x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mereka Membangun, Lalu Dilupakan

Tukang tembok, tukang gali tanah, dan para kenek membangun apartemen, hotel, perkantoran, mal, dan jalan tol tanpa pernah merasakan kenyamanannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di saat tiang pancang apartemen 20 lantai menara-1 ditegakkan, para pekerja sudah beberapa minggu tidur di bedeng-bedeng ala kadarnya. Mereka tidur, makan, dan mandi di sana—berbeda dengan para manajer dan direksi yang bisa pulang ke rumah, mandi air hangat, makan lezat, dan tidur nyenyak di atas kasur empuk.

Bedeng-bedeng dibangun di lokasi apartemen hendak didirikan. Terkadang ruang bedeng lumayan sejuk ketika angin bertiup lewat lubang-lubang dinding, namun lebih sering panas. “Kami sudah terbiasa melewatkan malam bersama nyamuk, tapi letih menghalau rasa gatal,” kata seorang kenek bangunan sembari merapatkan sarung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak ada acara peresmian berdirinya bedeng-bedeng. Tentu saja, tidak. Bahkan para eksekutif pembangun apartemen itu pun tidak tahu di mana bedeng berada. Apa lagi mengenal kenek dan tukang bangunan, meskipun merekalah yang menata hebel, merekatkannya satu sama lain, membingkai kusen dan daun pintu-jendela, memasang kloset dan wastafel. Mereka hanya memasangkan dan tak pernah merasakan tinggal di apartemen yang bersih kinyis-kinyis.

Berdiri di ketinggian berpuluh-puluh meter sudah terbiasa bagi mereka. Bukannya mereka tidak punya rasa takut, namun ketakutan mereka tidak memperoleh penghasilan telah mengatasi rasa takut akan ketinggian. Sepanjang berbulan-bulan para pekerja menetap di bedeng demi menegakkan menara apartemen setinggi 20 lantai. Warung-warung jalanan menjadi tempat mangkal di saat lapar dan memperbincangkan upah yang tak naik-naik.

Mereka merapikan perabot dan mengepel bersih lantai ketika ada calon pembeli hendak berkunjung. Ketika kamar sudah dicat penuh warna, furnitur mengkilap sudah terpasang, aroma pewangi memenuhi ruangan, lampu-lampu menerangi dengan gemerlap kuningnya, dan mesin pendingin membikin kamar begitu sejuk, peran mereka digantikan oleh para pemasar berdasi yang selalu tersenyum ramah kepada para tamu.

Merekalah calon pembeli yang menanyakan ada tipe berapa saja, berapa harganya, setelah berbasa-basi sedikit tentang fasilitas dan benefit, pembelian pun jadi. Dalam satu minggu, satu menara 20 lantai itupun sold out—terjual habis, ludes, tak bersisa. Para pekerja itu geleng-geleng kepala ketika mendapati brosur promosi apartemen yang mereka bangun—membangun dalam arti harfiah, menata hebel satu per satu. Mereka nyaris pingsan.

Teman-teman saya lainnya bekerja membangun perumahan horisontal, ruko, perkantoran, serta hotel bagus nan menawan—berukuran kecil maupun besar. Nama arsitek dan insinyur sipil yang merancang bangunan selalu disebut-sebut, juga desainer interiornya yang membikin ruangan tampak indah dan nyaman dihuni. Tapi tidak nama mereka, dan mereka tidak peduli—untuk apa?

Setelah acara peresmian yang meriah dan diiringi pesta makan enak, para tamu menginap di kamar-kamar hotel yang aromanya wangi, udaranya sejuk, airnya segar, dengan hiburan film di layar televisi yang bisa dipilih sesuksa hati. Teman-teman saya yang bekerja keras membangun tak pernah diundang ke acara peresmian, dan mereka tidak sakit hati.

Mereka juga berpengalaman membangun mal-mal. Jumlahnya puluhan, dengan segala jenis barang ditumpahkan ke dalamnya—makanan, minuman, pakaian, sepatu, ranjang, lemari, hinggal mobil. Rumah-rumah berharga em-em-an dipamerkan, ditawarkan, dijual, dan sold out dalam sekejap. Sesudah acara gunting pita dan pelepasan balon tanda mal diresmikan, para tamu berbelanja apa saja yang tersedia di sana, yang mereka inginkan, walupun tidak mereka butuhkan.

Kawan-kawan saya lainnya direkrut pemborong untuk membangun jalan tol. “Wah, keren, kita bikin jalan tol,” ujar seorang pekerja. Mereka memasang besi-besi sebagai alas jalan sebelum dicor, merapikan parit-parit, menanam pohon-pohon agar jalan tol terlihat asri dan pemakai mobil tidak merasa bosan. “Kita harus bekerja ekstra cepat karena jalan tol harus siap sebelum Lebaran,” ujar mandor.

Para pekerja memperbaiki ruas-ruas jalan yang berlubang dan menambalnya. Jalan harus mulus agar mobil-mobil yang melaju cepat tidak terguncang oleh lubang, walaupun kecil. Pada malam-malam yang diguyur hujan mereka tetap bekerja. Pada siang-siang yang dipanasi matahari kerja mereka pun tak kurang.

Sesudah Menteri atau Presiden meresmikan infrastruktur itu—yang dianggap dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mobil-mobil bagus melewati jalan-jalan yang mereka turut andil membangunnya. Tapi mereka tak pernah merasakan mulusnya jalan itu. Nama-nama mereka tak pernah disebut, bahkan tidak ada ucapan terima kasih saat pidato peresmian berlangsung.

Para pekerja itu tak pernah lagi menginjakkan kaki di mal, apartemen, hotel bintang lima, maupun berkiloemeter jalan tol mulus yang mereka bangun. Ketika pekerjaan selesai, mereka kembali ke dusun—bertani di sawah milik orang lain. (Foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu