x

LP Banceuy Terbakar, Pemerintah Bangun Penjara Baru

Iklan

Imam Anshori Saleh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penjara yang Membara

Dalam April ini saja sudah terjadi kerusuhan di tiga penjara, yakni Banceuy dan Krobokan di Bandung serta di Lapas Kuala Simpang, Aceh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lembaga pemasyarakatan (lapas) atau penjara dan para penghuni di dalamnya tidak boleh disepelekan. Di negeri kita, pemerintah terkesan menyelepelekannya. Belum tuntas penyelesaian atas maraknya peredaran narkoba di dan dari beberapa penjara, kerusuhan dan pembakaran terjadi beruntun. Kerusuhan terakhir pecah pada pekan lalu saat para narapidana penjara khusus narkoba Banceuy, Bandung, membakar sejumlah bangunan dan merusak sejumlah fasilitas.

Dalam April ini saja sudah terjadi kerusuhan di tiga penjara, yakni Banceuy dan Krobokan di Bandung serta di Lapas Kuala Simpang, Aceh. Sebulan sebelumnya terjadi kejadian serupa di penjara Malabero, Bengkulu, yang mengakibatkan lima narapidana tewas dan beberapa bangunan dibakar. Kalau lebih mundur lagi, kerusuhan serupa di penjara Muaro Tebo, Jambi; Lhokseumawe, Aceh; Palopo, Sulawesi Selatan; dan Lubuk Pakam, Sumatera Utara.

Tentu ini sangat memprihatinkan. Di tengah upaya pemerintah membangun bangunan penjara baru, karena hampir semuanya kekurangan kapasitas, satu demi satu penjara dibakar dan dirusak. Berbagai motif menjadi pemicu kerusuhan, dari ketidakpuasan terhadap perlakuan petugas, larangan berhubungan suami-istri saat besuk, hingga melindungi sesama napi yang menjadi bandar atau pengedar narkoba. Apa pun motifnya, semuanya akibat petugas tidak dapat mengendalikan para narapidana dan tahanan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa petugas penjara tak berdaya? Penyebabnya selalu klasik. Data menunjukkan daya tampung dan jumlah petugas tidak seimbang dengan jumlah penghuni. Sejak masa Orde Baru sampai saat ini pemerintah, DPR, dan pengamat selalu menyatakan keprihatinannya tentang kurangnya kualitas dan kuantitas bangunan penjara, timpangnya jumlah petugas dibandingkan dengan jumlah nara pidana, dan kurangnya fasilitas yang tersedia. Semua Menteri Hukum dan HAM selalu menyatakan bahwa pembenahan lapas akan menjadi prioritas. Nyatanya hingga kini kondisi penjara tak kunjung membaik.

Kapasitas rumah tahanan di negeri ini tidak seimbang dengan jumlah narapidana yang harus ditampung. Berdasarkan data terbaru dari Sistem Data Base Pemasyarakatan (SDB) Kementerian Hukum dan HAM pada 23 April 2016 ini, ada 188.365 penghuni penjara yang terdiri atas 125.971 narapidana dan 62.394 tahanan. Terjadi 158 persen jumlah yang melebihi kapasitas. Di beberapa provinsi kelebihan jumlah napi malah di atas 100 persen, seperti DKI Jakarta (175 persen), Kalimantan Selatan (205 persen), Riau (197 persen), Kalimantan Timur (125 persen), dan Sumatera Utara (156 persen).

Rasio jumlah petugas juga tidak seimbang dengan jumlah penghuni. Menurut Kepala Sub-Bagian Humas Ditjen Lapas Kementerian Hukum dan HAM, Akbar Hadi Prabowo, saat ini terdapat sekitar 183 ribu narapidana di seluruh Indonesia, yang hanya dijaga sekitar 14.600 sipir atau petugas. Jumlah itu pun dibagi dalam empat regu, jadi sekitar 3.400 dalam satu regu, dan harus menjaga 183 ribu orang penghuni. Idealnya, satu petugas menjaga 25 narapidana. Tapi, dalam prakteknya, sekitar 55 narapidana harus dijaga oleh seorang sipir. Bahkan kekurangan petugas ini juga terjadi di kota-kota besar. Akbar mencontohkan, di Rutan Salemba, Jakarta, ada sekitar 3.700 narapidana yang dijaga hanya oleh 23 orang petugas.

Menteri Hukum dam HAM Yasonna Laoly menuding Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Pengetatan Pemberian Remisi bagi Narapidana dan Tahanan menjadi faktor munculnya kerusuhan di Banceuy dan penjara lain. Yasonna menyatakan penumpukan warga binaan di penjara itu disebabkan peraturan tersebut. Peraturan itu memang mengatur ketat remisi bagi narapidana yang dipidana melakukan terorisme, narkotik, korupsi, dan kejahatan luar biasa lainnya. Namun, sejumlah pengamat menolak tudingan Menteri ini. Banyak faktor lain menjadi pemicu, bukan peraturan itu yang menjadi sumber kerusuhan.

Mencari penyebab kerusuhan di banyak penjara mesti melihat dilakukan dengan lebih komprehensif. Negara mesti mengembalikan tujuan orang dimasukkan ke dalam penjara. Sesuai dengan namanya, lembaga pemasyarakatan adalah tempat mendidik narapidana agar kelak dapat kembali ke masyarakat, menjadi orang baik. Jika proses pendidikannya terhambat karena para narapidana merasa tidak nyaman atau malah mendapat ilmu baru untuk meningkatkan kemampuan melakukan kejahatan dari narapidana lainnya, tujuan pendidikan itu tidak berhasil. Yang terjadi sebaliknya, orang jahat keluar dari penjara menjadi bertambah jahat.

Tapi, mereka memerlukan tempat dan perlakuan yang baik dan manusiawi. Kondisi yang terpinggirkan dalam ruang sempit, pengap, dan teraniaya, seperti yang dialami para narapidana di penjara kita, hanya akan memupuk dendam dan solidaritas antarnarapidana dan sewaktu-waktu akan meledak jika situasi memungkinkan.

Jika jumlah penjara tidak lagi mampu menampung jumlah narapidana, pembangunan penjara dengan segala fasilitas dan sumber daya manusianya harus menjadi prioritas dengan memberikan dana yang cukup. Selain itu, manajemen dan perlakuan terhadap narapidana harus dibenahi. Negara mesti secara serius meninjau kembali dan memperbaki semua regulasi yang menjadikan narapidana kehilangan hak-hak serta harkat dan martabatnya. Bukan masanya lagi menjadikan narapidana sebagai "pesakitan". Negara juga mesti memikirkan bagaimana menghilangkan sumber-sumber kejahatan, sehingga tidak setiap hari jumlah orang yang divonis masuk penjara terus bertambah.

*) Tulisan ini terbit di Koran Tempo edisi Rabu, 27 April 2016

Ikuti tulisan menarik Imam Anshori Saleh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler