x

Pengunjung melintasi layar monitor pada acara Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta, 18 April 2016. TEMPO/Aditia Noviansyah

Iklan

mohammad mustain

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Yang Lebih Penting dari Kata Maaf

Mengembalikan hak dan martabat korban tak berdosa peristiwa 1965 jauh lebih penting dari kata maaf atas nama negara. Apa sudah siap?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Maaf hanya sebuah kata atau ucapan. Ia tak akan berarti apa-apa jika tidak disertai perbuatan. Maaf itu sebuah keikhlasan, yang harus muncul dari kesadaran dan keterbukaan hati. Maaf itu tidak bisa dipaksakan, kecuali oleh hukum formal demi tuntutan kebendaan. Jika itu terjadi, maaaf hanya jadi komoditas. Ia tak bermakna tak berarti.

Tapi, itulah yang kini terjadi. Maaf tiba-tiba saja menjadi kata kunci ketika menyinggung korban tragedi 1965. Seolah kata maaf itu bisa menyesaikan semuanya, seolah kata maaf adalah yang paling utama. Kata maaf akan tetap jadi kata maaf jika kata itu tak disertai aksi nyata dan kesadaran hati. Siapa pun yang mengucapkannya, atas nama negara atau pribadi.

Peristiwa ’65 adalah sejarah  kelam republik ini. Luka-lukanya masih membekas hingga kini. Entah sampai kapan luka itu akan dipelihara, dalam amarah, tuntutan, dan kebencian. Sebagian besar pelaku atau korban tragedi ini sudah meninggal atau usianya sudah uzur. Namun, cap PKI dan penghianat itu masih menghantui keluarga dan anak turunannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, tak hanya mereka yang harus menanggung aib dan derita itu. Banyak pula korban tragedi ’65 lain, yang bukan PKI, juga harus menerima hal serupa. Jumlah mereka juga tak sedikit. Sebuah kenyataan yang sering diingkari entah atas dasar apa. 

Ini beban sejarah yang berat. Ini memang harus diselesaikan agar tidak menghantui mimpi entah berapa generasi lagi. Namun, kata maaf bukanlah solusi utama masalah ini. Kalaupun dipaksakan hanya akan menampilkan wajah kalah dan menang, salah dan benar, pemberi dan penerima maaf. Sebuah posisi berhadap-hadapan atau atas dan bawah, seperti gambaran telapan tangan.

Yang diperlukan saat ini adalah sifat keterbukaan. Keterbukaan menerima fakta seputar peristiwa ’65 seberapa pun getir dan pahitnya. Fakta itu sangat mungkin tidak sesuai dengan sejarah resmi yang telah kita percayai selama ini. Ini bukan soal marxisme atau PKI, yang final tak boleh ada di republik ini. Ini soal manusia anak bangsa, yang punya hak sama atas keadilan kemanusiaan di negeri ini, yang dijamin dasar negara Pancasila dan hukum dasar UUD 45.

Selama masih ada kemarahan, mau menang sendiri, dan tak mau membuka mata hati serta pikiran terkait persoalan dasar korban ’65 ini, tak akan pernah akan ada penyelesaian. Semuanya akan kembali berhadapan-hadapan, memegang teguh fakta dan kemarahan masing-masing, bahkan oleh generasi yang sama sekali tak tahu apa-apa mengenai peristiwa itu.

Biarkan saja, biar waktu yang mencabutnya dari ingatan?

Itu sebuah kepasrahan bagi yang tak berdaya. Membiarkan masalah itu mengendap dan hilang ditelan ‘kepikunan’. Sebuah perjalanan panjang yang menyakitkan bagi korban ’65. Demikian bagi keluarganya, yang terombang-ambing dalam prasangka diri dan masyarakat yang tidak pasti, apakah benar badai itu telah berlalu dalam kehidupan mereka.

Mereka memerlukan kepastian. Kepastian bahwa mereka telah kembali sejajar dengan anak bangsa lain, dalam menempuh kehidupan ini. Posisi kesejajaran ini lebih penting daripada kata maaf, yang diberikan pejabat negara. Namun, bisakah itu dilakukan jika tak ada kesadaran bersama?  Jika pemerintah hendak melakukannya, bagaimana reaksi elemen bangsa lain temasuk masyarakat bawah?

Kalau kita mau jujur, di perdesaan, rakyat jauh lebih bijaksana dalam mengelola persoalan sejarah ini. Tak ada konflik, tak ada cemooh. Kengerian peristiwa itu yang dirasakan kalangan berumur, terjaga dalam ingatan mereka tanpa ada provokasi ke yang lebih muda. Diam dalam kebersamaan.

Namun, tidak demikian halnya ketika hal ini beranjak ke golongan yang lebih ‘intelektual’, di daerah perkotaan. Atas nama keadilan atau atas nama kemanusiaan, atas nama sejarah dan politik, persoalan sejarah ini tampil lebih menakutkan. Itulah yang tampak dalam tulisan, demo, atau kegiatan lain terkait peristiwa itu. Rutinitas yang dipelihara.

Setiap kali ada acara diskusi atau seminar seputar korban tragedi 1965, reaksi keras akan selalu ada. Baik penggerak diskusi maupun penentangnya, adalah generasi muda yang tak terlibat langsung dengan peristiwa 1965. Ini artinya, ada pemeliharaan kebencian, kemarahan, dan prasangka secara terus-menerus oleh generasi yang tak tahu apa itu Tragedi 1965. Mereka mengetahuinya dari sejarah resmi, dari film,  dan sumber lain yang sangat mungkin tidak netral.

Ini bukan soal marxisme atau PKI yang sudah final tak boleh ada di republik ini. Ini soal anak bangsa yang jadi korban tragedi 1965, yang jumlahnya banyak dan menghantui berjuta anak bangsa lain. Masalah ini jika tak diselesaikan dengan bijaksana, akan selalu memunculkan dua kelompok yang berhadap-hadapan. Dan mereka itu adalah generasi yang tak terlibat langsung peristiwa ’65. Yang satu menilai ada ketidakadilan, sementara yang lain menilai upaya itu untuk menghidupkan kembali PKI.

Yang mengkhawatirkan adalah sikap kebencian dan prasangka berlebihan kepada siapa pun yang mengusik tragedi 1965 sebagai pembela PKI. Ini justru bisa menimbulkan simpati dan bahkan minat atas organisasi terlarang itu, tanpa menyadari apa yang telah terjadi di masa silam. Bukankah ada anak muda menyenangi sesuatu justru karena dilarang? Atau rasa keadilan mereka terusik karena adanya kelompok atau perorangan yang teraniaya?

Jadi kalau sudah seperti itu apa kata maaf masih penting? Ada yang lebih penting dari kata maaf, yaitu mengkaji kembali tragedi 1965 itu. Kajian ini harus terbuka. Berani menerima fakta yang sebelumnya tak masuk dalam data resmi negara. Keberanian inilah yang diperlukan. Tanpa itu, berapa banyak pun fakta dan data baru masuk, semuanya akan mubazir jika pintu masuk itu sudah ditutup; hanya untuk membenarkan tindakan di masa lalu.

Hal itulah yang diperlukan saat ini agar masyarakat khususnya generasi muda tidak ikut terpecah dalam dua kelompok yang saling berhadapan atas dasar kebencian masa lalu. Upaya memeliharan kebencian dan prasangka atas dasar kekhawatiran bangkitnya kembali PKI, harus dibelokkan menjadi upaya memelihara persaudaran atas dasar persatuan negeri dan menolak kembalinya PKI.

Rekonsiliasi?

Apa yang harus direkonsiliasi kalau belum ada kejelasan sikap dalam memandang persoalan tragedi 1965 ini. Rekonsiliasi itu bisa dilaksanakan  bila pihak-pihak yang dinilai berseberangan menyadari posisi masing-masing, mau menerima yang lain atas dasar kesetaraan.  Saat ini kesetaraan itu masih jauh dari kata ada. Ada dendam, kemarahan, keengganan, ada kekhawatiran, ada kebimbangan.

Karena itulah, luka korban tragedi 1965 itu harus disembuhkan dulu sebelum kata sakti ‘rekonsiliasi’ itu diucapkan. Salah satu luka itu adalah pengingkaran banyak anak bangsa yang selama bertahun-tahun dicap PKI tanpa didasari fakta. Entah atas dasar apa cap itu, karena tidak pernah ada pengadilan atas mereka.

Itu hanya salah satu. Yang lain adalah mengembalikan martabat kemanusiaan mereka sebagai anak bangsa, baik itu korban atau keluarganya. Sekali lagi, bukan kata maaf yang diperlukan, namun tindakan merehabilitasi nama baik mereka yang sudah uzur-uzur itu, juga keluarga dari korban yang telah meninggal. Inilah kewajiban pemerintah. Bukan mengucapkan kata maaf yang entah untuk siapa dan untuk apa.

Mencari kuburan massal?

Untuk apa kuburan itu dicari? Untuk memuaskan nafsu kita ataukah untuk mengurus pemakamannya secara layak dan memberi tahu keluarganya (jika masih ada)? Alasan yang pertama berbeda dengan yang kedua. Yang pertama adalah pembuktian sejarah bahwa ada kekejaman di masa lalu yang menelan korban begitu banyak. Komnas HAM dan organisasi lain konon banyak yang memilikinya.

Data itu sudah ada. Kembali masalahnya adalah siapa yang berhak mengelola data itu untuk kebaikan bangsa ini. Jika tidak, data hanya sekedar data yang tak akan mengubah apa pun karena pintu data atas nama negara telah ditutup. Keengganan menerima fakta baru, tak adanya keberanian untuk mengubah pemahaman sejarah peristiwa 1965, membuatnya sia-sia.

Demikian pula sebaliknya, para pemilik data akan tetap mendesak pengakuan atas hal itu. Bahwa ada kekejaman di luar batas kemanusiaan, yang menelan korban begitu banyak di masa itu. Jika demikian halnya, pembuktian adanya kuburan masal lebih condong kepada pembenaran diri dan bukan didasari semangat bersama untuk menyelesaikan persoalan ini.

Kuburan masal itu memang harus dicari. Namun semangatnya bukan untuk siapa benar siapa salah. Kuburan massal itu harus ditemukan untuk kembali dilakukan pemakaman yang layak, keluarganya diberi tahu, kalau memang masih ada dan bisa dilacak siapa korban itu. Inilah kewajiban pemerintah. Ini bukan soal siapa benar siapa salah. Ini soal nilai-nilai luhur yang kita anut sebagai bangsa yang berke-Tuhan-an.

Kita memerlukan keberanian, keterbukaan hati, dan kesadaran bersama untuk menyembuhkan luka tragedi 1965 ini. Jangan biarkan generasi berikut tetap memelihara api amarah, dendam, dan permusuhan atas dasar peristiwa sejarah yang sama sekali tak mereka alami. Dendam, kemarahan, kebencian, ada di hati, dan dia bisa diturunkan. Karena itu, bukalah hati itu sebelum bicara maaf.

Atas nama negara atau atas nama apa pun kata maaf mungkin sudah tak perlu. Yang diperlukan adalah kewajiban negara untuk memulihkan martabat para korban 1965, termasuk keluarganya. Salami mereka, pergauli mereka, jangan diskriminasikan mereka sebagai anak bangsa. Itu jauh lebih bermakna daripada kata maaf.

 

Salam.

Ikuti tulisan menarik mohammad mustain lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler