita menjadi tahu siapa sosok Keumalahayati, kisah hidupnya, kisah cintanya, dan keperwiraannya. 

Kisah Keumala diawali saat dia belajar di sekolah militer di Kutaraja. Kisah tentang sekolah militer yang dilatih oleh para perwira dari Turki ini memberikan gambaran kepada kita bahwa pada jaman Keumala perempuan bisa menjadi prajurit dan bahkan perwira. “Bukti” bahwa perempuan tidak didiskriminasi untuk masuk ke militer bisa ditemukan dari adanya siswa perempuan dalam sekolah militer. Kita juga mendapatkan informasi tentang hubungan internasional yang sudah jamak berlaku.

Pada masa pendadaran inilah Keumalahayati bertemu jodohnya sesama calon perwira laut Mahmudin bin Said Al Latief putra orang kaya dari Meulaboh. Mereka membangun keluarga yang bahagia dengan satu anak. Namun dalam sebuah peperangan dengan Portugis suaminya meninggal. Penderitaan Keumala bertambah dalam karena melalui intrik yang terjadi di kerajaan, anak semata wayangnya juga hilang tersandra.  

Keumala bangkit melihat kegentingan negerinya. Sultan yang semakin renta dirongrong oleh berbagai pihak yang mencari keuntungannya sendiri, termasuk anak bungsunya yang bernafsu segera menjadi sultan. Di tengah-tengah kegalauan istana, Keumala diangkat menjadi Laksamana Laut. Keumala berkewajiban menjaga Selat Malaka dari gangguan berbagai pihak. Disinilah Keumala menunjukkan kepeduliaanya pada perempuan. Keumala membangun tentara yang terdiri dari para janda korban perang. Melatih perempuan, janda pula, bukanlah hal mudah. Bersama tentara perempuan janda perang ini, yang diberi nama ‘Inong Bale’ , Keumala menjaga laut. Puncaknya adalah ketika dia berhasil menikam Cornilis de Houtman sampai tewas dalam sebuah peperangan yang licik.

Kemampuan Endang Moerdopo terlihat ketika dia menampilkan janda calon tentara yang masih menyusui anaknya. “Oh ya Inong, kau boleh meninggalkan barisan bila payudaramu sudah terasa ngilu penuh air susu. Kau boleh keluar barisan untuk menyusuinya lagi. Tugas ibu adalah memberi kehidupan, dan air susumu itulah sumber kehidupan.” (halaman 200.) Sayang, selain dari kisah di pelatihan para janda ini, tokoh Keumala ditampilkan sebagai sosok yang sangat maskulin dan kurang nampak Keumala sebagai perempuan. Penokohan Keumala dari sisi keperwiraaannya ini membuat kita hanya menyaksikan Keumala dari satu sisi saja.

Harus diakui bahwa sumber yang bisa diacu sebagai bahan untuk menulis kisah Keumalahayati sangat terbatas.Itulah sebabnya kisah yang ditampilkan adalah ‘kisah lurus tanpa penafsiran’. Ini berbeda dengan novel-novel sejarah lainnya yang berani memberikan tafsir lain atau setidaknya pembacaan fakta yang berbeda dari sejarah mainstream.

Namun jika penulis mau melakukan riset yang lebih dalam, mungkin novel ini akan lebih sempurna. Misalnya umpatan ‘kunyuk’ rasanya sangat aneh keluar dari mulut petinggi Aceh. Umpatan ini lebih lazim keluar dari para bangsawan Jawa. Satu lagi adalah tentang kebiasaan orang Aceh yang sudah minum kupi, bahkan ada kedai kopi di jaman Keumalahayati. Kupi baru menjadi minuman umum di Aceh dan wilayah Hindia Belanda lainnya setelah abad ke 19 ketika Belanda membangun perkebunan kopi di Benermeriah dan di Jawa. Artinya kisah tentang kupi sebagai minuman umum di Aceh terlalu awal 3 abad. Kekurangan ini bisa dimaklumi karena Endang Moerdopo adalah wong Jowo yang berasal dari Jogja dan tidak berlatar belakang pertanian.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler