x

ilustrasi pemerkosaan. Tempo/Indra Fauzi

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ditunggu Aksi Pemerintah Cegah Begundal Pemerkosa Berkeliaran

Seharusnya, ketimbang membangkitkan fobia komunisme itu, pemerintah harus berpikir prioritas, yakni mendesakkan perberatan hukuman bagi pemerkosa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam sebulan ini kita disuguhkan berita tragedi kemanusiaan, kalau gak kita sebut kebiadaban, oleh kasus pemerkosaan berkelompok atau gang rape. Dimulai dari pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yy, gadis SMP 14 tahun oleh 14 pemuda, sebagian masih di bawah umur dan sudah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Yy yang masih berseragam Pramuka, pulang sekolah menyusuri rute kesehariannya, di pematang sawah yang sepi, satu-satunya jalan menuju rumahnya di Rejang Lebong, Bengkulu.

Tak ada firasat, petaka bakal menghampiri dan mengakhiri hidupnya. Kehormatannya direnggut paksa oleh jahanam-jahanam tengik yang hobi menonton video porno itu. Beberapa pemerkosa bahkan sampai melakukan kebiadaban itu tiga kali. Tak tahan menanggung sakit, nyawa Yy melayang. Jasadnya ditutupi daun pakis agar tak terlihat. Mayatnya baru ditemukan empat hari kemudian setelah saudara kembar, orang tua, dan penduduk desa mencarinya.

Belum selesai kita menuntut penyelesaian yang adil atas arwah Yy, di Manado kita mendengar gadis berusia 19 tahun diperkosa 19 pemuda. Ibu korban menuturkan, putrinya mengalami trauma hebat akibat dicekoki narkoba dan mendapati sudah dirudapaksa oleh belasan pemuda. Dua di antarannya disebut anggota kepolisian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada Rabu, 11 Mei lalu, seorang siswi kelas 6 sekolah dasar di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, diperkosa tujuh anak baru gede di sebuah rumah. Seperti halnya YY, gadis ini masih mengenakan seragam sekolahnya saat diperkosa di sebuah rumah kosong. Korban datang ke rumah itu atas ajakan dua temannya yang juga perempuan. Begitu datang ke rumah itu, korban langsung ditarik masuk ke dalam kamar oleh kawanan penjahat kelamin itu dan diperkosa.

Yang lebih gila lagi, ada balita usia 2,5 tahun di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ditemukan tewas dengan luka-luka dalam sebuah lemari. Ia diperkosa oleh Budiansyah, buruh pabrik batako pada 10 Mei lalu, atau dua hari setelah aksi biadab itu.

Sebelumnya, pada 2 Mei 2016, peristiwa mengerikan menimpa siswi kelas 3 SMP di Banda Aceh. Ia menjadi korban gang rape oleh empat begundal di dalam mobil dalam perjalanan dari Banda Aceh ke arah Gunung Geureutee, Kabupaten Aceh Jaya. Alasan gang rape ini lantaran korban enggan dipacari oleh salah seorang pelaku.

Belum reda kita menghela napas, gadis cilik 10 tahun di Aceh diperkosa oleh dua orang pemuda. Pemerkosaan yang terjadi di daerah yang menerapkan syariah Islam.

Berita kebiadaban ini ditutup dengan kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap karyawati Eno Farihah, 18 tahun di Kosambi, Tangerang, Banten. Ia mengalami siksaan hebat lantaran dibunuh dengan gagang pacul hingga sampai menyobek paru-paru dan rongga dadanya mengalami patah tulang. Tak terperi penderitaan yang dirasakannya saat berjuang membela kehormatan diri hingga datangnya ajal. Tiga pelaku, salah satunya masih kelas 2 SMP, tak bisa lagi disebut manusia mengingat kejinya cara mereka. “Ini pembunuhan sangat biadab, pembunuhan sadis,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Khrisna Murti.

(Baca::Karyawati Dibunuh Pakai Gagang Cangkul, Ini Kronologinya)

Dari rentetan kasus pemerkosaan baik berkelompok (gang rape) sampai yang dilakukan perseorangan dan disertai pembunuhan dalam sebulan terakhir, telah menimbulkan teror. Begundal seksual menebar kengerian. Tak ada lagi perikemanusiaan. Tak lagi ada rasa penghormatan terhadap rahim-rahim yang melahirkan mereka. Bagaimana manusia-manusia yang sudah kehilangan akal budi seperti itu bisa dibiarkan bebas menyalurkan kekejiannya. Hukum tak lagi menakuti mereka untuk menghalangi berbuat kejam.

Ironisnya, saat kasus Yy meledak, pemerintah, mulai dari menteri, ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, senator, hingga parlemen justru mendesak agar Rancangan Undang Undang Peredaran Minuman Keras disahkan. Betulkah semendesak itu? Kenapa bukan berpikir bahwa akar dari pemerkosaan itu adalah laki-laki yang tidak bisa mengontrol nafsunya? Laki-laki yang karena tak mampu mengontrol imannya, bertindak kesetanan dan keji.

Di tengah perdebatan soal pengesahan RUU Minuman Keras itu, konsentrasi teralihkan (atau dialihkan?) ke soal fobia komunisme sebagai imbas dari digelarnya Simposium Korban 1965. Para jenderal TNI, termasuk Menteri Pertahanan, terlihat ketakutan PKI akan bangkit lagi padahal sudah dibubarkan pemerintah. Fobia itu bahkan merembet masalah simbol-simbol dan razia buku-buku kiri.

Seharusnya, ketimbang membangkitkan fobia komunisme itu, pemerintah harus berpikir prioritas. Ada tragedi kemanusiaan mengerikan tengah berlangsung di negeri yang konon permai ini. Bagaimana mungkin  kebiadaban terjadi di negeri yang konon selalu menjunjung tinggi adat ketimuran. Kekejian di luar nalar makhluk bernama manusia. Masih pantaskah mereka disebut manusia?

Pemerintah harus memfokuskan kepada pembenahan infrastruktur dan meningkatkan patroli polisi sebagai penjaga keamanan dalam negeri. Ini untuk mencegah tindakan serupa terjadi lagi. Bagaimana agar perempuan bisa nyaman bersekolah dengan rasa aman yang besar. Di Rejang Lebong, Bengkulu, infrastruktur tidak memadai. Jalanan yang sepi, terkadang hutan, harus ditempuh anak dari sekolah ke rumahnya. Kekerasan terus mengintai mereka karena kawasan itu luput dari patroli polisi dan keramaian orang.

Di luar itu, pendidikan seks yang adil gender harus mulai diajarkan sejak taman kanak-kanak dengan menyesuaikan tingkat pemahaman mereka. Pendidikan seks ini tidak hanya dibebankan kepada perempuan harus menjaga dirinya, tapi bagaimana laki-laki bisa menghargai perempuan, yang kelak akan menjadi calon ibu, muara dia pernah bersemayam selama sembilan bulan. Dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Eno, bagaimana begundal ABG usia 15 tahun menjadi amat bengis lalu mengambil pacul untuk menyiksa lawan jenisnya. Dari mana dia punya pikiran sejahat dan segila itu. Tentu peran keluarga juga ikut menentukan. Apakah dia juga menjadi korban kekerasan seksual sehingga ia menyalurkan dendam dengan sebrutal itu. Atau seperti halnya salah satu pemerkosa Yy yang ternyata bapaknya juga pernah terjerat kasus pemerkosaan, bagaimana keluarga mendidiknya. Sekali lagi, anak dilahirkan dalam keadaan suci, orang tuanyalah sebagai guru pertama yang membentuk kepribadiannya.

Memang, setelah  diberondong berbagai kasus teror kekerasan seksual ini, pemerintah berniat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak. Dan DPR mendukungnya. Di dalam Perppu ini, akan dimasukkan unsur pemberatan hukuman. Salah satunya, pemberian hukuman pokok dengan sanksi pidana penjara maksimal 20 tahun penjara serta hukuman tambahan. Hukuman tambahan yang diwacanakan pemerintah adalah kebiri dan pemasangan gelang atau menanam chip di tubuhnya sebagai penanda bahwa dia adalah penjahat seks.

Tentu jika soal pemberatan hukuman ini, rasanya tak sebanding dengan penderitaan yang dirasakan korban. Juga kepiluan hati yang dirasakan keluarga korban. Korban yang mati pun tak bisa hidup lagi. Jika hal ini ditanyakan kepada saya, hukuman maksial 20 tahun penjara pun tak cukup. Seharusnya pemerkosa –dan juga pembunuh ini- dijatuhi hukuman seumur hidup agar membusuk di bui. Ini juga untuk mencegahnya tak berkeliaran mengumbar kebejatan di luar. Dan aturan itu harusnya mengatur bagaimana pencegahan. Kita toh tak ingin kekerasan seksual terus terjadi kan.

Tapi saya pun tak sepakat dihukum mati. Di samping kita sudah seharusnya mulai menghilangkan hukuman itu, eksekusi mati sama saja menyelesaikan kejahatannya di dunia tanpa perlu tanggung jawab.

Jika menilik namanya, Perppu adalah peraturan yang menuntut disegerakan sembari menunggu berlakunya undang-undang baru. Perrppu Kekerasan Seksual nilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah, bukan lagi menanggapi rengekan para jenderal tentang bahaya laten komunis.

 

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler