x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Orang-orang yang Menutup Mata Hatinya

Respons para elite politik hari-hari ini memperlihatkan seberapa otentik kepemimpinan mereka dalam berpihak kepada kebenaran dan rasa keadilan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“A good head and a good heart are always a formidable combination.”
--Nelson Mandela

 

Seseorang baru layak dianggap pemimpin masyarakat bila memenuhi sejumlah persyaratan, di antaranya ialah keberpihakan pada kebenaran dan kepekaan terhadap rasa keadilan yang dikehendaki rakyat. Dua syarat ini juga mesti otentik, bukan pura-pura atau dibuat-buat dalam rangka pencitraan ataupun pembentukan political branding.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Otentik dalam arti memang dari semula ia selalu berpihak kepada kebenaran dan keadilan, bukan berkoar-koar hanya ketika musim kampanye pemilihan umum tiba atau saat menyerang lawan politik. Yang seperti ini sama saja dengan keberpihakan semu dengan menjadikan kebenaran dan rasa keadilan masyarakat sebagai komoditas.

Respons para elite politik dalam isu panas hari-hari ini memperlihatkan seberapa otentik kepemimpinan mereka dalam berpihak kepada kebenaran dan kepekaan mereka terhadap tuntutan keadilan masyarakat. Sikap mereka menunjukkan dengan gamblang bahwa mereka umumnya tidak peka terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh rakyat. Mereka cenderung berpihak kepada kelompok kecil—orang-orang yang kerap disebut para elite politik. Jikalaupun di balik yang tampak saat ini ada pertarungan kekuatan-kekuatan ekonomi, maka kini saat untuk membukanya lebih terang.

Bila rakyat menghendaki transparansi, pengungkapan kebenaran, menuntut ditegakkannya keadilan, itu bukan berarti bahwa rakyat berpihak kepada satu kelompok politik. Rakyat menghendaki agar segala yang bengkok diluruskan, dan bukan dibiarkan atau bahkan dibenarkan dengan beragam dalih. Ini sama saja dengan menyepelekan kemampuan rakyat dalam bernalar.

Politikus memang punya hak bicara, tapi dalam kapasitas sebagai anggota DPR mereka adalah wakil rakyat—dan semestinyalah mereka menempatkan diri dan bersikap sebagai wakil rakyat, bukan wakil kelompoknya sendiri. Saya juga tak yakin bahwa suara mereka, para elite itu, mewakili sepenuhnya anggota-anggota partai. Ini berarti mereka kehilangan sentuhan dengan realitas. Mereka membiarkan diri dikelilingi oleh sycophant—para suporter yang memberitahu mereka apa yang mereka ingin dengar. Bila demikian, masih berhakkah mereka menyebut diri wakil rakyat?

Dalam kekisruhan seperti sekarang ini, rakyat merindukan para pendiri negara yang berjuang tanpa pamrih kecuali Indonesia merdeka yang mampu menyejahterakan rakyatnya. Untuk memerdekakan bangsanya, Tan Malaka harus berlarian ke berbagai negara dan berjuang di bawah tanah; Sjahrir masuk dan keluar penjara kolonial menyertai Bung Karno dan Bung Hatta, begitu pula banyak sekali para pendiri dan pejuang tak dikenal yang bahkan makamnya pun tak diketahui.

Mereka pemimpin yang lahir di tengah rakyat, dan karena itu mereka mampu menyerap suasana batin rakyat. Mereka pemimpin yang hadir kapanpun diperlukan—hadir dalam pengertian spirit kepemimpinannya. Saya belum tahu bagaimana penyebutan yang tepat ketika mesti membandingkan mereka dengan para elite yang kini tengah menikmati kekuasaan, yang terlihat tidak peduli terhadap apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh rakyat terkait dengan kebenaran dan keadilan.

Bila para elite tetap menutup mata hati mereka terhadap pikiran dan perasaan rakyat-banyak, akan tiba saatnya rakyat-banyak menutup mata hatinya terhadap mereka. (sumber ilustrasi: quotesvalley.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB