x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keberlanjutan Perbankan atau Keberlanjutan Bumi?

Dahulu, orang-orang berpikir bahwa memerhatikan aspek sosial dan lingkungan akan menghambat bisnis perbankan. Kini, bukti-bukti menunjukkan kebalikannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagian bagian dari fellowship yang kami terima dari United in Diversity untuk belajar tentang ekonomi hijau di Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology (MIT), saya dan beberapa rekan lain mengerjakan tugas akhir berupa prototipe terkait keuangan berkelanjutan.  Lewat tahapan-tahapan yang memakan waktu 15 bulan, akhirnya kami menyelesaikan pembuatan website www.sustainablebanking.id yang dicita-citakan menjadi repositori pengetahuan dan lokus pertukaran informasi tentang keberlanjutan perbankan di Indonesia.  Termasuk di dalam isi website tersebut adalah aplikasi Android gratis yang merupakan bahan pelatihan perbankan berkelanjutan yang dibangun oleh Bank Negara Indonesia.

Pembangunan berkelanjutan di Indonesia sangatlah memerlukan bantuan seluruh sektor ekonomi untuk bisa dicapai.  Kalau seluruh sektor ekonomi tidak diarahkan menuju keberlanjutan, mustahil pembangunan berkelanjutan bisa dicapai.  Dan, kini dunia telah sampai kepada suatu model keberlanjutan yang tidak lagi ragu-ragu menempatkan ekonomi pada posisi yang seharusnya: menjadi pelayan tujuan sosial dan lingkungan.  Lebih tepatnya, ekonomi yang diinginkan adalah sebuah sistem produksi, distribusi dan konsumsi yang meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat dan memelihara serta memerbaiki mutu lingkungan.  Inilah hakikat dari ekonomi hijau.  Ekonomi tidaklah setara dengan sosial dan lingkungan, melainkan ekonomi merupakan bagian dari sosial, sementara sosial adalah bagian dari lingkungan.  Model inilah yang kini mendasari Sustainable Development Goals (SDGs).

Dengan model yang demikian, maka seluruh sektor ekonomi bukan saja harus ‘memerhatikan’ aspek sosial dan lingkungan.  Seluruh sektor ekonomi harus diarahkan untuk tujuan sosial dan lingkungan yang baik.  Hal ini memiliki konsekuensi serius, yaitu adanya sektor-sektor ekonomi yang dipandang tidak kompatibel dengan tujuan keberlanjutan, dan adanya sektor-sektor ekonomi yang kompatibel dengan tujuan itu.  Tindakan yang harus dilakukan sangatlah jelas.  Sektor ekonomi yang bertentangan dengan tujuan keberlanjutan harus dihilangkan melalui transisi tertentu, sementara sektor ekonomi yang kompatibel harus didorong dan ditumbuhkan secepat mungkin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam pengertian yang demikian, sektor keuangan menempati posisi yang khusus. Berbeda misalnya dengan industri rokok dan sumber-sumber energi kotor seperti batubara dan minyak yang harus diakhiri karena berada dalam posisi kontradiksi inheren terhadap pembangunan berkelanjutan; sektor keuangan tetap diperlukan. Hanya saja, sifatnya harus diubah dari yang selama ini cenderung destruktif terhadap kondisi ekonomi-sosial-lingkungan, menjadi konstruktif.

Sifat destruktif dari sektor finansial ini sudah banyak dituliskan oleh para pakar.  Dan, secara resmi bahkan telah dinyatakan dalam dokumen The Financial System We Need yang dikeluarkan oleh UNEP Inquiry di bulan Oktober 2015.  Pada dokumen tersebut digambarkan bahwa pada awal perkembangannya, sektor finansial telah berhasil membawa kemajuan ekonomi dan sosial kepada dunia.  Namun, sejak awal sangat jelas bahwa mutu lingkungan menjadi memburuk lantaran perhatian yang rendah dari sektor finansial terhadap dampak lingkungan dari investasi. Yang kemudian terjadi adalah bahwa memburuknya kondisi lingkungan lalu diikuti oleh mundurnya juga kondisi sosial dan ekonomi.  Tentu saja, kondisi lingkungan yang memburuk semakin tak mampu menopang kehidupan di atasnya.  Kemajuan yang tadinya terlihat, kemudian disadari hanyalah bersifat semu dan sementara.

Oleh karena itu, sektor finansial perlu untuk ditransformasikan menjadi penyedia sumberdaya untuk mencapai tujuan keberlanjutan.  Hal itu hanya bisa dilakukan apabila sektor ini memang memperhitungan aspek sosial dan lingkungan dalam keputusannya.  Kalau—seperti yang selama ini ditunjukkan—sektor finansial cenderung mengabaikan kedua aspek tersebut, maka yang akan terjadi adalah kita semakin menjauhi keberlanjutan.  Sebaliknya, perhatian pada kedua aspek itu akan menyembuhkan Bumi dan juga membuat bisnis di sektor finansial menjadi pulih kembali.  Begitu pesan dari dokumen UNEP Inquiry tersebut.   

Apakah benar seperti itu? Tidakkah memberikan perhatian pada aspek sosial dan lingkungan—apalagi mengabdi pada kepentingan sosial dan lingkungan sebagaimana yang diadvokasi oleh konsep ekonomi hijau—akan membebani sektor finansial?  Tentu, memertimbangkan lebih banyak aspek tentu memiliki konsekuensi lebih banyaknya sumberdaya yang dicurahkan, selain (tampaknya) lebih sedikitnya pilihan investasi yang bisa dilakukan.  Kalau sebuah bank—salah satu di antara sekian banyak komponen keberlanjutan sektor finansial—ingin menapis investasi berdasarkan kriteria sosial dan lingkungan, tentunya akan memerlukan waktu yang lebih lama, orang yang lebih banyak, dan biaya yang bertambah untuk sampai pada keputusan investasinya.  Apakah ini akan terbayarkan?   

Dari beragam kasus di seluruh sektor ekonomi, keuntungan tangible yang diperoleh perusahaan-perusahaan yang berkomitmen pada keberlanjutan telah lama diketahui dan dihitung dengan cermat.  Hasilnya adalah bahwa perusahaan yang berkomitmen tinggi pada keberlanjutan mendapatkan keuntungan finansial yang melampaui mereka yang berkomitmen rendah atau mengabaikannya.  Salah satu yang paling mutakhir, penelitian bertajuk Corporate Sustainability: First Evidence on Materiality yang dilakukan oleh Khan, Serafeim dan Yoon (2014) menunjukkan bahwa bila seseorang menginvestasikan USD1 pada perusahaan yang berkinerja keberlanjutan rendah di tahun 1993, maka di tahun 2014 uang tersebut akan menjadi USD14,46.  Sementara, kalau uang tersebut diinvestasikan pada yang berkinerja keberlanjutan tinggi, akan tumbuh menjadi USD28,36, atau hampir 2 kali lipatnya.

Sementara, kalau kita hanya mau tahu bagaimana kinerja itu di sektor perbankan, penelitian Eisenbach, et al., Sustainable Project Finance, the Adoption of the Equator Principles and Shareholder Value Effects, yang termuat dalam jurnal Business Strategy and the Environment, Vol. 23, 2014 menyimpulkan bahwa setelah 10 tahun penerapan Equator Principles (2003-2013), tampak jelas bahwa bank-bank penanda tangan Equator Principles kinerja keuangannya mengungguli mereka yang tidak menandatanganinya.  Keunggulan tersebut datang dari dua hal, yaitu peningkatan jumlah projek yang dibiayai, serta peningkatan pangsa pasar.  Demikian juga, risiko reputasi mereka yang menandatanganinya jauh lebih terjaga.       

Penelitian serupa, dengan jumlah kasus yang lebih besar lagi, 29 negara, berjudul Sustainable Project Finance, the Adoption of the Equator Principles and Shareholder Value Effects, menguatkan kesimpulan di atas.  Jo, Kim, dan Park memublikasikan hasil penelitian tersebut di Journal of Business Ethics Vol. 131/2, 2015.  Hasilnya?  Perhatian perbankan terhadap aspek lingkungan jelas membuat kinerja lingkungan projek-projek yang dibiayai menjadi meningkat, dan—yang terpenting untuk diketahui para bankir—kinerja lingkungan yang meningkat itu kemudian menurunkan biaya lingkungan (bukannya menaikkan!) dan dalam 1 hingga 2 tahun, penurunan biaya lingkungan tersebut terbukti meningkatkan return on asset.  Buat bank, ini berarti jaminan keamanan projek yang lebih tinggi, sehingga risiko kredit macet bisa ditekan.  Memang, pada pasar finansial yang lebih maju kecepatan serta besaran return on asset itu secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan pasar finansial yang sedang berkembang.  Namun, strategi penapisan berdasarkan aspek lingkungan ini tetap saja sangat bermanfaat di manapun dilakukan. Selain memang menguntungkan buat perbankan, perhatian pada keberlanjutan juga dibuktikan sangat mendukung stabilitas sistem finansial.

Hal lain yang penting diperhatikan adalah perbankan berkelanjutan juga memiliki pemihakan yang sangat kuat terhadap sektor-sektor tertentu.  Penapisan negatif memang dilakukan terhadap sektor-sektor ekonomi yang tak berkelanjutan.  Namun penapisan positif juga dilakukan, dengan hasil yang tidak mengecewakan.  Kita tahu bahwa beberapa tahun belakangan investasi dalam energi tak terbarukan telah semakin tidak popular.  Gerakan divestasi dari investasi di sektor pertambangan batubara dan minyak semakin menguat, dan investasinya memang terbukti semakin tidak menguntungkan.  Di sisi lain, terdapat banyak bukti bahwa investasi di energi terbarukan sangatlah baik hasilnya.  Laporan-laporan yang diterbitkan oleh The Global Commission on the Economy and Climate di bawah projek The New Climate Economy menghadirkan banyak sekali bukti bahwa ramah iklim juga sangat menguntungkan secara ekonomi. 

Dengan bukti-bukti yang telah banyak diproduksi, sudah seharusnya tak ada lagi keraguan bahwa keberlanjutan perbankan adalah jalan yang harus ditempuh oleh seluruh bank di Indonesia, sebagai bagian dari keberlanjutan keuangan, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan Bumi.  Tak ada dikotomi di antara keberlanjutan perbankan dan keberlanjutan Bumi, karena hanya investasi yang ditujukan pada tujuan sosial dan lingkungan saja yang bisa menjamin keberlanjutan bisnis perbankan.  Kalau di masa lalu banyak pihak menggunakan kata hubung ‘atau’ di antara keberlanjutan perbankan dengan keberlanjutan Bumi.  Kini keduanya dihubungkan dengan kata hubung ‘dan’. Hal tersebut merupakan keniscayaan di masa kini dan mendatang. Pilihan bagi bank-bank sudah jelas: menjadi berkelanjutan atau punah.              

 

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler