x

Iklan

Melinda Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ia adalah Dokter Tanpa Gelar Dokter

Cita-citanya sebagai dokter memang harus kandas, tetapi cita-cita untuk menolong sesama masih membara hingga kini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perempuan itu tampak kikuk ketika memasuki peron Stasiun Tugu Yogyakarta. Hampir dua puluh tahun Ia tidak pernah melakukan perjalanan meninggalkan kota kelahirannya. Setelah mengantongi semangat dari keluarga dan teman-temannya, pada November 2015 malam ia memberanikan diri bertolak menuju Surabaya. Ia adalah Ary Krisnawati, seorang pasien yang divonis Gagal Ginjal Kronis (GGK) sejak 21 tahun silam. Sejak itu Ia harus melakukan cuci darah dua kali seminggu.

Ary didiagnosa GGK pada usia 19 tahun, saat itu Ia tercatat sebagai mahasiswa Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Saat dokter menyuruhnya melakukan cuci darah, Ia tahu harus melakukannya seumur hidup. Cita-citanya sebagai dokter harus pupus. Masa-masa krisis dan sulit pun Ia lalui selama menjadi pasien GGK.

Sempat menjalani transplantasi ginjal ternyata tidak membuatnya lepas dari sakit. Obat penurun kekebalan yang harus Ia minum agar ginjal ayahnya dapat tetap bertahan di tubuhnya memberi efek mual berkepanjangan. Keluar masuk rumah sakit dan dirawat hingga berbulan-bulan Ia jalani selama sembilan tahun menjadi pasien cangkok ginjal. Hingga akhirnya Ia harus kembali melakukan cuci darah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menjadi pasien GGK tidak lantas menyurutkan semangat hidup Ary. Meski Ia tidak dapat melanjutkan kuliah kedokterannya, Ia masih memiliki semangat untuk menolong orang lain. Kemajuan teknologi dan perkembangan sosial media membuat Ary lebih mudah berinteraksi dengan banyak orang, terutama dengan sesama pasien GGK. Melalui grup facebook Hidup Ginjal Muda, Ary membagi pengalamannya selama menjadi pasien GGK dan memberi semangat bagi mereka yang baru divonis. Jangkauannya pun tidak hanya Yogyakarta, tetapi seluruh Indonesia.

Dua puluh satu tahun menjadi pasien GGK tentu tidak mudah baginya. Tetapi perempuan yang hobi menjahit tersebut tidak pernah putus harapan. Sesekali mengeluh tentu saja wajar, tetapi Ia selalu optimis. Ia menjadi penyemangat sekaligus konsultan bagi sesama pasien dan keluarga pasien. Diagnosanya seputar keluhan pasien jarang meleset. Banyak yang berkonsultasi padanya, meski Ia tidak mendapatkan gelar dokter, Ia telah menjadi dokter bagi ratusan pasien GGK.

Sebagai pelaku, perempuan 40 tahun tersebut tahu persis, tidak hanya persoalan kesehatan pasien GGK tetapi juga ‘rasanya’ menjadi seorang pasien. Ia berpraktek dengan dirinya sendiri, menjadi pasien sekaligus dokter bagi dirinya sendiri. Ia ketat menjaga pola makan dan minum. Rajin berolah raga, dan tetap gembira. Semakin lama menjadi pasien GGK, permasalahan pun semakin kompleks, pengeroposan tulang, nyeri sendi, semua sudah Ia alami. Jalannya pun tidak tegak lagi, tapi harapan dan semangatnya tidak pernah roboh. Semangatnya adalah pelita bagi dirinya dan pasien lainnya.

Malam itu Ia akan bertolak ke Surabaya, setengah jam lagi keretanya tiba. Ia akan melakukan operasi cimino, penyambungan pembuluh darah arteri dan vena yang berfungsi sebagai akses keluar masuk darah saat proses hemodialisa atau cuci darah. Setelah lima kali gagal memiliki cimino, harapan tetap Ia torehkan. Sempat ada ragu diwajahnya, tetapi kereta telah tiba, Ia melihat ada setumpuk harapan di dalamnya. Harapan yang selanjutnya akan Ia tularkan kepada banyak orang.

Ikuti tulisan menarik Melinda Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler