x

Iklan

jobpie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Geger Freeport, Ini 5 Hal yang Mencurigakan

Rupanya, Freeport ingin urusan penjualan saham kepada BUMN disisipkan dalam revisi peraturan pemerintah tadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Negosiasi mestinya didasarkan pada niat baik dan penghargaan atas posisi masing-masing. Memang kedua belah pihak yang berunding posisinya setara, tapi tentu bobotnya bisa beda. Seperti renegosiasi PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah RI untuk kontrak eksplorasi tampang emas di Papua 1991-2021 dan pengelolaan jangka panjang setelah 2021.

Jelas pemerintah, sebagai pemilik lahan atas nama bangsa ini, punya bobot lebih besar ketimbang Freeport-McMoRan Inco --- pemegang 90,64 persen saham Freeport Indonesia sekaligus puncak penentu negosiasi. Hal inilah yang harus menjadi pijakan pemerintah dalam berunding untuk memperjuangkan kepentingan nasional seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Perundingan ini pun begitu berarti bagi Freeport, terlihat dari keinginan Freeport untuk mempercepat negosiasi untuk pengelolaan pasca 2021 mulai saat ini. Investasi besar bakal dibenamkan di bumi Papua maka soal bisnis harus dipastikan dari awal, kan? Menggarap tambang emas di Papua sejak 1967 tentu membuat perusahaan asal  Amerika Serikat itu untung besar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berkaitan dengan negosiasi dan keuntungan tadi belakangan ini mencuat sejumlah kecurigaan seputar renegosiasi Freeport. Maka wacana dan kontroversi membuncah, bahkan sampai di internal pemerintah:  Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli vs Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.

Kecurigaan pertama, adalah royalti buat pemerintah yang cuma 1 persen dari hasil tambang sejak kontrak pertama pada 1967. Rizal Ramli menggebrak dengan menuding Freeport rakus mengeruk keuntungan dari bumi Indonesia. Menteri Koordinator Perekonomian Presiden Abdurrahman Wahid itu menyatakan itu terjadi lantaran banyak pejabat negara yang gampang dilobi untuk kepentingan Freeport.

Rizal meminta royalti 6-7 persen. Mengacu kelaziman di negara-negara lain memang royalti bagi pemerintah di atas 5 persen. Tentu kondisi tambang dan kandungan emas dan mineral lain di tiap negara bisa berbeda. Itu sebabnya, keterbukaan pihak perusahaan diperlukan untuk dijadikan acuan dalam negosiasi.

Kedua,  Golden share 9,36 persen milik pemerintah yang biasa disebut Saham Merah-Putih benar-benar membuat pemerintah tak bisa berkutik. Hak veto untuk menggugurkan keputusan perusahaan yang akan merugikan Indonesia tak bisa dilakukan.

Kecurigaan ketiga, pemerintah melalui Kementerian Keuangan tak mendapat akses mengetahui kondisi keuangan dan produksi perusahaan. Padahal, informasi itu diperlukan antara lain untuk bahan negosiasi termasuk menentukan royalti.

Yang keempat, Rizal Ramli mengaku pernah akan disogok oleh Chief Executive Freeport-McMoRan Inco James Moffett pada 2000. Kala itu, Freeport mengajukan renegosiasi. Dalam penjelasannya di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 13 Oktober 2015, Rizal mengatakan dirinya meminta US$ 5 miliar untuk pemerintah plus renegosiasi limpah dan lain-lain.

Moffett malah mengajak sang ketua tim negosiasi pemerintah itu berunding di Amerika menumpang jet pribadinya. Di sana, dia menjanjikan pemandangan indah Colorado dan musik klasik. Rizal menolak dengan tegas sebab bisa jadi lobi serupa yang bikin banyak kebobrokan dalam negosiasi pada medio 1980-an. "James Mofett berdiri nyaris cium tangan saya dan minta maaf," ucap Rizal.

Juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama mengaku tak tahu lobi terakhir Moffett dengan Rizal. "Kami tidak mengetahui hal tersebut," katanya via pesan singkat, Rabu, 14 Oktober 2015.

Kecurigaan kelima, Freeport menahan pelaksanaaan divestasi saham kepada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Sebenarnya divestasi sudah disepakati kedua belah pihak. Itu salah satu dari 17 poin renegosiasi 1991-2021 yang diajukan pemerintah --- 11 menyangkut kepentingan daerah dan 6 kepentingan pemerintah pusat.

Tarik menarik terjadi karena Freeport menunggu revisi Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014. Pemerintah sepakat merevisi aturan yang mengharuskan negosiasi untuk kerja sama selanjutnya dilakukan dua tahun sebelum kontrak terakhir berakhir. Aturan itu memang dinilai tak masuk akal untuk urusan bisnis semacam ini.

Namun, aturan yang direvisi itu tak ada urusannya dengan divestasi saham Freeport. Rupanya, Freeport ingin urusan penjualan saham kepada BUMN disisipkan dalam revisi peraturan pemerintah tadi.

Bukan berarti Freeport tak pernah memberikan kontribusi kepada Indonesia. Seperti tertulis dalam situs Freeport Indonesia, perusahaan ini berinvestasi sekitar US$ 7,7 miliar dalam infrastruktur selama 45 tahun belakangan. Sebanyak 300 ribu karyawan beserta keluarga mereka bergantung pada Freeport.

Keuntungan bagi Indonesia dalam pajak, royalti, biaya, dividen, dan dukungan langsung lainnya sebesar US$ 500 juta pada 2014 sehingga total US$ 15,8 miliar sejak 1992. Khusus royalti, Freeport memberikan US$ 1,647 miliar pada 1992-2014. Masih ada kentungan tak langsung menurut Freeport, yakni berupa gaji dan upah, pembelian dalam negeri, pengembangan regional, dan investasi dalam negeri langsung lainnya, yang totalnya US$ 29,5 miliar sejak 1992.

Sekilas angka itu besar, tapi apakah sebanding dengan kekayaan alam yang sudah disedot selama puluhan tahun? Memang pemerintah juga tak bisa berlebihan mematok royalti tanpa mempertimbangkan kondisi perusahaan dan kerja sama selama ini. Apalagi Freeport sudah membuka datanya. Namun Presiden Joko Widodo sudah waktunya lebih tegas membela kepentingan nasional. Amanat konstitusi tak bisa ditawar lagi.

 

Ikuti tulisan menarik jobpie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu