x

Iklan

TEMPO INSTITUTE Indonesia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyunting Tulisan Sendiri

Editor Tempo, Bagja Hidayat, dalam percakapan di “Forum Nulistik – Tempo Institute” beberapa pekan lalu, berbagi pengalaman soal mengedit tulisan sendiri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Editor Tempo, Bagja Hidayat, dalam percakapan di “Forum Nulistik – Tempo Institute” beberapa pekan lalu, berbagi pengalaman soal mengedit tulisan sendiri. Dalam rentang dua jam, Bagja mengupas soal menyunting tulisan bersama teman-teman Nulistik. Berikut petikan percakapan tersebut.

Bagaimana Mengedit Tulisan Sendiri

Pengalaman saya menulis untuk Tempo, yang paling sulit adalah bersikap keras pada diri sendiri, yakni menjadi algojo bagi tulisan sendiri. Jika mengedit tulisan orang lain saya bisa tega memangkas, menghapus, menambah tajam tulisan, tapi seringkali tak berdaya jika menghadapi tulisan sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Padahal, mengedit tulisan sendiri adalah tahapan paling penting dalam menulis. Pada tahap itu kita dituntut berdamai sekaligus bersikap keras dengan bahan, tega pada kerja keras sendiri, hingga melatih disiplin pada rambu-rambu menulis: deadline, jumlah karakter, dst.

Penyakitnya adalah, kita malah sering tak bisa menjadi editor bagi diri sendiri. Padahal dalam menulis editor itu penting. Di dunia wartawan tak ada penulis kelas satu sebab di belakang mereka menyeringai para editor. Merekalah yang bertugas menyelaraskan, merapikan, mendisiplinkan bahan, mengecek fakta, pada artikel yang mereka edit.

Penulis kelas satu itu hanya ada di dunia fiksi, terutama puisi. Dalam dunia nonfiksi, apalagi penulisan populer, ada aturan-aturan yang tak bisa diterabas. Editor itulah orang yang paling bertanggung jawab pada penulisan. Karena ia gerbang terakhir sebuah artikel ditafsirkan oleh pembaca. Jika editornya lalai, penulisnya bisa dicemooh karena salah logika, misalnya. Nah, sebelum tulisan kita dikuliti para editor, sebaiknya kita kuliti sendiri.

Para penulis biasanya mengerjakan tahapan menulis seperti ini:

Ide –> pengumpulan bahan –> bikin outline –> menulis –> merapikan –> mengedit –> menyerahkan pada editor –> terbit.

Kami di Tempo biasa menggunakan tahap seperti ini:

ide –> menentukan angle –> riset –> menuliskan semua bahan –> tinggalkan dan mengejrakan hal lain yang tak berhubungan dengan tema itu –> membaca ulang atau menambahkan bahan –> tinggalkan lagi –> mengedit.

Kenapa saya mengerjakan hal lain di luar tema itu? Agar saya lupa. Kalau sudah lupa dan saya menghadapi tulisan itu kembali, saya menjadi orang lain yang bisa tega melihat dan memperlakukan tulisan itu.

Dengan begitu, saya segera bisa menemukan kesalahan-kesalahan elementer: salah koma, salah titik, typo, kacau logika kalimat, dst. Bahkan bisa ketahuan saya ternyata tanpa sadar memasukkan bahan yang tak berhubungan dengan angle tulisan itu.

Saat mengedit itu pula saya memeriksa banyak hal:

1. kesalahan menulis

2. memeriksa kesesuaian bahan dengan angle

3. memeriksa pembuka dan penutup

4. memeriksa pengalineaan

5. memeriksa istilah

6. memeriksa jumlah karakter

7. memeriksa koherensi antar paragraf

8. memeriksa ketajaman ide

9. mengecek fakta

Itulah sebetulnya fungsi dan peran para editor. Nah, bolehkah editor mengubah gaya bahasa penulis? Seberapa jauh otoritas editor?

Selengkapnya baca disini.

Ikuti tulisan menarik TEMPO INSTITUTE Indonesia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler