Bantulah semampu, orang lain pasti menghargaimu.
Itulah prinsip dari sosok Epi. Seorang pria yang menjadi idaman di komplek perumahan saya. Kenapa tidak? Baginya, selalu mudah mengulurkan bantuan. Dia tidak pernah mematok upah dan tetapi tidak pernah memaksakan diri. Mulai dari membantu menebang pohon, menyapu halaman, membersihkan rumah, cuci piring dan apa saja.
Suatu hari, dia pernah seharian penuh membantu keluarga yang baru pindah rumah. Saat dia pulang, salah satu warga di komplek perumahan saya memanggilnya untuk menyapu halaman yang luasnya hanya 4 x 5 meter. Tanpa ragu, dia menolaknya meskipun tetap mendapat upah dari pekerjaan itu. Orang yang menyuruhnya agak kesal, walaupun begitu, tetap saja dia dipanggil lagi oleh orang itu keesokan harinya.
Satu hal lagi yang menjadikannya spesial adalah: kreatifitas. Ketika tetangga saya kebingungan untuk mencari tangga, dengan cekatannya dia membuat tangga sendiri dari sisa kayu yang menumpuk di bak sampah komplek perumahan saya. Bukan main senangnya tetangga saya itu, imbasnya, Epi pun mendapatkan upah yang lumayan banyak.
Menjelang lebaran tiba, Epi bagaikan dewa penolong bagi warga komplek perumahan saya. Ini disebabkan karena mudiknya para pembantu. Sedangkan Epi, tinggalnya hanya beberapa meter dari komplek perumahan saya. Dialah yang membantu membersihkan, mengecat ataupun pekerjaan lain dari beberapa rumah warga komplek perumahan saya. Bukan hanya upah yang dia dapatkan, bingkisan kue lebaran, aneka sirup, kain sarung, baju baru dan bekas juga menjadi miliknya. Semakin bertambahlah keceriaan di raut wajahnya ketika pulang ke rumah.
Keunikan lain dari Epi adalah: piawai berbelanja di pasar. Jadi, para ibu rumah tangga cukup menuliskan barang yang hendak dibeli dan menitipkan uangnya. Setelah itu, tentu saja Epi akan menerima upahnya.
Sepeda ontel berwarna biru, adalah kendaraan pemberian bapaknya sekaligus alat bantunya dalam bekerja. Dia selalu berinisiatif untuk membeli sesuatu yang dibutuhkan warga dengan mengayuh sepeda ontelnya. Pernah suatu ketika sepeda ontelnya rusak, dia pun tidak bisa membantu warga komplek perumahan saya dengan maksimal.
Epi tidak bekerja dan tidak punya penghasilan tetap. Namun, dengan membantu dia mendapatkan upah. Saya kagum dengannya.
Saya sendiri pernah memintanya bantuan untuk menyusun barang-barang setelah selesai merenovasi rumah. Saya mengobrol dengannya sejenak sambil menikmati teh. Saya menanyakan padanya tentang pekerjaan yang dilakukannya. Lalu dia menjawab,”Saya hanya berusaha membantu orang, dan berharap mereka senang dengan saya. Upah sedikit atau banyak, yang penting mereka ikhlas begitu juga sebaliknya dengan saya. Rezeki itu Tuhan yang mengatur, melalui tangan-tangan orang yang senang dengan saya, rezeki itu diberikan. Saya bekerja semampunya, tidak melebihi batasnya. Saya tidak mau terpaksa atau dipaksakan, karena itu tidak baik untuk diri saya begitu juga dengan orang lain. Dengan begitu, orang pasti menghargai saya melebihi uang. Dengan apa yang saya lakukan, saya bahagia, begitu juga dengan keluarga yang saya miliki. Saya ingin perubahan diri saya lebih baik dari waktu ke waktu dengan tetap merasakan bahagia.”
Epi bagi saya, bukan hanya sekedar figur yang menyenangkan, tetapi juga menginspirasi. Ternyata, kebahagian dalam hidup bukan diukur dengan uang, tetapi mau menghargai diri dan membantu orang lain semampunya.
#Tempo45
Ikuti tulisan menarik Juanda B Rustam lainnya di sini.