x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dia Bilang: “Saya Hanya Korban!”

Memainkan peran sebagai korban adalah cara yang kerap dilakukan untuk menarik simpati publik dan menghalau sorotan negatif. Ini adalah jurus untuk membalik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Jika engkau bermain seolah korban, maka engkau adalah korban dari realitasmu."
--Entah siapa

 

Salah satu jalan untuk berkelit dari sorotan negatif publik ialah mendeklarasikan diri sebagai korban. “Saya ini hanya korban. Saya dizalimi. Saya tidak melakukan apapun seperti yang disangkakan.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memainkan peran sebagai korban adalah cara yang kerap dilakukan untuk menarik simpati publik dan menghalau sorotan negatif. Ini adalah jurus untuk membalikkan keadaan ketika berada di bawah tekanan. Jurus ini bukanlah jurus menyerang, melainkan jurus merendahkan diri: “Mana mungkin saya berbuat seperti itu.”

Tapi bayangkanlah ketika orang yang mengatakan seperti itu tengah berdiri di depan cermin. Ia mungkin berulang kali memandangi sudut mata dan sudut bibirnya ketika mencoba berkata-kata seperti itu. Tak ubahnya seorang aktor yang tengah melatih diri untuk menemukan cara pengucapan yang mampu mengesankan dan meyakinkan publik penonton bahwa ia tidak seburuk yang dipersangkakan.

Setelah puluhan kali berlatih mengucapkan frasa itu, lengkap dengan melatih mimik wajah dan gestur tubuh, hingga trik memainkan gerak mata, ia semakin tampak fasih. Ia terus belajar bagaimana berakting di depan kamera jurnalis, sebab ia sadar dirinya tengah mempromosikan diri kepada publik: para penonton televisi yang menyukai drama. Ia harus mampu membikin para penonton bersimpati kepada dirinya.

Sebagian penonton kemudian memang memercayai kata-katanya bahwa ada persekongkolan untuk menjadikannya korban. Sebagian penonton mungkin mulai ragu-ragu akan kebenaran sangkaan buruk terhadap dirinya dan kemudian malah bersimpati atas nasibnya. Di saat seperti ini, drama semakin dimainkan dengan melibatkan lebih banyak orang sebagai aktor pendukung dan figuran. Para aktor pendukung juga memberi pembelaan dengan cara-cara yang kurang menghargai kesehatan nalar masyarakat.

Di arena politik, bisnis, dan hukum—tiga sisi kehidupan kita yang memprihatinkan, kecenderungannya seperti itu. Banyak orang bermain peran sebagai korban untuk menarik simpati publik. Dengan menjadikan dirinya seolah-olah korban dalam suatu peristiwa politik, bisnis, maupun hukum, ia bermaksud membebaskan diri dari peran sebenarnya sebagai salah satu pemain yang tengah bernasib buruk: kalah bertarung ataupun bernasib apes karena tindak korupsinya tersingkap. “Ada konspirasi,” begitu ia berkata—maksudnya, konspirasi yang memerangkap dirinya.

Tapi, cobalah kita amati gestur tubuh dan mimik wajahnya saat mengucapkan hal itu. Kendati ia berusaha meyakinkan publik, tapi tersirat keraguan dirinya. Gerak tubuh dan mimik wajah menyampaikan hal yang berbeda: baru-baru ini seorang ahli mimik muka memaparkan hasil analisisnya terhadap mimik seorang figur publik yang mengaku diperas—sudut bibirnya, kata ahli ini, mengatakan hal yang berbeda dengan air mata yang keluar dari sudut penglihatannya.

Agar lebih meyakinkan, para aktor pendukung dan figuran berusaha menciptakan situasi agar sang aktor benar-benar tampak sebagai korban dan dipersepsikan oleh publik juga sebagai korban. Aktor pendukung turut berbicara untuk memengaruhi persepsi publik, sedangkan para figuran menyokong lewat demonstrasi.

 Mereka tampil seolah tidak berdaya, powerless. “Apa sih yang ditakutkan dari saya? Saya tidak punya apa-apa.” Frasa ini berulang kali diucapkan dan dikutip oleh media cetak, visual, online sehingga secara perlahan memasuki ruang pikiran penonton dan publik. Di hadapan publik, ia mengesankan diri sebagai Daud yang sedang terpukul godam Goliat.

Keberhasilan menarik simpati publik akan mampu mengalihkan perhatian publik dari isu pokoknya, sebab masyarakat dibikin asyik dengan teka-teki bahwa ada pihak-pihak tertentu yang bermain, bahwa ini upaya pengalihan isu, bahwa tidak cukup bukti untuk memasalahkan perannya. Mereka bersama-sama tengah menciptakan kekaburan terhadap kebenaran. Mereka berusaha agar publik lebih banyak membicarakan kulit ketimbang isi. Mereka mencegah masyarakat mendiskusikan dan memahami inti masalahnya dan meyakinkan publik betapa buruk perlakuan yang dialami kawannya sebagai korban.

Dengan menempatkan diri sebagai korban, orang ini berusaha meyakinkan publik bahwa dirinya telah diperlakukan secara tidak fair. Di panggung kuasa yang seolah-olah tampak megah, orang-orang memainkan ‘peran sebagai korban’ (the role of victim) di saat tersudut—sesuatu yang berbeda dari ‘korban sebenarnya’ (the real victim).

Sebagai ‘korban’, mereka betul-betul tidak otentik. (sumber ilustrasi: topangadiaz.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler