x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kembalinya Harga Diri Guru

Renungan dari Simposium Guru 23-24 November di Senayan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lebih dari 2000 guru berkumpul di Senayan. Mereka bukanlah guru biasa. Mereka yang berkumpul di Senayan adalah guru-guru yang berkarya, berinovasi dan berkreasi. Mereka berkumpul bukan untuk mendengar ceramah. Mereka berkumpul adalah untuk saling berbagi pengalaman, kreasi dan inovasi yang mereka ciptakan. Wajah-wajah mereka penuh kebanggaan dan percaya diri. Senyum di bibir dan binar di mata mereka. Inilah guru-guru yang akan mendidik generasi emas. Terima kasih Kemendikbud yang telah mengubah cara pandang terhadap guru.

Selama ini kita disuguhi dengan citra buram guru. Berita tentang hal-hal buruk guru selalu hadir dalam media dan perbincangan. Berita tentang tunjangan sertifikasi yang tak mengubah kualitas hasil belajar, nilai tes internasional, nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) yang rendah telah membuat kita memvonis guru. Ketika penelitian berbagai pihak menunjukkan bahwa tunjangan sertifikasi ternyata tidak mengubah kualitas hasil belajar, maka kita menyalahkan guru. Kita menganggap bahwa guru lebih mementingkan sertifikasi daripada benar-benar belajar untuk meingkatkan keprofesionalitasannya. Sudah dibayar mahal tapi tak berubah kualitasnya. Ketika rangking tes internasional di bidang matematika, sain dan baca tulis rendah, guru lagi yang disalahkan. Gurulah yang tidak becus mengajar sehingga kualitas pendidikan kita jeblok di mata internasional. Dan ketika hasil UKG rata-rata dibawah 5, kita seakan-akan mendapat pembenaran bahwa guru kita memang bermasalah! Guru harus masuk bengkel!

Cara pandang bahwa gurulah yang salah dan gurulah yang membuat masalah bermuara pada cara kita memperlakukan guru. Kenaikan pangkat mereka, pencairan tunjangan profesi mereka ditentukan berdasarkan hasil ujian mereka. UKG yang diselenggarakan secara nasional, dan Penilaian Kinerja Guru (PKG) yang dilakukan di sekolah, dipakai sebagai tolok ukur kenaikan pangkat dan pencairan tunjangan profesi. Ketika hasil keduanya bertentangan 180°, yaitu hasil UKG sangat rendah sementara hasil PKG sangat tinggi, ada wacana untuk melibatkan siswa dan orangtua dalam menilai kinerja guru. Akibat dari semua ini guru-guru kita menjadi cemas, stres dan teralihkan perhatiannya dari mendidik siswa menjadi memenuhi tuntutuan administratif berbagai ujian. Bagaimana mungkin seorang yang cemas bisa bekerja baik? Bagaimana mungkin seorang yang risau bisa menciptakan inovasi?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untunglah Kemdikbud telah mengubah paradigmanya. Daripada melihat guru sebagai anak bermasalah yang harus didisiplinkan dengan berbagai cambuk, sekarang Kemdikbud telah mengembalikan citra guru sebagai insan yang bertanggungjawab dalam pekerjaannya. Acara di Senayang tanggal 23-24 November telah menjadi tonggak kembalinya citra dan harga diri guru. Kewibawaan guru sebagai inovator, kreator dan motivator telah dikembalikan. Dua ribu lebih guru yang hadir di Senayan adalah bukti bahwa guru-guru kita adalah insan-insan yang bertanggung jawab. Insan yang penuh dedikasi. Dan masih lebih banyak guru di lapangan yang kualitasnya sama dengan mereka yang hadir di Senayan.

Tonggak telah dipancang. Bagaimana selanjutnya? Apakah UKG tidak perlu? Apakah PKG tidak bermanfaat? Tentu saja ada manfaatnya bagi kualitas pendidikan, khususnya mutu guru. Namun keduanya harus diletakkan dalam kerangka atau cara pandang baru tersebut. UKG dan PGK selayaknya tidak dijadikan alat penghukum guru. UKG bisa dipakai untuk memetakan kualitas guru. Berdasarkan pemetaan tersebut, kita bisa membuat program pelatihan yang lebih sesuai dengan gap yang ditemukan dalam pemetaan. Caranya? UKG tak perlu terlalu sering dilakukan. Pelaksanaannyapun tak perlu populatif. Cukup diambil sampel dan anonim. Akan lebih baik dilakukan secara sampling tetapi dengan metode yang lebih sahih daripada mengambil data semua populasi tetapi metodenya kurang baik. Misalnya penilaian terhadap kompetensi pedagogik jelas akan sangat sulit dilakukan dengan cara tes multiple choice. Untuk mengetahui kemampuan pedagogik yang paling baik adalah melalui pengamatan bagaimana mereka mengajar di kelas.

Bagaimana dengan PKG? Penilaian kinerja diperlukan sebagai alat bagi guru untuk refleksi. Berdasarkan hasil refleksi tersebut guru bisa memperbaiki diri dan meningkatkan kinerjanya. Peningkatan kompetensi dan kinerja secara berkelanjutan bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk jenjang SD, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk jenjang SMP, SMA dan SMK. Dengan demikian guru bisa berkembang secara sinambung. Sekali-sekali diadakan simposium untuk sharing good practices di antara guru pencipta inovasi dan kreasi tersebut di tingkat kabupaten dan provinsi serta nasional.

Terus bagaimana dengan kenaikan pangkat dan tunjangan profesi? Bagi mereka yang menghasilkan inovasi dan karya bisa naik pangkat dengan lebih cepat. Karya dan inovasinya tentu saja perlu diuji. Guru yang lain? Biarkan mereka naik pangkat secara berkala.

Sebab untuk menghasilkan generasi yang percaya diri haruslah dididik oleh guru yang percaya diri. Guru yang cemas akan menghasilkan generasi cemas. Sebab untuk menghasilkan generasi yang inovatif harus dididik oleh guru yang inovatif. Guru yang sibuk dengan administrasi akan menghasilkan generasi yang prosedural. Sebab untuk menghasilkan generasi yang berdaya juang tinggi diperlukan guru yang berdaya juang tinggi. Guru yang bermental pegawai, yang puas menjaga kenaikan pangkat dan cairnya tunjangan profesi akan menghasilkan generasi lembek yang puas sebagai pegawai saja. Jangkar telah dilepas, layar telah dikembang, tinggal menunggu angin baik untuk melaju.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler