x

Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial menggelar sidang kode etik pada hakim ad hoc Tipikor, Yogyakarta, Johan Erwin Isharyanto di Mahkamah Agung, Jakarta, 18 September 2014. Tempo/Dian Triyuli Handoko

Iklan

suhuf_esoterika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Suap Hakim dan Mafia Peradilan

Dengan menerima suap, berarti hakim telah menggadaikan harga diri, kesucian hukum, dan keadilan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketukan palu sidang Majelis Kehormatan Hakim kembali berdetak. Pekan lalu, Falcon Sihombing, hakim Pengadilan Negeri Muara Teweh, Kalimantan Tengah, dipecat secara terhormat oleh Majelis karena terbukti menerima suap Rp 15 juta dari orang yang sedang beperkara. Bukan jumlah suap yang menjadi pertimbangan yang memberatkan, melainkan kualitas pelanggaran etikanya yang masuk kategori berat.

Menerima suap dari pihak beperkara merupakan pantangan bagi seorang hakim. Dengan menerima suap, berarti hakim telah menggadaikan harga diri, kesucian hukum, dan keadilan. Praktek suap dalam jangka panjang akan melemahkan legitimasi hakim sebagai penegak keadilan. Putusan-putusan hakim tidak akan dihormati dan hukum tak lebih dari sekadar gelanggang untuk tawar-menawar kepentingan.

Maka, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tidak berkompromi dengan hakim dan aparat peradilan lain yang nakal. Sepanjang 2015, sebanyak 265 aparat peradilan dikenai sanksi. Angka ini meningkat dibanding pada 2014, yang berjumlah 209. Jumlah hakim yang dijatuhi sanksi karena pelanggaran disiplin pada 2015 berjumlah 118 orangdengan asumsi hukuman berat 18 orang, sedang 11, dan ringan 89 orang. Beberapa di antaranya dihukum karena terlibat jual-beli perkara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Naiknya angka pelanggaran disiplin aparat peradilan karena terjerat jual-beli perkara itu menjadi persoalan besar yang terus menghambat reformasi lembaga peradilan. Alih-alih bisa ditumpas, korupsi peradilan justru menjadi segumpal kenyataan yang terus mempengaruhi cara pandang publik terhadap lembaga peradilan.

Semua hakim yang berhati nurani pasti mengutuk praktek mafia yang bercokol di lembaga peradilan. KPK harus didukung agar mengungkap keterlibatan aktor lain agar kerja kehakiman tidak lagi terganggu oleh tindakan-tindakan yang mencoreng martabat peradilan. Penerapan justice collaborator, misalnya, hendaknya dijadikan instrumen hukum oleh KPK untuk mengungkap aktor utama kasus suap tersebut. Saksi pelaku disyaratkan memiliki keterlibatan minimum dalam perkara suap, mengakui perbuatannya, dan bersedia menjelaskan keterlibatan pihak-pihak lain.

Terungkapnya sederet praktek jual-beli perkara di lingkungan peradilan, sekali lagi, mengkonfirmasi bahwa hukum, termasuk proses administrasinya, masih bisa dibeli. Hukum, kata Soetandyo Wignjosoebroto (2012), bukan lagi ekspresi rasa keadilan yang berakar tunjang dalam budaya masyarakat, melainkan instrumen teknis yang tak pernah punya roh.

Jika demikian, maka, reformasi hukum mesti dimaknai pula sebagai reformasi struktural yang tak hanya berkenaan dengan struktur organisasi eksekutif, tapi juga menjangkau reformasi peradilan. Pembenahan ulang tak hanya berkenaan dengan tatanan kerja demi meningkatnya efisiensi struktur, tapi juga efisiensi pemberian layanan kepada masyarakat pencari keadilan.

Perlu beberapa langkah agar perang melawan mafia peradilan ini membuahkan hasil dan marwah lembaga peradilan terpulihkan. Pertama, aparat peradilan harus menjangkarkan moral serta profesionalitas dalam kerja-kerja penegakan hukum. Notohadimidjojo (1995) menyatakan bahwa norma kemanusiaan dan kejujuran merupakan aspek penting yang perlu dimasukkan dalam pembaruan kerja penegakan hukum.

Norma kemanusiaan menuntut hakim dan aparat peradilan senantiasa memperlakukan manusia sebagai makhluk yang memiliki keluhuran pribadi. Adapun norma kejujuran menghendaki pemelihara hukum bersikap jujur dalam menangani hukum dan melayani masyarakat pencari keadilan serta berusaha menjauhkan diri dari perbuatan tercela.

Kedua, persoalan suap di lingkungan peradilan bukan sekadar pelanggaran pidana yang penyelesaiannya mutlak menggunakan hukum besi. Suap berkelindan dengan mentalitas aparat yang bekerja dalam sebuah jaringan rapi dan terencana. Perkembangannya pun mengerikan karena profesi sekelas satpam bisa berperan dalam praktek mafia peradilan. Karena itu, pembinaan mental secara simultan dan integratif kepada aparat peradilan harus dirancang secara sungguh-sungguh. Pembinaan integratif mengkombinasikan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran, dan keahlian, sehingga aparat peradilan siap menghadapi berbagai godaan dan tantangan.

Ketiga, menutup celah sistem administrasi peradilan yang selama ini menjadi ruang terbuka jual-beli perkara melalui pengaturan dan pengawasan yang ekstra ketat. Kontrol terhadap perkara yang telah diputus oleh majelis kasasi maupun peninjauan kembali sangat diperlukan, terutama ketepatan waktu penyampaian salinan putusan kepada pengadilan tingkat pertama untuk diteruskan kepada para pihak yang beperkara.

Keempat, menempatkan sumber daya mumpuni dan berintegritas pada jabatan strategis. Penegakan pilar-pilar good governance dengan melakukan fit and proper test bertujuan memastikan pejabat yang terpilih benar-benar bermutu dan berintegritas, sehingga lorong gelap yang selama ini dijadikan ruang transaksi para mafia dengan aparat peradilan bisa ditutup rapat.

Ikuti tulisan menarik suhuf_esoterika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler