x

Iklan

blontank poer

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Akankah Ada Referendum di Nunukan?

Referendum bisa saja terjadi di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, jika pemerintah gagal memperbaiki kehidupan rakyatnya di perbatasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Melihat kaos yang dikenakan seorang peserta sebuah diskusi terbatas mengenai perbaikan daerah perbatasan, saya tercenung sesaat. Selintas terbayang ratusan orang Dayak berbaris di depan bilik tempat pemungutan suara, untuk menentukan masa depan kehidupan mereka. Dan, dalam keyakinan saya, hal demikian bukan perkara mustahil. Apalagi setelah mendengar cerita pemakai kaos, di sela rehat kopi, pada suatu sore, pekan lalu, di Tarakan, Kalimantan Utara.

Dituturkan si empunya kaos, aneka bentuk kesulitan hidup sebagai bagian kecil dari rakyat sebuah negara bernama Republik Indonesia. Sebagai penduduk Kecamatan Lumbis Ogon, banyak tetangganya kesulitan mengakses layanan pendidikan, juga kesehatan. "Sering tetangga kami meninggal di perahu ketinting yang membawa ke rumah sakit," katanya, sebut saja Pilus.

Jangankan untuk berobat, mengurus surat kelahiran saja butuh biaya hingga Rp 2 juta. Bukan untuk biaya administrasi atau menyogok petugas di kecamatan, namun untuk sewa perahu yang membawanya ke kantor kecamatan. Makanya, banyak penduduk di sana tak memiliki akta kelahiran atau kartu identitas kependudukan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Padahal, di seberang wilayahnya, hanya berjarak ratusan meter dari permukiman mereka, pemerintah lokal negara bagian Sabah, Malaysia, menawarkan IC (identity card) secara gratis. Dan, dengan IC itu, mereka punya aneka macam hak, termasuk subsidi hidup dari pemerintah.

"Tapi kami semua masih memilih menjadi bagian dari NKRI, meski sebenarnya berat juga beban godaannya," kata Pilus, lelaki 30 tahun.

Lalu, mengalirlah aneka cerita. Tentang potensi kekayaan alam di sekitar mereka tinggal, seperti cadangan emas, yang sudah dieksplorasi sebuah perusahaan asal Jakarta. Tentang sembilan jam perjalanan naik perahu untuk mendapat layanan kesehatan terdekat, yakni di Kabupaten Malinau yang berbatasan dengan Kabupaten Nunukan. Itu pun, katanya, masih butuh biaya hingga belasan juta rupiah untuk sewa perahu ketinting atau long boat agar sampai rumah sakit di ibukota Kabupaten Malinau.

"Kalau berobat ke Nunukan justru lebih boros karena jaraknya lebih jauh dan fasilitas rumah sakitnya tak selengkap di Malinau," ujarnya.

Saya garuk-garuk kepala. Dua kali menginjakkan kaki di Bumi Intimung Malinau, termasuk ke Long Ampung dan Long Nawang yang berbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak, Malaysia, pun sudah memberi saya banyak catatan 'aneh'. 

Di Long Nawang, misalnya, warga tak bisa menjual beras hasil pertanian mereka ke luar wilayah. Infrastruktur transportasi darat masih sangat buruk, sementara jika menggunakan transportasi udara, biayanya akan sangat mahal mengingat per kilo barang bawaan (di luar batas yang diijinkan) akan dikenai tarif Rp 37 ribu. Itu pun hanya dalam jumlah kecil karena pesawat yang sanggup terbangi Long Ampung hanya pesawat kecil berkapasitas 12 orang penumpang saja.

Jalan darat yang sudah dibangun sejak 2012, pun belum seberapa panjang. Hanya 450-an kilometer untuk seluruh wilayah pedalaman Kabupaten Malinau. Dengan jalan darat nonaspal itu, dari desa di pedalaman ke Kota Kabupaten bisa ditempuh dalam waktu 12 jam perjalanan! Jika lewat sungai bisa dua kali lipatnya, meski jika menggukan pesawat perintis hanya butuh waktu terbang kurang dari satu jam.

Sebegitu buruknya gambaran kondisi di Lumbis Ogon, Nunukan jika dibanding Long Nawang di Malinau. Padahal, dengan dibangunnya jalan darat, harga semen yang semula Rp 1,5 juta per zak bisa turun menjadi Rp 400 ribu saja! Kebutuhan sehari-hari, seperti gula, sabun, bahkan sudah berasal dari Surabaya, atau Jakarta, tidak seperti situasi sebelum ada jalur darat, di mana kebutuhan sehari-hari datang dari Malaysia.

Dari cerita Pilus dan pengalaman pribadi beberapa hari menjelajah Malinau, ingatan saya kembali terantuk pada pesan di kaos Pilus. Sampai kapankah mereka sanggup bertahan menjadi warga negara kesatuan Republik Indonesia, jika Jakarta mengabaikan nasib mereka? Padahal, tanpa mereka, mungkin patok-patok perbatasan sudah berkilo-kilometer merangsek wilayah Indonesia.

Alangkah pedih nasib mereka... 

Ikuti tulisan menarik blontank poer lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler