x

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Ketinggian Penjara Lampau

Akan sulit dipercaya bila suasana nan damai ini terjadi dua ratus tahun lalu, tatkala pemukiman koloni baru dibangun oleh tangan-tangan para narapidana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bayangkan sebuah kapal melewati muara Sungai Swan, meluncur anggun di perairan, dengan wajah-wajah manusia melempar pandang penuh pertanyaan kepada daratan di sekelilingnya. Mereka adalah narapidana yang dikirim dari Negeri Inggris Raya, dan akan menghabiskan masa hukumannya di Australia Barat, bertahun-tahun lampau. Kini, di ketinggian The Roundhouse, saya menyaksikan muara Sungai Swan yang menjadi jalur tiba pertama mereka sebelum dipindahkan ke Perth atau kota sekitarnya di tanah kanguru ini.

 

Sulit bagi saya mengangankan bahwa tempat yang elok ini, di mana pengunjung dapat menyaksikan seluruh muka pelabuhan dan pesisir Fremantle, termasuk hamparan bangunan tua yang berjajar hingga ke pusat kota, adalah menara pengawas bagi tibanya kapal-kapal lintas benua yang membawa segala rupa komoditas, termasuk orang-orang hukuman. Sejak tahun 1831, bangunan publik pertama di Fremantle tersebut digunakan pula sebagai penjara dengan enam bilik sel di dalamnya, sebelum dialih-fungsi berturut-turut untuk penjara polisi, rumah dinas polisi air, hingga gudang penyimpanan barang-barang pelabuhan. Sekarang ia menjadi museum yang menampilkan sejarah kemaritiman Kota Fremantle.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Ketika saya tiba di The Roundhouse, gedung tua berarsitektur melingkar itu sudah tutup beroperasi. Duduk di lapangan terbuka bersebelahan dengan bangunan, saya menyaksikan para pelancong asyik berfoto agak ke pinggiran tebing, mengabadikan pemandangan laut lepas dan pelabuhan. Sepasang muda-mudi tampak asyik berbincang seraya santai rebah tiduran di rumputan. Tak lama berselang, sepasang suami istri yang baru saja melangsungkan pernikahan tiba. Masih mengenakan gaun dan pakaian resepsi, mereka berfoto berlatar lanskap sore yang cerah.

 

Saya akan sulit percaya bila suasana nan damai ini terjadi dua ratus tahun yang lalu, tatkala pemukiman koloni baru dibangun oleh tangan-tangan para narapidana asal Britania Raya.

 

Kurang lebih sekitar 9.721 narapidana dipindahkan ke Australia Barat, semuanya masuk melalui pelabuhan Fremantle dalam beberapa gelombang pelayaran selama kurun 1850 – 1868. Mereka disebar ke beberapa kota dan ditugaskan untuk membangun infrastruktur setempat, seperti gedung pemerintahan, sekolah, serta gereja, sampai dikeluarkan kebijakan baru penghentian pengiriman narapidana oleh Pemerintah Inggris. Masing-masing dari mereka sedia membaur dan membangun keluarganya sendiri di sini, terutama pasca habisnya masa tahanan, kendati terdapat pula yang melarikan diri dari tanah buangan ini ke negeri-negeri lain. The Perth Town Hall merupakan satu bangunan yang pernah dihasilkan oleh orang-orang hukuman ini.

 

Kisah-kisah hidup para narapidana di Australia Barat sudah cukup banyak dikenal orang. Salah satu yang terbilang menyentuh—ya, bahkan sisi kejahatan kadang punya rasa harunya sendiri—adalah cerita tentang Yagan, anggota suku Noongar, sebuah kelompok etnik setempat yang mukim sekitar Perth sekarang. Kendati usaha penangkapannya dipicu akibat perampokan gudang gandum di Fremantle pada 29 April 1833, di mana saudara laki-laki Yagan tertembak dan meninggal penjara ini, Yagan sebenarnya adalah perlambang perlawanan suku-suku setempat atas terpinggirkannya mereka oleh pendudukan kaum koloni Inggris. Mereka kesulitan mengakses lahan berburu ataupun kegiatan ritual tradisinya akibat lahan-lahan yang makin dibatasi. Mereka pun kesulitan memperoleh bahan pangan karena kawasan-kawasan subur telah dikuasai koloni. Suku Noongar melakukan perlawanan demi perlawanan, hingga terjadi aksi pembalasan dendam Yagan atas kematian saudaranya—hal mana membuat berang pemerintah koloni dan menginginkan dirinya hidup atau mati.

 

Jadi demikian. Mungkin di sinilah para pejabat koloni menyaksikan lalu lintas kapal-kapal lintas benua, ada yang membawa komoditas, narapidana, atau apapun itu, melintas tenang muara Sungai Swan ini, jauh memintas samudera. Berdiri di titik yang mungkin sama dengan tempat pijaknya para koloni tersebut, sejurus ada rasa gigil meresap ke sekujur kulit saya, mendesir lebih karena sebentuk ketidakpercayaan lain yang hingga dalam pikiran: betapa ternyata negeri yang semula dikenal sebagai tanah buangan ternyata berhasil mengubah dirinya menjadi negara maju dengan penataan kota terbaik di antara daerah metropolitan lain di seluruh dunia.

 

Bila kita berjalanan menyusur High Street yang berawal dari The Roundhouse ini, terus mengikuti arah lurus, akanlah sampai ke pusat kota yang menjadi ikon historis Fremantle yang tak terlupakan, dengan anak-anak muda yang berkumpul bersukacita. Bila kita mengarung Sungai Swan, melintasi alirannya yang tenang, kita pun akan tiba di Perth, ibukota negara yang tak henti berbenah sebagai kawasan mukim bersahabat. Membayangkan itu, saya merasa seperti berada dalam lampaunya masa silam, mungkin bukan sebagai orang-orang hukuman, namun persis serupa pejalan waktu yang mengikuti laju sejarah negeri ini.

 

(Kunjungan ke Australia Barat sebagai bagian dari program TravelMate dari National Geographic Traveler (NGT) Indonesia bekerjasama dengan Western Tourism Australia. Foto dokumentasi pribadi.)

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB