x

Para pemain film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2, Adinia Wirasti (kiri) Dian Sastrowardoyo (tengah) dan Nicholas Saputra, menjawab pertanyaan wartawan saat jumpa pers jelang peluncuran AADC 2 di Yogyakarta, 22 April 2016. ANTARA/Andreas Firti Atmmoko

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saatnya Merevisi UU Perfilman

Setelah bekerja sejak pertengahan Januari lalu, pada akhir April, Panitia Kerja (Panja) Perfilman Komisi X DPR mengumumkan hasilnya kepada publik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah bekerja sejak pertengahan Januari lalu, pada akhir April, Panitia Kerja (Panja) Perfilman Komisi X DPR mengumumkan hasilnya kepada publik. Salah satu sorotan Panja adalah soal revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Dalam kesimpulannya, Panja dapat menerima usul revisi karena UU Perfilman memiliki beberapa kelemahan dalam pengaturan tentang perlindungan dan penghormatan hak cipta film, pendidikan film, serta perlunya penguatan kelembagaan Badan Perfilman Indonesia (BPI). Saya mengapresiasi kesimpulan Panja yang menerima usul revisi UU Perfilman ini, karena undang-undang tersebut memang tidak dapat dilaksanakan, tidak berdaya guna, dan rumusannya tidak jelas.

Saya sebelumnya sudah memaparkan bahwa banyak pasal dalam UU tersebut yang masih kabur ("Perlunya Revisi UU Perfilman", Koran Tempo, 18 Maret 2016). Pasal 32, yang paling sering menjadi percekcokan di kalangan perfilman, misalnya, menyatakan bahwa bioskop wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut. Apakah ini berarti judul bisa berapa saja, yang penting jumlah jamnya memenuhi aturan? Pasal ini tidak merinci apa yang dimaksud dengan film Indonesia. Apakah film yang bekerja sama dengan luar negeri termasuk film Indonesia?

Dalam penjelasan pasal itu, dikatakan bahwa kewajiban pemutaran film Indonesia itu tidak berarti memperbolehkan pertunjukan film yang tidak bermutu. Tak dijelaskan siapa yang menentukan sebuah film itu bermutu atau tidak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain itu, undang-undang itu sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman dan menyulitkan publik untuk memenuhi kepatuhan hukum.Padahal, kepatuhan hukum itu syarat utama agar hukum bisa berfungsi mencegah perilaku yang tidak dibolehkan; berfungsi kuratif terhadap tindakan yang berlaku surut, seperti sengketa, agar dapat diralat dan dipulihkan; serta peran penunjang untuk menyediakan pengakuan, jaminan, dan perlindungan dari lembaga hukum hal-hal seperti kontrak, hak cipta, dan hak-hak lainnya.

Panja perfilman sepertinya menyadari bagaimana undang-undang itu tidak menyebut tentang perlindungan hak cipta. Hernando de Soto menulis dalam Mystery of Capital bahwa pengakuan, jaminan, dan perlindungan hak cipta atau hak-hak milik rakyat secara legal merupakan pilar-pilar hubungan sosial yang amat penting untuk menghasilkan modal, uang, wirausaha, dan bisnis. Ini disebut De Soto sebagai sistem perlindungan formal.

Menurut De Soto, sistem perlindungan formal tersebut adalah rahasia atau misteri mengapa kapital dan investasi dapat tumbuh dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat yang hanya dihuni oleh 1 miliar penduduk. Ini sekaligus menjadi alasan mengapa kapital dan investasi tidak tumbuh di negara dengan 5 miliar penduduk seperti Asia, Afrika, dan Amerika Selatan menjelang akhir abad ke-20. Hal itu disebabkan di Eropa dan Amerika Serikat ada pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar rakyat, termasuk hak cipta. Adapun di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, sangat rapuh pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum atas hak-hak dasar rakyatnya. Maka, sangat tragis masalah hak cipta ini tidak disinggung sama sekali dalam UU Perfilman.

Efektif atau tidaknya sebuah peraturan perundang-undangan bisa dilihat dari berbagai parameter. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah ditentukan asas-asas hukum yang harus dipenuhi sebagai syarat pembentukan perundang-undangan yang baik, yakni kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Maka, jika ada undang-undang yang tidak jelas rumusannya, ini akan mempengaruhi kedayagunaannya.

Dalam undang-undang juga sering kali dipersyaratkan adanya peraturan lanjutan, seperti peraturan pemerintah atau peraturan menteri untuk mengatur lebih jauh pelaksanaan pasal-pasal tertentu. Namun, hingga akhir awal Mei tahun ini, setelah lebih dari enam tahun sejak diundangkan, belum juga lahir aturan lanjutan. Maka, UU Perfilman praktis tidak dapat dijalankan alias tidak berdaya guna.

Kita juga tahu, di dalam setiap peraturan perundang-undangan terdapat norma hukum, yang dikatakan bila memang dilaksanakan. Hukum yang baik adalah yang ditaati karena masyarakat menyetujuinya. Ancaman hanya berfungsi sebagai penunjang, karena yang penting adalah kesediaan masyarakat untuk tidak melanggar tatanan yang sudah diatur.

Anthony Allott (Valparaiso University Law Review, 1981) mengajukan teori bahwa efektivitas hukum dapat diukur dari level kepatuhan atau cocok dan tidaknya suatu hukum. Dengan demikian, konsep dan definisi efektivitas hukum ini mencakup pemilihan, penerapan, penegakan, manfaat, dan kepatuhan. Inilah yang tidak terjadi dengan UU Perfilman kita. UU tersebut sudah terbukti baik secara teoretis maupun praktis tidak efektif dalam usaha mengembangkan perfilman nasional. Secara gampang, mengikuti salah satu parameter pakar hukum Soerjono Soekanto, dalam mengukur penegakan hukum, UU Perfilman tidak efektif karena faktor hukumnya sendiri yang mengandung terlalu banyak kelemahan.

Karena itu, jawabannya adalah revisi atau bikin baru. 

Kemala Atmojo, pencinta film dan auditor legal.

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Rabu, 18 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler