x

Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri mengikuti upacara pada acara wisuda IPDN di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Kamis (6/9). TEMPO/Prima Mulia

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Orang Tua Pilih Timor Leste, Anak Gabung NKRI

Di pertemuan itulah, saya mendapatkan kisah dramatis tentang lulusan IPDN asal Timor-Timur yang memilih bergabung dengan NKRI.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dua hari sebelum pemilihan kepala daerah serentak digelar, saya sempat berkunjung  ke Kalimantan Utara. Saya datang ke provinsi paling bontot di Indonesia itu dalam rangka memantau dan meliput pelaksanaan pemilihan di sana. Bersama tim pemantau dari Kementerian Dalam Negeri, saya  datang ke Kalimantan Utara. 
 
Di Tanjung Selor, ibukota provinsi Kalimantan Utara, malam harinya, usai meliput situasi menjelang pemilihan, saya bertemu dengan beberapa alumni Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang sudah lama bekerja di sana. Adalah Refli, mantan ajudan Menteri Dalam Negeri,  Gamawan Fauzi, yang juga lulusan IPDN, yang mengajak saya ikut pertemuan dengan beberapa alumni IPDN di sana. Mungkin pertemuan itu semacam temu kangen atau reuni. Yang datang dalam pertemuan itu,  rata-rata adalah kawan satu angkatan Refli. Di pertemuan itulah, saya mendapatkan kisah dramatis tentang lulusan IPDN asal Timor-Timur yang memilih bergabung dengan NKRI. 
 
Namanya Vicentius Samadi. Dia ternyata lulusan IPDN asal Timor-Timur atau sekarang setelah merdeka bernama Timor Leste. Vincentius bercerita, ketika ia menjalani tes masuk IPDN, jadwal referendum sudah dekat. Itu tahun 1999. Tes pun telah ia jalani, tinggal menunggu waktu pengumuman. 
 
"Jadi waktu kami tes, itu sudah ada jadwal referendum 1999. Sudah selesai tes semuanya tinggal tunggu pengumuman," katanya.
 
Belum juga hasil pengumuman diterima, pecahlah konflik di Timor Timur. Perang saudara tak terhindarkan. Yang pro integrasi berhadapan dengan yang pro kemerdekaan. 
 
"Kami belum sempat dengar pengumuman siapa yang lolos," kata Vicentius. 
 
Karena situasi sudah tak terkendali, ia dan keluarganya pun memutuskan mengungsi. Namun ada juga kawannya yang tetap bertahan di Timor Timur. Tapi kemudian, ia mendapat informasi, bahwa ada kebijakan dari pemerintah pusat untuk angkatan terakhir, biaya seluruhnya akan ditanggung negara. Dan, kepada mahasiswa IPDN asal Timor Timur yang sudah terlanjur masuk dan belajar di kampus birokrat tersebut, pemerintah juga memberikan pilihan, tetap bergabung dengan NKRI atau memilih menjadi bagian dari Timor Leste. 
 
"Nah senior kami  yang sudah masuk, itu ada yang bertahan tapi ada juga yang kembali.   Ada sebagian kembali ke Timor Timur, tapi  ada yang bertahan juga," katanya. 
 
Vicentius melanjutkan kisahnya. Selama di pengungsian, ia terus pantau informasi. Ia mendengar, bahwa jatah kontingen Timor Timur di IPDN belum hangus. Setelah memastikan itu, ia pun memutuskan berangkat ke Jatinangor, Sumedang. 
 
"Dari 35 orang yang daftar, hanya  21 orang yang pergi ke STPDN (nama sekolah pamong sebelum dirubah jadi IPDN-red). Yang lain pro kemerdekaan. Ada  satu cewek sudah masuk tapi pulang kembali, dia pro kemerdekaan," tuturnya. 
 
Dari Nusa Tenggara Timur, ia berangkat ke Jatinangor. Tapi kata Vicentius, ada juga yang berangkat dari Sulawesi, karena waktu itu pengungsi asal Timor-Timur tercerai berai. Di Jatinangor, ia bertemu calon praja sesama Timor-Timur. 
 
"Namanya, Salvador da Silva Gomes. Di ke Jatinangor dari tempat pengungsian. Keeberadaan orang tuanya tak diketahui," ujarnya.
 
Waktu itu alat komunikasi sangat susah. Belum ada telepon genggam seperti sekarang ini. Ternyata setelah sekian lama belajar di IPDN, orang tua Salvador lebih memilih bergabung dengan Timor Leste, nama baru Timor-Timur setelah merdeka pasca referendum. Salvador sendiri memutuskan tetap bergabung dengan NKRI. Dia memilih jadi abdi republik. Salvador kini jadi birokrat di Kota Depok, Jawa Barat. 
 
"Orang tuanya  kembali ke Timor-Timur. Orang tuanya  pro kemerdekaan. Salvador sendiri tetap di IPDN. Sekarang setelah hubungan Indonesia dan Timor Leste membaik, Salvador kalau mau ketemu dengan orang tuanya di Timor Leste mesti pake pasport," kata Vicentius, sambil tertawa kecil.
 
Vicentius masih ingat, selama ia jadi pengungsi, situasi mencekam. Bunyi tembakan sudah jadi menu sehari-hari. Kata dia, jika ingat itu, betapa butuh perjuangan sampai ia di terima di IPDN. Untungnya, ia dapat juga pergi ke Jatinangor, hingga kemudian menamatkan studinya di sekolah kedinasan tersebut. 
 
"Setelah kami selesai dan dinyatakan lulus,  kami dipanggil oleh pihak kampus. Kami disuruh memilih penempatan. Ada yang sebagian di Batam, ada yang di Riau, ada yang di Sulbar, Bekasi, Depok, Lampung, di Jawa Timur, Maluku dan NTT. Tersebar kami," tuturnya.
 
Namun yang kasihan, kata Vicentius, adalah mereka yang orang tuanya lebih memilih gabung dengan Timor Leste. Praktis mereka selama beberapa tahun tak berjumpa orang tuanya. Orang tuanya sendiri adalah pegawai kementerian agama di Timor Timur, kala negara tersebut masih jadi provinsi bagian Indonesia.
 
"Setelah pensiun, orang tua saya kembali ke Timor Timur dan jadi warga di sana," katanya. 
 
Yang paling menyiksa kata Vicentius, adalah ketika dapat cuti. Mau datang ke Timor Timur tak berani, meski sudah ada pasukan PBB di sana. Dirinya sudah dicap sebagai 'pengkhianat'. Ia pun takut pergi ke Timor Leste. Baru setelah hubungan Indonesia dan Timor Leste membaik, ia berani datang ke kampung halamannya. Kakaknya, ada di Kota Dili.
 
"Saya ini menarik memang, kakak saya yang satu di Jakarta, yang satu di Dili. Orang tua kembali ke Timor Leste, saya jadi PNS NKRI. Beragam memang," katanya sambil terkekeh. 
 
Yang paling kasihan, kata dia, teman-temanya yang aseli Timor Timur, tapi terpisah dengan keluarganya yang memilih gabung dengan Timor Leste. Bila tiba cuti, atau libur, mereka selalu kebingungan. Mau pulang, mereka masih takut. Maka, mereka pun kadang liburan ikut teman sesama alumni IPDN yang berasal dari Jawa, Sumatera atau Kalimantan. 
 
"Ya karena mereka enggak berani pulang," ujarnya. 
 
Tapi ada yang sedikit membuatnya bangga. Angkatan 02 di IPDN asal Timor Timor, pernah ada yang jadi Menteri Dalam Negeri Timor Leste. Dia jadi Mendagri pertama saat Timor Timur resmi jadi negara Timor Leste. Lebih bangga lagi, angkatan 05 IPDN  asal Timor Timur, juga sempat jadi Menteri Pertahanan Timor Leste. 
 
"Ya mungkin karena kurang orang ketika itu, maklum negara baru," ujarnya. 
 
Tapi ada ada kisah menarik yang membuatnya terharu.  Pada saat referendum, dan ketika itu belum ada pasukan PBB, ikatan alumni IPDN sangat kuat. Padahal mereka banyak yang berbeda pilihan. Ada yang junior pro kemerdekaan. Banyak pula seniornya di IPDN yang juga pro kemerdekaan. Tapi tak sedikit pula yang pro integrasi. 
 
"Namun ketika konflik berdarah itu, justru ikatan alumni tak terpengaruh. Yang junior yang pro kemerdekaan, selalu melindungi seniornya yang pro integrasi. Mereka disuruh lari sembunyi. Dan selalu melindungi agar tak dibunuh," ujar Vicentius. 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB