x

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Klinik Opini: Pejabat Takut Salah di Era Jokowi dan Ahok

Saya melihat banyak perubahan terjadi di Jakarta. Pelayanan E- KTP yang semula leletnya minta ampun sekarang sudah mengalami perubahan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak  Jakarta dipimpin oleh Jokowi dan dilanjutkan dengan Ahok banyak pejabat Jakarta takut melakukan kesalahan. Kocar-kacir mereka menghindar dari kesalahan-kesalahan fatal ketika menjabat. Era Ahok pemantauan terhadap kinerja pejabat, pegawai pemprov, dari semua eselon sampai RT dan RW pun amat ketat. Mereka harus selalu waspada, selalu was-was jabatannya digeser dengan tiba-tiba. Pengawasan melekat dengan menerapkan teknologi  digital membuat mereka yang sebelumnya bisa memainkan trik-trik untuk menghindari  pekerjaan menjadi mati kutu. Wali Kota, Camat, Lurah, RT dan RW selalu dalam keadaan siaga dan merasa berada di ujung tanduk. Kesalahan prosedural, kebijaksanaan, target meleset, dan ketahuan melakukan penyelewengan akan segera kena hukuman, rotasi. bahkan pemecatan.

 Saya sempat berbincang-bincang dengan  Ketua RT:

“Susah Mas menjadi Ketua RT sekarang. Harus selalu melaporkan kegiatan sehari tiga kali. Nih, saya selalu menenteng ponsel untuk melaporkan perkembangan kegiatan di RT saya. Kalau tidak gaji saya sebagai  Ketua RT akan di potong. Nih, satu Jempretan foto berharga 10 ribu tiga kali  sehari menjadi 30 ribu. Kita baik lurah maupun Ketua RT sama kedudukannya, sama nasibnya selalu berada di ujung tanduk. Makanya kerjasama sangat diperlukan. Kadang saya iri dengan petugas Pemeliharaan Prasarana Sarana  Umum(PPSU) yang dibayar besar untuk pekerjaannya Saya Perbulan cuma di bayar 900.000."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melihat nasib-nasib pejabat Jakarta yang merasa selalu terancam itu kadang  sebagai warga merasa kasihan juga, tapi saya melihat pembenahan mindset pejabat dari cara lama ke cara baru era Basuki Tjahaya Purnama memang amat diperlukan. Di era globalisasi sekarang ini, mengandalkan aji mumpung dan menghabiskan  dana APBN hanya akan membuat  negara banyak kehilangan modal untuk sesuatu yang tidak penting. Mereka pejabat memang harus dikondisikan untuk merencanakan kegiatannya kea rah produktif dan kreatif. Di banyak negara birokrasi  yang rumit sudah jarang ditemukan. Sistem yang tertata dan pelayanan yang cepat menjadi andalan negara bisa bersaing di era globalisasi sekarang ini. Kalau pejabat masih menganut pola lama dengan prinsip ABS(Asal Bapak Senang), birokrasi hanya akan terisi oleh orang-orang  penjilat.

Ada gegar budaya dalam lingkup birokrasi, ini transisi dari pola lama ke pola baru, banyak orang yang masih terkaget-kaget, stress dan selalu dalam tekanan. Akibatnya banyak jabatan yang mesti terus dirolling, dimutasi, atau bahkan langsung dipecat karena buruknya kinerja dan target yang tidak tercapai. Pemebersihan gaya lama dan masuk ke birokrasi modern menuntut tekat dan semangat untuk membersihkan birokrasi dari kecenderungan korupsi, melakukan manipulasi data dan mengarang  pekerjaan atau proyek fiktif.

Saya melihat banyak perubahan terjadi di Jakarta. Pelayanan E KTP yang semula leletnya minta ampun sekarang sudah mengalami perubahan. Permintaan pengajuan akta tanah, akta kelahiran dan urusan-urusan yang berhubungan dengan warga menjadi lebih cepat dan transparan. Memang saya lihat banyak pegawai yang masih ogah-ogahan karena tidak lagi memegang uang (uang pelicin), tapi sekarang relative sedikit. Pelayanan menjadi prioritas sehingga banyak urusan tidak lagi harus menyiapkan uang demi kelancaran urusan. Menurut hemat saya  pelayanan birokrasi di lingkup Pemprov Jakarta sesuatu hal yang positif. Jakarta itu adalah ibu kota Republik Indonesia. Jika Pelayanan di Jakarta Raya itu baik tentu akan berimbas pada  daerah-daerah lain. Ironi jika Surabaya sudah berubah, Banyuwangi sudah berubah, Solo sudah beruba, Bahkan Kabupaten  Batang juga berubah tapi Provinsi DKI tidak mengubah pola dan system birokrasinya. Solo Sejak era Jokowi sudah menerapkan pola satu pintu dalam urusan perijinan, di daerah-daerah lainnya pun banyak perubahan menyangkut pelayanan public tapi Jakarta  malah baru berbenah semenjak Jokowi dan Ahok.

Tapi Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Ke depannya masyarakat juga harus berubah tidak lagi memberi kesempatan pejabat, pegawai dan pamongpraja melakukan tindakan tercela semacam korupsi, nepotisme atau melakukan penyuapan untuk melancarkan urusan yang berhubungan dengan birokrasi. Pelayanan yang baik akan membawa dampak perubahan budaya, percepatan perputaran ekonomi masyarakat dan membuat kepercayaan masyarakat pada pemda meningkat. Masyarakat rela pejabat dibayar tinggi asal pelayanan memuaskan. Jika kesempatan korupsi menyempit akan membuat anggaran daerah meningkat pesat. Jakarta perlu  banyak  belajar dengan negara tetangga terutama Singapura, untuk membenahi sistem transportasi umum yang ramah, ruang terbuka hijau, sistem pelayanan publik yang modern dan penerapan hukum yang adil terhadap siapa saja yang melanggar peraturan. Pejabat pun tidak perlu takut bekerja dibawah ancaman dan tekanan, jika semua sistem berjalan mereka cukup berperilaku baik, cepat tanggap dan tulus dalam bekerja, imbas dari pekerjaan yang baik tentu terdampak pada kesejahteraan mereka yang meningkat.

 

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler