TRANSFORMASIONAL LEADERSHIP : FROM CAMPUS TO NATION.
Dunia yang semakin maju menyimpan banyak “kotoran” di bawah “karpet merahnya”. WS Rendra menyitirnya dalam puisi satir yang berjudul “Pamflet Masa Darurat”. Puisinya memotret kegalauan dunia pendidikan yang terpisah dengan realitas. Berikut kutipan beberapa bait syairnya:
“…Aku bertanya tetapi pertanyaan–pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papan tulis papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. Aku melihat sarjana-sarjana menganggur… diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa–desa, mencatat sendiri semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata. Inilah sajakku, pamflet masa darurat…Apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan. WS RENDRA (ITB bandung - 19 Agustus 1978 )
Tiga puluh delapan tahun sudah, namun persoalan yang diangkat masih relevan. Kalimat terakhirnya menjadi kunci dari perubahan “apakah artinya berpikir /bila terpisah dari masalah kehidupan”
Perguruan tinggi adalah mercusuar intelektual dalam budaya masyarakat. Itulah sebabnya “papan tulis” pendidiknya tidak boleh lepas dari persoalan kehidupan. Mercusuar berdiri tegak dan aktif memberi tanda. Kapal yang membaca tanda terhindar dari karang bahaya, sebaliknya yang tak cakap menghantar bahaya bagi penumpangnya.
Mahasiswa adalah calon pemimpin di masa depan. Seperti kapten kapal, sebagai calon pemimpin ia memiliki dua kemungkinan: Pertama) Membantu komunitasnya terhindar dari bahaya, Kedua) Sebaliknya menghantar komunitasnya terjebak dalam bahaya. Agar yang terakhir tidak terjadi, perlu ada persiapan dan penyiapan yang terstruktur.
Kampus adalah tempat penyiapan dan persiapan yang paling baik. Selama di kampus mahasiswa perlu dilatih dan diperlengkapi dengan 3 (tiga) “Pilar” dasar kepemimpinan. Dan jika terlatih baik, modal tersebut dapat membantu mahasiswa lebih mandiri, peka membaca tanda-tanda zaman serta handal mengantisipasi “ombak” yang bernama perubahan baik selama di kampus ataupun di luar kampus.
PILAR PERTAMA: THE INNER CIRCLE
Potensi pemimpin ditentukan oleh orang-orang yang paling dekat dengannya. Sukses datang bukan hanya dari apa yang diketahui, melainkan dari siapa yang dikenal dan bagaimana kita mengelilingi diri dengan orang-orang terbaik. Dalam banyak situasi, orang lebih senang berkumpul dengan orang yang memiliki kualitas yang sama dengan dirinya. Jarang kita melihat orang yang positif tertarik dengan orang yang negatif. Jadi berhati-hatilah kualitasmu ditentukan oleh siapa teman sepergaulanmu.
PILAR KEDUA: THE NAVIGATION LEAD
The Navigation Lead bisa diartikan sebagai presisi dalam penentuan tujuan. Hambatan-hambatan utama terhadap sukses adalah akibat arah yang kurang jelas. Akibatnya terjadi ketidakpastian masa depan, termasuk rasa takut terhadap perubahan, sikap tidak peduli, dan kurangnya imajinasi terhadap masa depan. Dasar pembentukan awal kesuksesan bukan tergantung pada besar kecilnya proyek, melainkan besar kecilnya tujuan dan persiapan, dan hal itu sudah harus dimulai dari sejak di kampus. Seorang yang memiliki kualitas kepemimpinan harus melihat lebih banyak dan lebih jauh ke depan daripada yang dilihat orang lain.
PILAR KETIGA: THE MOMENTUM THRUST
Semua pemimpin menghadapi tantangan untuk menciptakan perubahan dalam suatu komunitas. Sama seperti halnya setiap pelaut mengetahui bahwa ia tak mungkin mengemudikan sebuah kapal yang tidak bergerak maju, demikian juga para pemimpin yang kuat akan memahami bahwa untuk mengubah arah, terlebih dulu ia harus menciptakan atau menemukan gerakan maju. Untuk itu dibutuhkan seorang pemimpin untuk menciptakan hentakan momentum (momentum trust). Untuk itu selama di kampus ia harus terlatih menjadi seseorang yang dapat memotivasi orang lain, bukan yang perlu diberi motivasi.
TOKOH WILLIAM WIBERFORCE
William Wilberforce adalah contoh orang yang berhasil membangun dan memelihara ketiga pilar dasar kempimpinan ini. Ia seorang Kristen, dikenal sebagai pejuang penghapusan perdagangan dan anti-perbudakan di Inggris. Ia lahir pada 24 Agustus 1759 di Hull. Menempuh pendidikan di St. John College sebelum melanjutkan di Universitas Cambridge. Pertobatan hidupnya melahirkan orientasi baru dalam pemikiran dan gaya hidupnya. Sebelumnya ia hidup dalam kemabukan dan pesta-pora. Namun persahabatannya dengan William Pitt (yang kelak menjadi Perdana Menteri Inggirs) selama di kampus mendorongnya masuk ke dalam dunia sosial politik. Di usia 21, Wilberforce menjadi anggota Parlemen mewakili Hull. Pergaulannya dengan komunitas Kristen membawanya melihat kondisi pabrik-pabrik di Inggris yang memperkerjakan para budak (Pilar I – The Inner Cirlce). Pertemuannya dengan Thomas Clarkson pionir pejuang penghapusan perbudakan dan John Newton pengarang lagu Amazing Grace, mantan kapten kapal perdagangan budak yang bertobat, mengubah haluannya dan mengkonfirmasi penuh panggilan Tuhan atas hidupnya. (Pilar I - The Inner Circle + Pilar II- The Navigation Lead)
Bersama dengan komunitas barunya ia menentukan arah perjuangannya, bergerak aktif, berkampanye, mengakhiri perdagangan budak. Mereka membangkitkan kesadaran publik dengan pamflet, buku, demonstrasi dan petisi (Pilar I + II + III- The Momentum Thrust). Selama 18 tahun Wilberforce berjuang dan melobi parlemen, ia malah dilecehkan dan diteror oleh para pedagang budak. Hingga berusia 46 tahun (1807), barulah parlemen menyetujui sebagian permohonannya yakni penghapusan perdagangan budak, tetapi tidak membebaskan para budak. Semangatnya tidak padam dengan setia ia memelihara momentum perubahan itu mendampingi setiap gerakan perjuangannya di Inggris hingga pada 1833 saat berusia 74 tahun, barulah Parlemen Inggris mengabulkan penuh perjuangannya dengan melarang segala jenis perbudakan. Efek perjuangan Wilberforce ternyata tidak berhenti. Sejak saat itu perjuangan anti perbudakan meluas hingga di seluruh benua Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia membentuk masa depan dunia yang lebih baik. Jika USA memiliki presiden berkulit hitam hari ini, hal itu tidak lepas dari perjuangannya 267 tahun yang lalu (Pilar III- The Momentum Thrust).
PENUTUP
Meskipun kehidupan kampus terlihat sangat terbatas, namun memiliki posisi yang sangat strategis. Seperti Wilberforce, calon pemimpin transformatif masa depan (baca: mahasiswa) harus menjadikan kampus sebagai sarana perjumpaan atau pembentukan tunas-tunas komunitas transformatif. Jika tiga pilar kepemimpinan dilatih dan dikembangkan secara terstruktur, maka komunitas tersebut dapat menjadi cikal-bakal bagi gerakan transformasi masa depan yang lebih baik. Besar harapan tulisan ini dapat ikut menyumbang gerakan momentum perubahan tersebut.
Sucipto Asan S.Sos, S.Th, M.A (Cand. MM in Human Capital & Organization Development), License Certified Trainer 7 Habit of Highly Effective People , License Certified Trainer John C. Maxwell Leadership. Certified Training for Trainer Young Life Indonesia. Senior Consultant di Maxima Potensia. Anggota MYC (Mission Youth for Christ) Karawaci. Senior Member GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) Bandung. Pencetus Nilai Integrity, Care and Excellence Universitas Kristen Maranatha. Mantan Kabag Badan Pelayanan Kerohanian Universitas Kristen Maranatha (2000-2004). Saat ini bekerja sebagai HR Manager di Universitas Pelita Harapan, Karawaci.
Ikuti tulisan menarik sucipto.asan lainnya di sini.