x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Korupsi, Pertanda Masyarakat Materialistis

Korupsi adalah tanda-tanda masyarakat yang menjunjung tinggi kekayaan material.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
“What is the chief end of man? –to get rich. In what way? –dishonestly if we can; honestly if we must. Who is God, the one only and true? Money is God.”

--Mark Twain (Revised Catechism)

 

Apa tujuan seseorang, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, melakukan korupsi maupun menerima suap? Satu saja tujuan pokoknya: menumpuk kekayaan melalui jalan pintas. Jabatan, kekuasaan, dan wewenang adalah sarana yang dipakai untuk memengaruhi ataupun memaksa orang lain agar menjalankan kehendak orang yang ingin menumpuk kekayaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seorang hakim atau jaksa mau menerima suap karena ia ingin kaya dalam waktu singkat—bukan karena ia ingin mengambil kekayaan pelaku korupsi dan menyerahkannya kepada negara; bukan pula untuk bederma. Kuasa dan wewenangnya untuk memutus suatu perkara menjadikan hakim dan jaksa punya alat untuk menghimpun kekayaan bagi dirinya sendiri.

Tanpa kekayaan, banyak orang merasa ada yang kurang pada kekuasaan—menjadikan kekuasaan kurang gemerlap. Kegermelapan kuasa dimanifestasikan dalam mobil dinas yang baru dan sangat mahal, ruang kerja mewah, maupun acara-acara yang megah.

Kemakmuran juga penting untuk menimbulkan kesan pemurah dan dermawan tanpa bias kepentingan apapun. Apa kata dunia jika seorang gubernur tak mampu merogoh sakunya Rp 100 juta ketika sekelompok masyarakat tiba-tiba meminta sumbangan? Apa kata dunia jika seorang calon ketua umum partai politik tidak mampu menyumbang Rp 5 miliar dari kantongnya sendiri? Apa kata dunia jika seorang pejabat tidak mampu menggelar perhelatan nikah anaknya di sebuah gedung mewah?

Sebuah masyarakat yang menilai kelayakan seseorang dari kekayaannya, koneksi keluarganya, maupun pengaruhnya, kata Noel G. De Souza, adalah masyarakat materialistik. Masyarakat seperti itu memeringkat individu bukan berdasarkan karakter pribadi dan prestasinya, melainkan lebih kepada rumah mewahnya, pesta-pesta keluarganya, pesawat pribadi, maupun busana mahalnya. Ketika orang-orang bersaing untuk menumpuk kekayaan dan jatuh ke dalam jebakan aturan kemakmuran, kata De Souza, korupsi akan merajalela.

Dalam masyarakat materialistis, kekayaan dipertuhan—lebih dari apapun, kendati pemuka masyarakat berusaha membantah kenyataan ini. Kita menampik paham materialis dalam kata-kata, tapi menjalankannya dalam praktik. Kita menampik anggapan bahwa masyarakat kita materialistis, tapi kita mengukur keberhasilan seseorang dari jumlah rumahnya, mobilnya, maupun benda-benda material lainnya. Mengakui kenyataan pahit memang teramat sukar.

Keterikatan pada kekayaan, kata Paus Francis, adalah awal segala jenis korupsi, di mana saja: korupsi personal, korupsi dalam bisnis, korupsi dalam politik, korupsi dalam pendidikan. Para penguasa berpikir: “Ketika kita tidak cukup kaya, kekuasaan kita terasa kurang gemerlap—kekayaan itulah yang menyempurnakan kekuasaan.” (sumber ilustrasi: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler