x

Iklan

Iswadi Suhari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cinta Sang Bujang Katak

Diadaptasi dari cerita rakyat Bangka Belitung oleh Iswadi Suhari

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Apa…? Kamu hamil…?” teriak Nenek Boyen, saat Nenek Lampit menceritakan kalau dia merasakan ada sesuatu di dalam perutnya.

“Sepertinya begitu…” Wajah Nenek Lampit berseri.

“Oh Tuhan…, kamu berbuat zinah dengan siapa Lampit, hingga kamu hamil begitu?” Mata Nenek Boyen melotot menahan rasa kaget yang tiada tara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Aku tidak berbuat zinah dengan siapapun Boyen…” Tangan Nenek Lampit mengibas-ngibas tanda menolak tuduhan Nenek Boyen.

“Tidak mungkin…, kalau kamu tidak berbuat zinah, mana mungkin kamu bisa hamil Lampit.” Nenek Boyen menurunkan nada suaranya, khawatir tetangga yang lain mendengar aib yang baru saja didengarnya.

“Demi Tuhan Boyen…, aku tidak melakukannya.” Kepala Nenek Lampit menggeleng berulang kali.

“Aku tidak percaya kata-katamu Lampit, bagaimana mungkin jika kamu tidak bertemu lelaki kamu bisa hamil?” Nenek Boyen cemberut.

“Boyen…, apa kamu lupa, kalau kita ini sudah nenek-nenek, seandainya aku berbuat zinah pun aku tidak mungkin hamil, dan lelaki mana yang mau mendekat padaku?” Nenek Lampit menyeka air mata di pipinya yang mulai keriput.

Nenek Boyen terdiam. Tersadar, kalau perempuan seusia mereka memang tidak mungkin hamil. Sesaat, kedua perempuan setengah baya itu terdiam dalam kebingungan. Di dinding rumah tampak dua cecak tengah siap menangkap nyamuk.

“Mungkin…, Tuhan mengabulkan doaku.” Tiba-tiba Nenek Lampit memecah kesunyian. Matanya berbinar.

“Doa…? Doa apa…? Apa yang kamu minta pada Tuhan Lampit?” Nenek Boyen terkejut, penasaran. Matanya menatap tetangga dekatnya itu lekat-lekat.

Sejenak Nenek Lampit kembali terdiam. Matanya tampak kosong menatap pintu yang terbuka. Ingatannya kembali pada kejadian tiga bulan yang lalu. Perlahan bibirnya bergetar dan mulai bergerak mengalirkan cerita yang dialaminya di sawah di musim tanam yang lalu.

Saat itu matahari bersinar terik. Cahayanya menebar panas, menyengat kulit para petani yang penuh semangat menanam padi di sawah harapan mereka. Tidak ketinggalan Nenek Lampit yang tampak kepayahan. Dengan tenaga yang hampir habis, Nenek Lampit terus berusaha memenuhi sawahnya yang tidak seberapa dengan bibit padi yang disemainya tiga minggu yang lalu.

Lama-lama Nenek Lampit menyerah juga. Dia pun beranjak menuju saung kecil di pinggir salah satu petak sawah. Disandarkan tubuh lemahnya di tiang saung. Sesekali semilir angin menerpa rambutnya yang semakin memutih, membawa sedikit energi untuk tetap semangat menjalani hidup.

Nenek Lampit memandangi petani lain yang masih semangat menanam padi. Dari jauh terlihat seorang ibu yang juga tengah istirahat di saungnya. Namun, kedua anak lelakinya masih menanam padi dengan tenaga yang masih terlihat sangat kuat. “Seandainya aku punya anak seperti ibu itu, mungkin hidupku tidak sesusah ini,” pikir Nenek Lampit. Tangannya mengusap buliran air mata yang mengalir di pipinya. Dibukanya bekal nasi dan ikan asin yang dia telah siapkan sebelum berangkat tadi pagi. Nenek Lampit pun memakan bekalnya dengan hati pedih.

Saat tenaganya mulai terasa pulih, nenek Lampit kembali turun ke sawah dan melanjutkan tugasnya.

Matahari bergulir turun perlahan ke arah barat. Langit semakin kelam dan awan hitam tampak mulai berarak. Musim tanam memang identik dengan musim hujan. Para petani bersiap pulang mencari perlindungan di rumah masing-masing. Nenek Lampit pun segera bersiap.

Baru saja dua langkah Nenek Lampit beranjak dari batas bidang sawahnya, hujan turun dengan derasnya. Butiran-butiran air yang jatuh, terasa perih menghujam wajah. Pemuda-pemuda tampak berlarian meninggalkan area persawahan.

Setengah berlari Nenek Lampit bergegas menyusuri pinggiran saluran air yang licin berlumpur. Sial…, Nenek Lampit terpeleset dan tubuhnya yang kurus terjatuh ke sawah berlumpur. Cipratan lumpur hitam memenuhi wajahnya yang sudah dipenuhi air mata. Dengan susah payah Nenek Lampit berusaha bangkit. Namun kakinya terasa sangat sakit untuk diangkat dari lumpur. Tiba-tiba seekor katak meloncat di hadapan Nenek Lampit, mencipratkan sedikit air ke wajah sang nenek. Entah apa yang telah memenuhi pikiran sang nenek naas itu hingga terucap sebuah doa dari bibirnya, “Ya Tuhan, berilah aku seorang anak, walau pun hanya seperti seekor katak.” Tiba-tiba kilat menyambar menghanguskan pucuk pohon kelapa di tengah persawahan disusul bunyi guntur menggelegar. Dengan tenaga yang masih tersisa Nenek Lampit berjalan perlahan menuju gubuknya yang tak seorangpun menanti di sana.

Semenjak kejadian itu, Nenek Lampit merasakan ada perubahan pada perutnya. Hari ke hari perutnya semakin membesar layaknya orang yang sedang hamil.

“Mungkin kamu benar Lampit, Tuhan telah mengabulkan doamu.” Suara Nenek Boyen bergetar.

“Mudah-mudahan Boyen, aku sangat ingin mempunyai anak yang dapat membantuku kelak saat aku tak mampu lagi melakukan pekerjaanku di sawah.” Nenek Lampit kembali memandangi cicak yang berlarian di dinding rumahnya.

Hari terus berganti. Perut Nenek Lampit semakin membesar dan tak dapat disembunyikan lagi. Kabar kehamilan sang nenek pun segera tersebar ke seluruh penjuru kampung menjadi pergunjingan di setiap pertemuan. Nenek Lampit seolah tak peduli pada apa yang dikatakan para tetangga. Yang dia harapkan Tuhan memang mengabulkan doanya dengan memberinya seorang anak.

 Sembilan bulan berlalu.

Malam itu terasa sangat sepi. Hujan rintik menghiasi sekitar rumah Nenek Lampit. Dalam kesendirian, tiba-tiba Nenek Lampit merasakan perutnya terasa sangat sakit. Dia pun memanggil-manggil Nenek Boyen tetangga setianya. Namun suara hujan mengaburkan suaranya. Nenek tua itu pun tak kuat lagi berdiri dan merebahkan tubuhnya di atas tanah.

Seolah mendapat bisikan, Nenek Boyen tiba-tiba merasa khawatir akan keadaan Nenek Lampit. Samar-samar didengarnya suara Nenek Lampit meminta tolong. Nenek Boyen pun segera mengambil payung dan beranjak menuju rumah Nenek Lampit.

Nenek Boyen membuka pintu rumah Nenek Lampit yang tak terkunci lalu memasuki gubuk tua itu. Dari dalam kamar, Nenek Boyen mendengar suara erangan kesakitan dibarengi tangis bayi. Nenek itu pun bergegas mendekati arah datangnya suara. Betapa kagetnya Nenek Boyen saat melihat Nenek Lampit tengah terkapar di tanah dengan darah bersimbah di sekitar kakinya. Disampingnya tergeletak seorang bayi mungil.

“Lampit…” teriak Nenek Boyen.

“Boyen…, aku melahirkan.” Nenek Lampit meringis menahan sakit.

“Iya…, Lampit, kamu punya anak.” Nenek Boyen mengambil sang bayi yang menangis kedinginan di atas tanah.

Nenek Boyen memerhatikan wajah dan tubuh sang bayi dengan seksama. Badannya terasa merinding saat melihat sang bayi yang tampak tidak wajar. Bayi itu tidak terlihat seperti manusia kebanyakan. Seluruh kulitnya berwarna hijau kekuningan. Jari-jari tangan dan kakinya seperti tersatukan oleh kulit tanpa tulang. Dan sekilas, wajahnya sangat menyerupai wajah katak.

“Anakmu laki-laki Lampit…”

“Benarkah? Terima kasih ya Tuhanku, Engkau telah mengabulkan doaku.” Nenek Lampit tersenyum.

“Tapi…” Suara Nenek Boyen tertahan, tidak tega mengabarkan penampakan bayi laki-laki itu pada Nenek Lampit.

“Tapi kenapa Boyen?” Nenek Lampit penasaran. Tangannya melambai meminta Nenek Boyen memperlihatkan bayinya. Nenek Boyen menyodorkan bayi aneh itu pada ibunya yang berusaha bangkit dan duduk. Nenek Lampit menerima sang bayi dengan penuh kebahagiaan.

“Anakku…” ucapnya, bahagia.

Semenjak itu, hari-hari Nenek Lampit penuh dengan kebahagiaan. Walau kebanyakan tetangganya melihat anaknya dengan pandangan jijik, Nenek Lampit tetap sangat sayang pada anaknya. Diurusnya anak lelaki itu dengan baik. Karena para tetangga memanggil anak laki-lakinya dengan ledekan bayi katak, Nenek Lampit memanggil anaknya dengan panggilan Bujang Katak.

Hari berganti bulan dan bulan pun berganti tahun. Bujang Katak tumbuh menjadi seorang pemuda yang sangat baik hati dan penolong. Seperti permintaan Nenek Lampit dalam doanya, Bujang Katak sangat rajin membantu ibunya bercocok tanam di sawah. Sifat itulah yang menjadikan Bujang Katak mempunyai banyak teman, walau tak jarang ledekan dan hinaan dari sebagian kecil teman sebayanya kadang menghiasi hari-harinya.

Sore itu, seperti biasa Bujang Katak beristirahat dengan teman-temannya seusai mencangkul sawah. Mereka bersenda gurau di bawah pohon Sukun yang tumbuh di pinggir sungai di sekitar sawah mereka.

Tiba-tiba aliran air sungai semakin deras.

“Lihat...! sepertinya ada banjir bandang…!” teriak salah satu pemuda sebaya Bujang Katak.

“Wah betul… sepertinya hujan deras di hulu sungai…,” teriak pemuda yang lain.

“Hati-hati… jangan sampai terpeleset, bisa terbawa arus kita…,” teriak Bujang Katak tak ketinggalan berkomentar.

Tiba-tiba terdengar teriakan meminta tolong dari arah hulu.

Semua mata tertuju pada arah suara itu.

“Lihat… sepertinya ada orang hanyut…”

“Benar… sepertinya seorang perempuan.”

“Bagaiamana kita menolongnya? Airnya sangat deras, kita tak akan mampu berenang di air sederas ini…”

Suara teriakan terdengar semakin jelas, dan sosok perempuan hanyut yang timbul tenggelam semakin mendekat dan akhirnya melewati pemuda-pemuda itu. Tak satu pun pemuda berani menolong perempuan hanyut itu. Hingga tiba-tiba…

“Hey…! Bujang Katak… apa kau sudah gila… kau mencelakakan dirimu sendiri!” teriak salah seorang pemuda yang melihat Bujang Katak meloncat menerjang derasnya arus air sungai.

“Bujang Katak… kau tidak akan selamat…!”

Tanpa memerhatikan teriakan teman-temannya, Bujang Katak berenang dengan gesit menyusul perempuan hanyut yang terlihat sudah sangat kepayahan.

Hup…, Bujang Katak berhasil meraih salah satu tangan sang wanita dan kemudian memegang tubuhnya. Dengan tenaga yang seperti tak pernah habis, Bujang Katak membawa perempuan itu ke pinggir sungai dengan selamat.

Untuk beberapa saat, perempuan itu tak dapat berkata-kata. Perasaan takut masih membayanginya.

Dari pakaian dan perhiasan serba indah yang dikenakannya, sepertinya perempuan itu bukanlah dari keluarga biasa. Walau dengan rambut basah acak-acakan sang perempuan terlihat sangat cantik dan muda belia.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Bujang Katak. Pemuda yang lain berlarian menghampiri dan takjub akan kecantikan perempuan yang baru saja diselamatkan Bujang Katak.

“Aku…, aku…, baik-baik saja…,” jawab sang wanita, dengan air mata mengalir di pipinya yang bersih. “Terima kasih telah menyelamatkanku.”

“Kau tidak perlu berterima kasih, sudah sewajarnya kita menolong orang yang tengah dalam kesusahan,” jawab Bujang Katak sambil memandang takjub sang wanita.

“Puteri Bungsu…! Syukurlah kau selamat…!” Tiba-tiba seorang lelaki berteriak sambil berlari tergopoh-gopoh dari arah belakang para pemuda. Di belakang lelaki itu tampak enam orang perempuan cantik berlari mengikuti.

“Aku selamat Paman Ponggawa…, pemuda ini yang menolongku…” jawab sang wanita yang ternyata dipanggil Puteri Bungsu. Sang Paman menoleh pada Bujang Katak.

“Terima kasih anak muda… kau telah menyelamatkan salah satu puteri raja.” Paman Ponggawa mengulurkan tangan. Bujang Katak menerima uluran tangannya.

“Paman tidak perlu berterima kasih, seorang rakyat wajib melayani keluarga rajanya, apalagi tadi Tuan Puteri tengah dalam bahaya. Siapapun jika dalam keadaan seperti itu wajib ditolong apalagi seorang puteri raja,” jawab Bujang Katak sambil menundukan pandangannya, segan pada ponggawa kerajaan.

“Kau pemuda yang sangat baik, siapa namamu wahai anak muda?” Paman Ponggawa menatap Bujang Katak lekat-lekat.

“Bujang Katak, begitulah hamba dipanggil Paman Ponggawa.” Bujang Katak masih menunduk.

“Tuan-tuan puteri… tidakkah kau ingin berterima kasih pada pemuda yang telah menyelamatkan adik bungsumu ini?” tanya Paman Ponggawa pada keenam puteri di belakangnya. Keenam puteri itu tak ada yang menjawab. Mereka semua melihat Bujang Katak dengan pandangan jijik dan akhirnya memalingkan wajah-wajah cantik mereka.

“Maafkan kakak-kakakku Bujang Katak, tidak seharusnya mereka berbuat seperti itu” Puteri Bungsu merasa sangat tidak enak dengan sikap kakak-kakaknya yang tidak tahu berterima kasih.

“Sudahlah Puteri Bungsu, mari kita pulang… salahmu sendiri tadi tidak mau berhenti mandi di hulu sungai, hingga kau terhanyut…” Salah satu puteri raja menarik tangan Puteri Bungsu dengan wajah cemberut.

“Iya… ayo kita pulang, lama-lama di sini aku bisa muntah melihat pemuda aneh jelek ini,” tambah puteri yang sedikit lebih gemuk.

“Baiklah…, terima kasih Bujang Katak, kami akan kembali ke istana.” Paman Ponggawa menepuk bahu Bujang Katak.

“Silakan Paman.” Bujang Katak dan pemuda yang lain membungkukan badan tanda rasa hormat.

Semenjak hari itu, Bujang Katak sering menyendiri dan melamun. Wajahnya tampak murung. Bujang Katak yang biasanya periang, kini sering tampak tak punya semangat. Walau pekerjaan tetap dilakukannya dengan baik, Bujang Katak tak lagi banyak bicara.

Nenek Lampit melihat gelagat aneh pada anak semata wayangnya itu. Dari hari ke hari Nenek Lampit sering memergoki Bujang Katak tengah melamun durja di bawah pohon Waru di samping gubuknya. Nenek Lampit berpikir mungkin Bujang Katak mulai menyukai gadis-gadis di kampungnya. Usianya memang sudah pantas untuk itu. Nenek Lampit kini merasa khawatir jika itu memang tengah terjadi. Gadis mana yang mau dipersunting oleh anaknya yang buruk rupa seperti katak.

Di suatu sore, Nenek Lampit menghampiri Bujang Katak yang tengah termenung di samping gubuknya.

“Bujang Katak… Apa yang sedang kau pikirkan Nak?” Bujang Katak tampak terperanjat mendengar suara ibunya yang datang tiba-tiba.

“Ti… tidak memikirkan apa-apa Bu.” Jawab Bujang Katak, berbohong.

“Sudahlah anakku, kau tidak perlu berbohong. Ibu sangat mengenalmu, sejak beberapa hari yang lalu, kau terlihat murung dan sering menyendiri di bawah pohon ini. Ada apa, Nak? Apakah kau sedang jatuh cinta?” suara Nenek Lampit penuh dengan kehati-hatian dan kesabaran.

Sesaat Bujang Katak terdiam. Wajahnya tampak sedikit memerah.

“Bu…” Bujang Katak seolah ragu mengatakan isi hatinya.

“Apakah Ibu tahu letak istana raja?” tanya Bujang Katak dengan pandangan sangat berharap.

“Ibu tidak pernah ke sana Bujang Katak, tapi Ibu pernah mendengar orang memperbincangkan jalan menuju ke sana, ada apa Nak? Mengapa kau bertanya tentang istana raja?” Hati Nenek Lampit berdebar, firasatnya mengatakan apa yang ada dalam pikiran Bujang Katak ada hubungannya dengan peristiwa hanyutnya sang Puteri Bungsu raja.

“Puteri-puteri raja itu sangat cantik-cantik ya Bu…”

“Tentu saja anakku, walau Ibu belum pernah melihatnya, kata orang, ketujuh puteri raja memang cantik jelita.”

“Ibu…, aku ingin mempersunting salah satu puteri raja Bu, maukah Ibu melamar salah satu dari mereka untukku?”

Nenek Lampit terhenyak. Permintaan Bujang Katak bagai petir di siang hari bolong.

“Bujang Katak, apakah kau sudah berpikir masak-masak? Kita ini orang miskin Nak, rakyat jelata, bagaimana mungkin seorang puteri raja mau dipersunting oleh anak rakyat jelata Nak?”

“Bukankah Ibu selalu mengajarkan bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin Bu, jika kita yakin dan percaya, Tuhan sangat mampu mengabulkan yang kita inginkan, itu yang selalu Ibu katakan padaku.”

Nenek Lampit terdiam. Wajahnya tertunduk. Sesaat dia mengingat betapa tuhan telah menunjukan kata-kata anaknya yang sering dia katakan saat Bujang Katak mengeluh karena sering menerima hinaan sebagian kecil teman-temannya. Tuhan telah menunjukan bukti jika Dia sangat mampu mengabulkan doa makhluknya, bahkan doa yang seolah tak mungkin dijangkau otak manusia sekalipun.

“Baiklah anakku, Ibu memang telah mengajarkanmu untuk tidak berputus asa. Pengalaman hidup Ibu telah membuktikan di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin asal kita mau berusaha dan yakin akan kekuasaan Tuhan.”

“Terima kasih Ibu…” Bujang Katak bersujud di kaki Nenek Lampit. Sang ibu tua pun mengusap punggung Bujang Katak dengan linangan air mata.

Keesokan harinya, pagi-pagi buta Nenek Lampit bersama anak semata wayangnya keluar dari rumah dan melangkahkan kaki ke arah selatan menuju istana raja. Di tengah jalan Nenek Lampit bertanya pada setiap orang yang ditemuinya tentang arah menuju istana raja. Hingga matahari mulai tergelincir ke arah barat, penduduk yang ditanya masih menjawab “Istana raja masih jauh, Nek.”

 Saat Nenek Lampit dan Bujang Katak sampai di Istana Raja, matahari sudah tampak setengah di ufuk barat. Sinarnya berubah menjadi jingga kemilau menambah indah dan megahnya istana raja.

“Bujang Katak, kita sudah sampai di istana raja.”

“Sepertinya begitu Ibu. Wah… megah dan indah sekali istana raja itu.”

“Betul Bujang Katak, sekarang kau mengerti kan, mengapa harapanmu untuk mempersunting puteri raja itu sangat mustahil?”

Bujang Katak terdiam. Mukanya sedikit memerah.

“Maafkan kata-kata Ibu Bujang Katak, Ibu hanya takut kamu nanti terluka karena mendapat perlakuan buruk dari keluarga raja.”

“Ibu tidak perlu khawatir, apa pun perlakuan keluarga raja terhadap kita, aku tidak akan kecewa.”

“Benarkah kau tidak akan kecewa dan putus asa?”

“Benar Ibu, tapi kita tidak boleh menyerah sebelum berusaha.”

“Baiklah Nak, mari kita mendekati sang penjaga.” Ibu dan anak itu melangkah mendekati dua penjaga pintu gerbang istana.

“Wahai Nenek dan Anak Muda, apakah kalian tersesat?” tanya salah satu penjaga istana yang tampak sangat tinggi besar dengan kulit hitam legam. Tangannya memegang tongkat kayu dengan ujung logam yang sangat tajam.

“Tidak Penjaga Istana, kami tidak tersesat. Kami sengaja datang dari jauh ingin bertemu dengan Paduka Raja. Sudikah kiranya Penjaga Istana mengizinkan kami menghadap Paduka Raja?” Nenek Lampit dan Bujang Katak membungkukan badan.

Sesaat kedua penjaga pintu istana itu terdiam.

“Apa kalian tidak salah alamat Nenek? Hampir tidak ada rakyat jelata yang mempunyai keperluan bertemu dengan Paduka Raja.” Walau menyiratkan keraguan, penjaga istana tetap bertanya dengan sopan.

“Tidak Penjaga Istana, kami tidak tersesat. Kami memang ingin menghadap Paduka Raja.”

“Ada keperluan apa kalian hingga harus menghadap Paduka Raja, Nek?”

Nenek Lampit terdiam sesaat, mengumpulkan segenap keberanian untuk mengutarakan maksud kedatangannya.

“Hamba…, hamba ingin melamar puteri raja untuk anak hamba penjaga istana.” Nenek Lampit mengutarakan maksudnya dengan rasa takut. Wajahnya menunduk. Bujang Katak tampak antusias.

“Apa…? Melamar puteri raja? Apa kau sudah gila Nenek Tua? Mana mungkin rakyat jelata sepertimu melamar puteri raja?” penjaga istana yang satu lagi terkaget-kaget mendengar kata-kata Nenek Lampit.

“Izinkan hamba penjaga istana, hamba hanya ingin menunaikan keinginan anak hamba melamar puteri raja, jika Paduka Raja menolak, hamba dan anak hamba tidak akan penasaran, tolong izinkan kami penjaga istana.” Nenek Lampit bersimpuh di hadapan kedua penjaga istana sambil menangis.

Tiba-tiba datang sebuah kereta kuda hendak memasuki istana. Seorang lelaki pengendara kereta kuda keheranan melihat ada seorang nenek bersimpuh di depan pintu menghalangi jalan menuju istana.

“Ada apa penjaga istana?” tanya lelaki tersebut.

“Ini Paman, dua rakyat jelata ini ingin menghadap Paduka Raja.” Penjaga istana menunjuk pada Nenek Lampit dan Bujang Katak.

“Hey… Bujang Katak…” panggil sang lelaki yang ternyata Paman Ponggawa pengantar puteri-puteri raja saat Puteri Bungsu hanyut di sungai.

“Paman Ponggawa…” sapa Bujang Katak dengan hati riang.

“Paman kenal dengan pemuda ini?”

“Tentu saja aku kenal penjaga istana, pemuda inilah yang menyelamatkan nyawa Puteri Bungsu saat dia hanyut di sungai waktu itu.” Paman Ponggawa tersenyum ramah.

“Kalau begitu, izinkan saja mereka menghadap Paduka Raja, aku yang akan memberitahukan kedatangan mereka pada Paduka,” lanjut Paman Ponggawa dengan wajah berseri.

“Baiklah kalau begitu Paman Ponggawa.”

“Terima kasih Paman Ponggawa…” ucap Nenek Lampit dan Bujang Katak hampir bersamaan.

Paman Ponggawa segera berlalu dengan keretanya. Nenek Lampit dan Bujang Katak memasuki halaman istana dan menunggu di bawah tangga menuju ruang dalam istana nan megah. Hari mulai gelap. Lampu-lampu taman istana satu per satu mulai dinyalakan.

Paman Ponggawa menemui Nenek Lampit dan Bujang Katak yang menunggu dengan hati berdebar di bawah tangga.

“Bujang Katak, mari bawa ibumu menghadap Paduka Raja. Aku telah mengabarkan kedatangan kalian.”

“Terima kasih Paman Ponggawa.” Dengan hati riang, Bujang Katak menuntun tangan ibunya mengikuti langkah Paman Ponggawa.

Sampailah mereka di hadapan Paduka Raja. Nenek Lampit tak berani menengadahkan wajahnya menatap raja, begitu pula Bujang Katak.

“Wahai Nenek dan Anak Muda, selamat datang di istanaku. Aku mendengar dari Paman Ponggawa bahwa kau pemuda yang bernama Bujang Katak adalah orang yang telah menyelamatkan puteri bungsuku. Untuk itu aku sangat berterima kasih padamu wahai anak muda.” Raja berbicara dengan suara yang arif menunjukan pribadi yang bijaksana dan tidak sombong.

“Tidak sepatutnya Paduka Raja berterima kasih pada anak hamba, karena sudah sepatutnya anak hamba Bujang Katak menolong siapapun yang sedang dalam bahaya.” Nenek Lampit masih tetap tidak berani menatap Sang Raja.

“Baiklah, apa maksud kedatanganmu ke sini wahai Nenek?”

“Sebelumnya hamba mohon maaf atas kelancangan kami Paduka. Hamba mohon ampun jika apa yang akan hamba utarakan tidak pantas kami lakukan. Hamba melakukan ini demi memenuhi permintaan anak hamba. Hamba khawatir jika tidak hamba lakukan, anak hamba satu-satunya menjadi tidak percaya lagi pada hamba, ibunya, Paduka Raja.” Tubuh Nenek Lampit gemetar.

“Katakanlah wahai Nenek, apa permintaan anakmu itu.”

“Hamba…, hamba…, hamba bermaksud meminang salah satu puteri raja Paduka.” Suara Nenek Lampit hampir tidak terdengar tercekat rasa takut.

Sang Raja sangat terkejut mendengar pernyataan sang nenek miskin. Namun, perangainya yang bijaksana tidak mendorongnya untuk murka di hadapan kedua tamunya. Paduka Raja menarik nafas dalam-dalam.

“Baiklah Nenek, untuk menjawab lamaranmu aku akan bertanya pada puteri-puteriku, apakah ada di antara mereka yang bersedia dipersunting oleh anakmu.” Nenek Lampit dan Bujang Katak mengangguk.

“Paman Ponggawa, panggilah puteri-puteriku ke sini.” Paman Ponggawa segera beranjak dan beberapa saat kemudian kembali dengan ketujuh puteri raja.

“Wahai anak-anakku, Nenek ini datang dari jauh untuk melamar satu di antara kalian yang bersedia menjadi istri anaknya Bujang Katak, pemuda yang berada di hadapan kalian. Ayah ingin kalian memberikan jawaban satu per satu, apakah ada diantara kalian yang bersedia?” Sang raja menunjuk ke arah Bujang Katak yang duduk dengan wajah menatap puteri-puteri raja yang cantik.

“Aku tidak sudi Ayahanda, melihat tubuhnya saja aku ingin muntah.” Puteri Sulung berkata dengan kasar. Bukan kata-katanya saja yang menyakitkan, Puteri Sulung meludahi kepala Nenek Lampit yang berlinang air mata.

“Aku juga tidak sudi Ayahanda, lebih baik aku menjadi perawan tua daripada harus dipersunting pemuda jelek dan miskin seperti dia.” Puteri kedua tak kalah galak. Dia pun meludahi kepala Nenek Lampit. Hingga Puteri keenam, tidak ada yang bersedia menerima lamaran Nenek Lampit. Keenam puteri kompak meludahi kepala Nenek Lampit.

Berbeda dengan keenam kakaknya yang menjawab dengan lantang. Sang Puteri Bungsu tidak segera menjawab. Wajahnya tertunduk.

“Bagaimana dengan engkau, Puteri Bungsu, apakah kau bersedia menerima pemuda ini untuk jadi calon suamimu?”

“Aku bersedia Ayahanda.” Jawaban Puteri Bungsu sungguh di luar dugaan Sang Raja. Hatinya sangat terkejut. Dan sejujurnya, sang raja berharap Puteri Bungsu pun menolak lamaran Nenek Lampit.

“Puteri Bungsu, apakah kau yakin dengan jawabanmu? Jangan sampai rasa terima kasihmu karena ditolong Bujang Katak memaksamu untuk menerima lamarannya. Ingat, sekali kau menerima pemuda ini menjadi suamimu, kau akan hidup selamanya dengan dia.”

“Ayahanda, aku bersedia dipersunting Bujang Katak bukan karena rasa terima kasihku, tapi aku menerima Bujang Katak karena dia adalah pemuda yang ramah, penolong, dan sangat baik pada ibunya. Cerminan prilaku itu sudah cukup untuk jaminan kebahagiaanku kelak Ayahanda.”

Sang raja menarik nafas panjang, pelan.

“Baiklah, jika demikian, Bujang Katak, Aku akan mengawinkanmu dengan Puteri Bungsu dengan satu syarat.”

“Syarat apakah itu Paduka Raja?” Bujang Katak antusias.

“Kau boleh mempersunting Puteri Bungsu jika kau mampu membangun jembatan yang terbuat dari emas dari seberang sungai hingga ke pintu istana. Esok sore, jembatan emas itu harus sudah dapat dilewati oleh Puteri Bungsu.”

“Baiklah Paduka Raja, izinkan hamba memenuhi persyaratan yang Paduka ajukan.”

Ibu dan anak itu pun segera undur diri dari hadapan raja.

Dalam gulita malam, Nenek Lampit dan Bujang Katak pulang kembali ke kampung mereka. Hati Nenek Lampit hancur menerima perlakuan keenam puteri raja. Nenek Lampit tahu, sebenarnya syarat itu diajukan raja hanya sebagai penolakan halus.

Berbeda dengan Nenek Lampit yang bersedih. Bujang Katak justru merasa sangat bahagia karena dia melihat cinta di mata Puteri Bungsu. Bujang Katak bersyukur, puteri raja yang dapat dia persunting adalah puteri raja yang paling cantik dan yang terpenting adalah yang paling baik hati.

Nenek Lampit dan Bujang Katak sampai di gubuknya sebelum matahari terbit. Nenek Lampit langsung menuju kamar dan tertidur kelelahan. Sementara Bujang Katak langsung menuju kamar dan berdoa pada Tuhan dengan segenap keyakinan doanya akan dikabulkan. Cerita orang tentang kelahirannya menumbuhkan keyakinan yang sangat kuat jika Tuhan akan mendengar doa makhluknya dan membuat segalanya menjadi mungkin. Hingga kokok ayam jantan terdengar, Bujang Katak masih khusyu berdoa.

Saat pagi mulai terang, Bujang Katak beranjak ke kamar mandi dan mengguyur sekujur tubuhnya dengan air segar. Aneh…, Bujang Katak merasakan kulitnya seolah terkelupas setiap mengguyurkan air ke tubuhnya. Pemuda itu pun memerhatikan aliran air bekas mandinya. Terlihat olehnya kulit berlendir mengelupas dari tubuhnya. Dipandanginya lagi tubuhnya. Ajaib, kulitnya kini terlihat bersih dan berwarna sawo matang. Kulit tanpa tulang disela-sela jari kaki dan tangannya pun menghilang sudah. Dia pun segera mengenakan kain dan berlari menuju kamarnya untuk bercermin. Bujang Katak terbelalak saat melihat bayangan di cermin. Tak ada lagi bayangan pemuda berkulit hijau kekuningan dengan wajah menyerupai katak. Yang dia lihat di cermin adalah bayangan seorang pemuda tampan berambut ikal, berkulit bersih, dan berhidung mancung. Di tatapnya bagian dadanya yang berotot, perutnya yang rata, dan tangannya yang terlihat sangat kekar. Sungguh tampan diriku pikirnya.

Bujang Katak berlari kembali memanggil-manggil ibunya yang segera terperanjat saat melihat seorang pemuda berwajah tampan di dalam rumahnya.

“Siapa kau…?” teriak Nenek Lampit.

“Aku Bujang Katak Bu, anakmu.”

“Jangan berbohong, aku akan berteriak dan kau akan dihajar orang-orang kampung.” Nenek Lampit ketakutan.

“Ini aku Bujang Katak Bu, anakmu. Kulit katakku mengelupas saat aku mandi tadi.”

“Aku tidak percaya.” Nenek Lampit bergegas menuju kamar mandi. Bujang Katak mengikuti di belakangnya.

Sampai di kamar mandi, keduanya kembali terbelalak melihat kulit-kulit hijau kekuningan yang mengelupas tadi telah berubah menjadi tumpukan emas.

“Tuhan telah mengabulkan doaku Bu…” teriak Bujang Katak.

“Iya anakku, sekarang aku percaya, kau adalah Bujang Katak Anakku. Tuhan telah mengabulkan doamu.” Air mata Nenek Lampit deras mengalir. Dipeluknya pemuda tampan berhati emas, anak semata wayangnya, sang Bujang Katak.

“Kita harus segera membangun jembatan emas itu Bu, aku yakin, Puteri Bungsu yang cantik jelita dan baik hati itu akan dapat aku persunting.”

“Iya Nak, cepatlah kau bangun jembatan emas itu. Dengan badanmu yang kuat dan kekar itu, Ibu yakin, Sore nanti kau akan memenuhi persayaratan Paduka Raja.”

            Sore hari itu, matahari bersinar terang. Suasana sekitar istana menjadi gempar. Penduduk-penduduk sekitar istana berlarian keluar ingin membuktikan berita tentang keindahan jembatan emas yang menyatukan sisi sungai di seberang istana dengan pintu gerbang istana. Saat berada di depan jembatan, penduduk berdecak kagum melihat keindahan jembatan emas yang berkilauan diterpa sinar mentari.

Mendengar hiruk pikuk di luar istana, sang raja pun keluar dengan rasa penasaran. Betapa terkejut dan takjubnya sang raja saat melihat sebuah jembatan emas berkilauan terbentang dari gerbang istana hingga seberang sungai.

Dari kejauhan tampak seorang ibu berjalan beriringan dengan seorang pemuda yang sangat tampan. Badannya terlihat sangat kekar.

“Wahai Paman Ponggawa, siapakah pemuda itu?” tanya raja.

“Hamba tidak kenal Paduka, tapi… bukankah nenek itu, ibu Bujang Katak yang kemarin datang Paduka.”

Nenek Lampit dan Bujang Katak pun tiba di hadapan sang raja.

“Wahai Nenek, siapakah pemuda di sampingmu itu?” tanya sang raja.

“Ampun Paduka, ini anak hamba, Bujang Katak.”

“Bujang Katak…?”

“Betul Paduka, ini hamba Bujang Katak, hamba telah penuhi syarat yang diajukan Paduka untuk membangun jembatan emas untuk tuan Puteri Bungsu.”

Raja pun terdiam, terkesima oleh keindahan jembatan emas dan juga ketampanan Bujang Katak.

“Baiklah, Bujang Katak, karena kau telah memenuhi syarat yang aku ajukan, maka sesuai dengan janjiku, aku akan menikahkanmu dengan puteri bungsuku,” Sang raja memberikan isyarat pada Paman Ponggawa untuk memanggil Puteri Bungsu.

Puteri Bungsu sangat berbahagia saat mengetahui Bujang Katak yang baik hati telah berhasil memenuhi syarat yang diajukan Paduka Raja. Kebahagiaan Puteri Bungsu bertambah saat mengetahui Bujang Katak telah berubah menjadi pemuda tertampan. Puteri Bungsu menatap Bujang Katak nan tampan dengan senyum bahagia.

Keesokan harinya, pesta pernikahan Bujang Katak dengan Puteri Bungsu dilangsungkan dengan meriah. Seluruh rakyat dari penjuru negeri diizinkan turut bergembira dan berbahagia menyaksikan pesta pernikahan terindah tersebut.

Lain halnya dengan keenam kakak Puteri Bungsu, mereka sangat sedih dan menyesal karena telah menolak pinangan Bujang Katak. Mereka sangat iri melihat keberuntungan Puteri Bungsu yang dipersunting pemuda yang sangat gagah dan tampan.

Usai pesta perkawinan, keenam kakak Puteri Bungsu memerintahkan kepada Paman Ponggawa untuk pergi mencari pemuda terjelek di seantero kerajaan. Mereka mengira pemuda-pemuda buruk rupa itu akan berubah menjadi pemuda tampan seperti Bujang Katak. Mereka pun meminta Paduka Raja untuk mengawinkan mereka dengan pemuda-pemuda buruk rupa itu.

            Sial bagi keenam puteri raja tersebut, keajaiban yang ditunggu-tunggu itu tak kunjung datang. Pemuda-pemuda buruk rupa itu tak kunjung menjelma menjadi pemuda tampan seperti Bujang Katak. Keenam puteri itu pun harus rela hidup dengan suami yang buruk rupa, bodoh, dan buruk hatinya.

Tahun pun berganti. Hari-hari Bujang Katak, Nenek Lampit, dan Puteri Bungsu beserta Sang Raja senantiasa dihiasi kebahagiaan. Hingga suatu hari, Sang Raja merasa tidak mampu lagi menjalankan tugas-tugas kerajaan karena usianya yang sudah semakin tua. Sang Raja mengundurkan diri dan menobatkan Bujang Katak sebagai raja baru. Bujang Katak bersama Puteri Bungsu memimpin negeri itu dengan arif, bijaksana, dan penuh kasih terhadap rakyatnya.

 

TAMAT

Ikuti tulisan menarik Iswadi Suhari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler