Menguatnya perlawanan warga terhadap program reklamasi yang tengah digalakkan pemerintah di Sulawesi, Bali dan Jakarta dapat dilihat sebagai bentuk kemarahan warga karena akses mereka terhadap pantai bebas akan semakin sulit dan mahal. Namun, di luar program reklamasi, penyerobotan dan pembatasan hak warga ke pantai juga kerap terjadi karena pembangunan hotel, restauran dan fasilitas-fasilitas wisata lainnya.
Di pantai Senggigi (Lombok), misalnya, sekarang sedang berlangsung pembangunan hotel Katamaran yang menyerobot bibir pantai yang semestinya bebas dinikmati warga. Di dalam UU atau lazim dikenal dengan Aturan Sempadan Pantai dengan tegas diatur jarak bangunan ke bibir pantai minimal 100 meter. Namun, pada prakteknya aturan ini sering dilanggar oleh para pengusaha hotel dan restoran. Pembangunan hotel Katamaran di pantai Senggigi dengan jelas juga melanggar aturan ini. Maka pantas kita pertanyakan peran Pemda dan Dinas Lingkungan Hidup dalam menerapkan aturan Sempadan Pantai. Apakah pembangunan itu telah mendapat ijin? Kalau sudah, kenapa pelaksanaannya tidak diawasi? Berbagai pertanyaan akan muncul jika kita mencermati berbagai penyimpangan pembangunan di pantai.
Agak mengherankan juga bahwa media-media lokal tidak menyoroti masalah ini dengan kritis. Demikian juga dengan LSM, NGO dan organisasi-organisasi pecinta lingkungan. Apakah kasus ini kurang seksi untuk di blow up? Kalah seksi dengan isu reklamasi?
Jika pelanggaran aturan pembangunan di pantai seperti kasus Katamaran di Senggigi didiamkan, dengan dalih apapun, akan menjadi preseden buruk. Ke depan akan semakin banyak pengusaha melakukan pelanggaran yang sama karena dalam benak mereka hanya ada niat untuk meraih untung sebanyak mungkin. Tak peduli dengan kelestarian alam dan hak warga terhadap pantai bebas.
Ikuti tulisan menarik Citizen Jurnalism lainnya di sini.