x

Kemilau cayaha bulan purnama terlihat di balik cahaya lampu hias Natal di Skopje, Macedonia, 25 Desember 2015. Diperkirakan hingga 2034, bulan purnama tidak akan muncul kembali di malam Natal. REUTERS

Iklan

Pauzan Sept

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Selimut Keraguan

Hanya keraguan yang melenyapkan keyakinan. Dan tanpa keyakinan akankah ada sebuah keputusan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

I

Waktu kita belum terhenti adinda. Ruang kita juga belum terpisah. Aku masih yakin besok masih ada hari-hari yang yang kita lalui. Kita: kau dan aku.

Keraguan itulah yang menjadi tembok tinggi dan tebal yang menjadi jarak kita. ia adalah tembok yang tak bisa dinaiki atau ditembus hanya dengan untaian do’a serta baris kata-kata. ia hanya bisa dilalui dengan keberanian serta keyakinan.

Aku tahu kau hanya menungguku menembus tembok itu atau meruntuhkannya. Ya, kau tahu karena aku jualah yang membangun tembok itu. sedang kau, masih seperti biasa: dirimu beserta ketenangan yang berbalut senyuman. Sesekali kaupun mengumamkan harapan serupa mantra, “Aku bukan Dewi Sita, bukan pula Rabi’ah.” Dan aku pun tak seperti Rama atau hanoman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siapa yang paling berkuasa atas diri kita adinda? Siapa jua yang akan bertanggung jawab atas diri kita? siapa yang tahu apa yang akan kita temui di balik tirai esok hari? Dan apa yang akan menjadi buhul teguh yang mengikat kita?

Ada bayang-banyang hitam yang kadang datang. Ia seakan ekor yang bergelayut di belakangku atau ia seperti sekawanan gagak di atas kepalaku. Ia membuatku gugup, berdebar, merinding dan membuatku hilang arah, lupa pada adinda di sana. Bayang-bayang itu kelam. Ia berbau tajam namun tak urung membuatku menginginkannya dan di sisinya aku datang. Ia sperti memberiku jalan untuk bebas dari kekangan. Ia sering datang saat malam, terutama saat aku dalam kesendirian.

Saat pagi datang ada embun yang menyapa tubuhku. Ia sejuk dan menenangkan. Setiap tetes beningnya ia seakan berkata; “Selesaikan semua kusam dan lekat hitam di tubuhmu. Karena yang suci hanya akan bertemu dengan yang suci”.  Kadang aku ikuti anjuran mulia itu, dan saat itulah aku sering teringat engaku adinda. Engkau yang masih menunggu dengan rapalan do’a tanpa jeda.

Banyang-banyang terkadang lebih menggoda dari embun yang penuh dengan kepastian. Namun keduanya tetap butuh satu hal yang sama, ia bernama keyakinan dan keberanian. Barangkali aku belum punya itu, atau aku masih terpesona dengan segala bayang-banyang itu? Aku masih bergelut. Masih melangkah dengan kaki dan wajah yang kadang berbeda. Atau kakiku masih ingin menjelajah.

Waktu dan ruang yang masih tersedia itu akhirnya menjadi hampa. Ia akhirnya membentuk dua arah jalan. Untuk kita, atau untuk segala ingin yang masih kusimpan.

 

II

Keraguan itu kini menyaru dalam beragam rupa dan wajah, ia bernama Alasan.

Setiap kali aku kembali dari dunia tidurku, mereka datang satu persatu menyapaku. Ada yang datang untuk mengingatkan bahwa kehidupan tak boleh disia-siakan hanya untuk hal-hal yang sediktpun tak menguntungkan. Ada yang datang menyapaku dengan tawa panjangnya sambil berkata, mengapa tidak kau enyahkan saja dunia dari dirimu. Ada juga yang datang dengan wajah sumringah seraya berkata, “arungilah dunia ini, karena tak ada lagi dunia seindah ini. Langkahkan kakimu kemana engkau suka”. Aku terkadang geli mendengarnya, tapi tak urung aku mengakui bahwa apa yang mereka katakan kadang aku butuhkan.Dan yang paling membuatku muak adalah sebentuk wajah yang datang dengan senyum tipis nan sinis seraya berkata, “berjuanglah, hiduplah untuk kebahagian orang lain, lupakan waktu untuk memikirkanmu sendiri.”

Jika wajah-wajah itu datang menyapaku, selalu saja aku ingin menampik dan menghindar. Ternyata mereka lebih tangguh dari apa yang aku kira. Perlahan aku juga menyadari, akulah yang menciptakan mereka, menghidupkan mereka, dan kini datang untuk menemaniku. Aku menciptakan mereka dari bermacam bahan baku. Pengetahuan, pengalaman, perbincangan dan sederet percakapan-percakapan dalam diam. Dalam kesendirian dan kesunyian. Untuk menghindari mereka, apalagi membunuhnya bukanllah perkara gampang. Pembunuh bayaran yang terlatih dari kecilpun tak kan mudah untuk membunuhnya. Hal ini juga pernah terjadi dahulu kala, empatbelas silam di tanah yang berpasir yang tumbuh di atasnya kebun-kebun kurma, seorang manusia mulia pernah berkata kepada para panglima dan prajuritnya. Mereka baru saja menunaikan sebuah perang maha dahsyat dan memenangkannya. Dan peperangan yang maha dahsyat itu masih lebih kecildibanding perang untuk yang akan mereka hadapi kelak: perang melawan segala keinginan-keinginan.

Mengabaikan wajah-wajah itu bukanlah hal yang mudah. Kehadiran mereka merupakan sebuah tawaran akan kenikmatan, yang barangkali dicari oleh setiap manusia di atas bumi ini. Pesona keindahan ciptaan alam yang tiap jengkalnya menawarkan sesuatu yang baru. Pesona kecantikan yang mampu mengobati kehausan ragawi. Pesona sudut-sudut remang setiap kota yang menawarkan keasyikan dan misteri. Lalu yang paling mempesona adalah kenikmatan kesendirian yang selalu menawarkan kebebasan.

Aku masih berharap pada waktu yang tersisa. Barangkali waktulah yang membuat wajah-wajah itu hangus terbakar hingga ia menjadi debu lalu dibawa oleh angin atau dihapus hujan. Atau aku masih berharap pada keheningan malam, saat tentara-tentara Tuhan turun ke muka bumi mendengarkan keluh kesah manusia dan menyampaikannya pada Tuhan. Apapun itu, siapapun itu, ada secercah harapan yang akan membuat kesendirianku dan hal-hal yang melekat dalam dirinya, terkelupas satu persatu, hingga menjadi serpihan-serpihan kepasrahan. Kepasrahan yang membuatku menjadi seperti nabi Ibrahim yang keluar dari panggangan api. Atau seperti nabi Yunus yang keluar dari perut ikan. Dan itu semua akan datang, akan tercapai bila satu kata ini sudah dilakukan. Sebuah kata itu bernama keputusan.

Ikuti tulisan menarik Pauzan Sept lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler