x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sang Pengabdi

Dokter ini membuka praktek gratis dan hidup sederhana dari gaji kecilnya mengajar. Teladan besar bagi para pengabdi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemuda bersorot mata kalem itu berujar, “Sungguh sebuah perbuatan mulia menggambarkan budi luhur,” setelah didengar ide dokter tua di hadapannya, yang memimpikan manusia Jawa perlu bahu-membahu mengumpulkan uang membiayai siapa saja yang berkemauan menuntut ilmu. Pertemuan kecil saja antara si dokter tua dengan pemuda tadi bersama beberapa teman. Pertemuan seorang alumnus dan junior-junior suatu almamater. Mereka sama-sama penuntut ilmu sekolah kesehatan STOVIA, jaman Indonesia jajahan Belanda.

Seusai akrab-akraban, para pemuda seperti tersengat semangat sama, perlu nyata mewujudkan ide dokter tua. Pemuda bermata lembut mengambil peran orator. Kelas-kelas dijadikannya kumpulan pendengar pertama. Runut (teratur), gamblang (terang), dan kalem (tenang) adalah gaya Subroto, yang sering menjadikan tiap yang disampaikannya mudah dipahami para pendengarnya, termasuk kala itu, yang akhirnya membuat mahasiswa-mahasiswa STOVIA bertekad membantu masyarakat. Bukan cuma mulai mengumpulkan dana pendidikan seperti mimpi dokter tua tadi, tapi membantu masyarakat dalam hal apa pun, semampu mereka.

Subroto dan teman-teman hadir di tengah masyarakat, membantu demi kebaikan bersama. Kumpulan penuntut ilmu itu menyatu dengan lingkungan, mengenali masalah-masalah yang tengah dihadapi sekitar, lalu sekuat tenaga mengusahakan jalan keluar. Pada petani-petani, tukang-tukang kayu, pengrajin-pengrajin kulit, pedagang, dan banyak golongan, kumpulan pelajar itu mempersembahkan pengabdian. Subroto salah satu pencetus dan dari tuturnya diambillah nama kumpulan, bermakna budi luhur, yaitu Budi Utomo, sesuai tata bahasa masa itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semangat peduli, berbagi, dan mengabdi atau berkorban untuk kebaikan bersama terus merasuki Subroto. Selulus STOVIA, setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Dokter Jawa bekerja pada Belanda, Subroto bukan berhenti. Tetap diamalkannya ilmu kesehatan pada masyarakat meski tanpa gaji. Subroto membuka praktek swasta dengan membebaskan pungutan biaya. Subroto membiayai hidup dengan mengajar.

Dari politik balas budi penjajah Belanda, Subroto memang sempat merasakan pendidikan lanjutan ke Belanda. Sepulang dari Belanda, Subroto dijadikan guru di sekolah ilmu kesehatan milik penjajah Belanda di Surabaya, NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), cikal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Di Surabaya, saat sehari-hari mengajar di NIAS dan mengabdi memberi layanan kesehatan, Subroto tetap mengusahakan sebesar-besarnya kemanfaatan diri bagi sebanyak-banyaknya masyarakat. Ia mengajak kaum terpelajar mendirikan Indonesische Studie Club (ISC). Subroto mencantumkan misi ISC adalah mempelajari masyarakat sekitar, merumuskan masalah-masalah yang tengah dihadapi, kemudian bergerak mengusahakan pemecahan masalah-masalah. ISC tidak mencari bayaran, beranggotakan mereka yang siap berkorban untuk sesama. Ide ISC besar, kaum terpelajar Surabaya banyak yang bergabung dalam kumpulan.

Peran besar Subroto dalam masyarakat, ditambah latar pendidikan Belanda, memungkinkan Subroto terlibat dalam pemerintahan. Subroto diundang Belanda menjadi anggota Dewan Kota, semacam parlemen, untuk menyumbang gagasan pada jalannya pemerintahan. Suara-suara Subroto tetap sama, demi kepentingan masyarakat, seperti peningkatan kualitas kesehatan dengan penambahan layanan, juga pembangunan kampung-kampung.

Usulan Subroto terus gagal. Dewan menyetujui banyak perbaikan bagi Belanda tapi mengabaikan kesejahteraan dan perbaikan penduduk asli. Organisasi pemerintah berat sebelah ini akhirnya ditinggalkan Subroto dengan menyatakan pengunduran diri, dan kembali teladannya menggerakkan orang-orang mengikuti. Beberapa tokoh pribumi ikut mundur dari Dewan Kota Surabaya.

Subroto mengabdi pada masyarakat dan terus menyuarakan semangat itu selepas mundur dari Dewan Kota. ISC dibawah kepemimpinannya berkembang hingga terbangun Bank Bumiputera, yang kemudian berganti nama Bank Nasional. Demi memperkuat perjuangan hak-hak masyarakat, terutama pribumi, yang sering terabaikan dalam sistem pemerintahan penjajah, ISC mendirikan partai. Semula PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), lalu bergabung dengan organisasi Budi Utomo mejadi Perindra (Partai Indonesia Raya). Perindra aktif dalam dewan-dewan rakyat menyuarakan perbaikan nasib Bangsa Indonesia hingga menuntut kemerdekaan, kemandirian rakyat tanah air, dan menggugat campur tangan Belanda, yang jelas menjajah.

Belum tiga tahun umur Perindra, Subroto wafat, tidak lama setelah istri tercintanya meninggal. Konon, Subroto demikian sedih karena tidak sempat merawat baik sang istri, seorang Belanda, yang sangat dicintainya, meskipun ia sempat membangun rumah di lereng Gunung Penanggungan. Rumah itu dibangun khusus demi kesembuhan sang istri dari sakit paru-paru kronis yang lama diderita.

Subroto pribadi besar bukan dari apa yang diijinkan Tuhan ada padanya melainkan dari kesanggupannya mempersembahkan segala anugerah kembali hanya demi Tuhan. Mengabdi pada sesama manusia hanya demi Tuhan, bahkan tidak mengutamakan orang-orang terdekatnya, orang-orang yang dicintainya, adalah semangat Subroto, yang teladan besar, menurut saya. Subroto meninggal 1938, dimakamkan di Surabaya, dan dikenal luas sebagai Dokter Sutomo.

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu