x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Yap Thiam Hien

Sebuah contoh menjalankan agama tanpa perlu membenci liyan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Yap Thiam Hien Pejuang Hak Asasi Manusia

Penyunting: T. Mulya Lubis dan Aristides Katoppo

Tahun Terbit: 1990

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Sinar Harapan                                                                                              

Tebal: 156

ISBN: 979-416-089-x

 

Biasanya seseorang yang beragama dicap sebagai orang yang anti ilmu pengetahuan, anti kemanusiaan dan menutup diri terhadap pihak luar yang tidak seiman dengannya. Tidak demikian dengan Yap Thiam Hien. Imannya justru membawanya ke politik jalan lurus. Iman Kristen yang mengajarkan manusia harus berbuat kasih kepada sesamanya membawa hidupnya berkomitmen kepada negara hukum, tegaknya keadilan, dan hak asasi manusia (hal. 8). Tiga komitmen inilah yang melandasi perjuangan Yap Thiam Hien di dunia advokat dan dunia politik.

Yap adalah orang yang mengalami diskriminasi sejak kecil. Sebagai seorang keturunan Cina, dia justru mengalami diskriminasi dari para Cina karena Yap tidak bisa berbahasa Cina dan tidak terlalu paham budaya Cina. Diskriminasi tersebut akan berkurang saat dia sekolah di Belanda. Namun saat kembali ke Indonesia, diskriminasi kembali dialaminya. Diskriminasi yang dihadapinya tidak membuat dia membenci pihak-pihak yang mendiskriminasi dia. Tetapi membuat Yap semakin gigih memperjuangkan kesamaan hak di depan hukum. Sebab bagi Yap setiap manusia berhak atas sejarahnya, kebudayaannya, dan kehormatannya (hal. 28).

Yap begitu kuat memperjuangkan konstitusi sebagai kekuatan terakhir berdirinya sebuah negara. Sebagai sebuah negara kita tidak boleh berharap kepada kebaikan seseorang (hal. 32). Sebab kebaikan seseorang bisa berubah. Itulah sebabnya sangat penting sebuah konstitusi yang berkuasa dan mengatur keseluruhan kehidupan bernegara. Meski dia harus berjuang sendiri.

Saat Sukarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945, Yap Thiam Hien adalah salah satu dari sedikit orang yang menentang. Meski Yap adalah orang yang respek terhadap Sukarno, Yap dengan lantang menyampaikan ketidak setujuannya. Yap tidak setuju UUD 1945 karena dua alasan. Pertama, UUD 1945 tidak memberikan posisi setiap warga negara sama di depan hukum. Pasal 6 yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus seorang Indonesia asli dianggapnya telah mencederai kesamaan semua warga negara di depan hukum (hal. 26). Keberatan keduanya adalah memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada eksekutif sehingga berpotensi eksekutif bertindak sewenang-wenang. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan keadilan.

Bukan saja saat dia berprofesi sebagai anggota konstituante, saat menjadi advokad pun dia berjuang untuk menegakkan hukum. Sebelum menerima seseorang menjadi kliennya, Yap sering bertanya: “Apa yang saudara capai di pengadilan? Hendak menang perkara atau hendak meletakkan kebenaran saudara di ruang pengadilan dan masyarakat? Jika saudara hendak menang perkara, janganlah pilih saya sebagai pengacara anda, karena pasti kita akan kalah. Tetapi saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran saudara, maka saya mau menjadi pembela saudara” (hal. 45). Bagi Yap seluruh proses peradilan adalah proses untuk mencari kebenaran dalam rangka mencapai keadilan. Memenangkan perkara bukanlah tujuan utama dalam proses di pengadilan.

Sepak terjangnya yang gigih memperjuangkan keadilan, kemanusiaan dan kepada hukum membuat Daniel Lev menjulukinya sebagai orang yang agak-agak autopi. Yap tahu bahwa apa yang diperjuangkannya sangatlah sulit untuk dicapai. Namun dia tetap melakukan melalui hal-hal praktis. Itulah sebabnya Lev menjulukinya agak-agak autopi. Lev masih melihat bahwa Yap mau bertindak praktis untuk cita-citanya. Lev juga melihat bahwa Iman Kristenlah yang menginspirasi gagasan Yap tentang keadilan, kemanusiaan dan hukum. Meski Lev secara samar juga menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Yap sesungguhnya juga terdapat dalam budaya Jawa, yaitu prinsip hidup sepi ing pamrih rame ing gawe. Apakah yap terpengaruh budaya Jawa? Saya rasa tidak. Sebab persentuhan Yap dengan budaya Jawa sangatlah minim.

Mochtar Lubis juga mengakui bahwa iman Kristenlah yang menginspirasi Yap. Mochtar Lubis memandang Yap sebagai seorang yang teguh dalam memperjuangkan apa yang diyakininya, tetapi juga seorang humoris. Mochtar Lubis sangat terkesan dengan Yap sebagai advokat. Seperti halnya Lev, Mochtar Lubis juga melihat bahwa bagi Yap pengadilan adalah tempat untuk mencari kebenaran, bukan sekedar memenangkan perkara. Mochtar Lubis berterima kasih kepada Yap dan kawan-kawan yang telah mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Adnan Buyung Nasution menyampaikan bahwa tujuan utama perjuangan Yap Thiam Hien adalah untuk membuat Recht berkuasa atas Macht, keadilan berkuasa atas kesewenang-wenangan (hal. 50). Perjuangannya yang gigih untuk menghilangkan diskriminasi (Pasal 6) dan menghilangkan kekuasaan eksekutif yang terlalu dominan, serta kurangnya jaminan akan kebebasan asasi manusia (hanya 5 pasal: 27, 28, 29, 30 dan 31) di UUD 45 bukanlah bentuk penentangan kepada Sukarno, melainkan upaya untuk membuat sebuah konstitusi yang berar-benar bisa menjamin keadilan terhadap kesewenang-wenangan. Adnan Buyung mengutip ucapan Yap: “apa guna segala penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia pada akhirnya jatuh kembali dalam cengkeraman penindas yang lain, meskipun dari bangsanya sendiri?!” Adnan Buyung juga terkesan dengan upaya praktis dari Yap dalam mengupayakan negara hukum dan demokrasi. Yap terlibat dalam pendirian Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) tahun 1966. Yap juga menjadi bidan lahirnya Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun 1969. Pilihan Yap untuk membela orang-orang yang dianggap berseberangan dengan mainstream politik, meski mereka juga berbeda dengan dirinya sendiri. Di antara mereka yang dibela oleh yap adalah Subandrio, Mahasiswa Malari, perkara Komando Jihat, kasus Tanjung Priok. Bahkan Yap ditangkap pada tahun 1974 karena disangkakan terlibat dalam peristiwa Malari. Adnan Buyung juga terkesan dengan pilihan Yap untuk meninggal di tengah-tengah persiapan Inter NGO Conference on Indonesia (INGI) V di Veurne Belgia.

Bismas Siregar, sang Hakim Agung menjuluki Yap Thiam Hien sebagai seorang Kristen yang baik dan sering menggunakan ayat Alkitab apabila terdakwa yang dibelanya beragama Kristen (hal. 77). Bismar Siregar mengagumi keteguhan Yap dalam menegakkan keadilan melalui jalan hukum, meski Yap sendiri pernah didakwa dalam pengadilan. Perkara penghinaan yang disangkakan kepadanya di tahun 1968, yang sempat dihukum 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri dan kemudian dikoreksi menjadi 14 hari di Pengadilan Tinggi, tetap diperjuangkannya melalui kasasi karena putusan tersebut dianggapnya tidak adil. Yap kembali didudukkan sebagai pesakitan pada persitiwa Malari. Dua kejadian tersebut tidak menyurutkannya dari upaya menegakkan keadilan melalui hukum. Selain mengagumi kegigihan Yap, Bismar juga menyukai Yap dalam beracara di persidangan. Bismar menyampaikan bahwa Yap selalu berprasangka baik kepada hakim dan jaksa. Namun Yap juga tak segan bersikap keras apabila merasa bahwa proses pengadilan telah menyimpang dari mencari keadilan. Dan Bismar Siregar, yang adalah seorang Muslim taat, mengutip banyak ayat Alkitab untuk mendefinisikan siapa Yap (hal. 84).

Princen yang menjuluki Yap sebagai seorang ahli yang bisa berpikir tenang dan matang, menjelaskan betapa Yap berani menghadapi arus politik yang tidak memihak dalam mengupayakan keadilan melalui negara hukum. Dalam membela Subandrio, Yap justru fokus kepada pentingnya membatasi kekuasaan negara dengan hukum (konstitusi) sehingga kesewenang-wenangan penguasa bisa dicegah.

Christianto Wibisono secara khusus meneropong posisi Yap dalam masalah keturunan Cina di Indonesia. Yap adalah seorang penganjur paham integrasi, yaitu penerimaan keturunan Cina apa adanya sebagai sesame warga negara Indonesia. Namun Yap berbeda dengan BAPERKI, organisasi yang diikutinya. Bagi Yap, dasar integrasi haruslah keadilan sosial, penghormatan hak asasi dan martabat manusia sesuai dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dan latar belakang kasih kepada sesame manusia, Kemanusiaan yang adil dan Beradab (hal. 98).

Marianne Katoppo menyoroti pendapat Yap Thiam Hien yang anti hukuman mati. Menurut Yap hukuman mati adalah satu-satunya hukuman yang irreversible. Hukuman yang tidak mungkin dipulihkan. Yap tidak hanya berwacana tentang ketidak-setujuannya dengan hukuman mati, tetapi Yap juga bergerak secara praktis melalui gerakan HATI “hapus hukuman mati”.

Arief Budiman menulis saat akhir bersama Yap Thiam Hien. Cerita-cerita yang ringan tetapi penuh moralitas. Arief Budiman menggambarkan Yap melalui hal-hal yang sangat personal. Arief menjuluki Yap sebagai seorang yang “triple minority”. Meski minoritas rangkap tiga, Yap tetap tegak melawan arus yang melanda hidupnya (hal. 139). Keberaniannya memilih posisi moral daripada kompromi, sikapnya yang tidak peduli kepada posisinya sebagai minoritas saat memperjuangkan kebenaran dan ketulusannya menghargai perjuangan seseorang adalah beberapa hal yang dicatat oleh Arief Budiman tentang Yap Thiam Hien.

Jalannya Yap adalah jalannya yang menuju kepada Tuhan, oleh karena itu bukan jalan yang gampang dan rata (Princen, hal. 91).

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler