x

Iklan

Peri Sandi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Teater Kita Banjarmasin Bermonolog di Rumah Dunia Banten

Tiga Monolog dua kebudayaan, Banten-Banjarmasin

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Monolog--atau one man show atau monodrama atau pencerita sekaligus penderita atau apapun istilahnya--disajikan kepada khalayak, meski sendirian, sebagai salah satu kategori pertunjukan. Di Nusantara, khususnya di daerah Sunda, pertunjukan seperti ini dikenal dengan istilah pertunjukan Pantun (pelakunya disebut tukang mantun); orang majalengka menyebutnya Gaok.

Sebab, bila seseorang bicara sendirian tanpa ada penontonnya, yang muncul dari perlakuan kita adalah pemakluman. "Maklum dia frustasi", "maklum depresi", "maklum super maklum", dst.

Monolog yang diikat dalam acara Banten-Banjarmasin Theatre Connection, di Rumah Dunia 22 Mei 2016 jam 19.30, menampilkan tiga judul. Pertama, "Tukang Obat" (TO), ditampilkan oleh Iman Bukhori. Kedua, "Metrourbanistik" (MU), ditampilkan Riza Rahim. Ketiga, "Kuciak Orang Bukit" (KOB), dibawakan oleh Yadi Muryadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum pentas tentulah kami sampaikan sinopsisnya, supaya penonton ada bayangan tentang isi setiap pertunjukan. Baehaqi mengawal pemandu acara dengan alunan musik, tujuannya membangun portal persiapan untuk penampil selanjutnya.

 

*Tukang Obat*

Pada pertunjukan TO, monolog mengisahkan minyak sakti hasil warisan leluhur, di mana minyak itu bisa membuat si pemakainya digampangkan segala urusannya termasuk dalam rezeki. Asal kita pakai minyak itu, apapun urusannya bisa dikatakan lancar jaya.

Bentuk tampilan dari pertunjukan sangat sederhana, pemain fokus pada kekuatan narasi dan seni peran, di beberapa adegan terkadang muncul pelafalan mantra dengan gaya dinyanyikan sambil memeragakan tarian upacara.

Pertunjukan ini sepertinya bermain-main dalam narasi naskah, di mana aktor setia berperan pada apa yang ada di dalamnya, sehingga yang muncul adalah permainan aktor dengan keragaman watak serta mimik, dan itu pula yang menjalin ketertarikan antara pemain dengan penonton selama 20 menit.

 

*Metrourbanistic*

MU disajikan dengan membawa property tangga, rantai, caping, kwali, dan kostum biasa saja tanpa make-up. Sehingga, kesan ketika pemain masuk, untuk sebagian penonton ia dianggap atau diperkirakan seorang stage crew. Nyatanya, dialah yang menyajikan pertunjukan yang berkisah tentang kota dan desa.

Tangga dan rantai dipakai ketika ia memeragakan tokoh tua yang dianggap berbahaya, brutal, dan kadang kala radikal, baik dari omongan maupun tindakan.

Monolog Riza mengungkap fenomena orang desa/kampung yang tak ingin disebut kampungan, atau orang daerah yang kelakuannya kekota-kotaan.

Sisi menarik dalam cerita monolog ini adalah orang tua yang berbahaya. Ia dipersonifikasikan sebagai desa yang dirantai dan dipenjarakan oleh keadaan zaman yang membuat tak berdaya, tak bisa mendapatkan haknya.

Desa yang dimunculkan riza adalah derita, namun di akhir cerita personifikasi desa meluas pada persoalan kedaerahan bahkan identitas nusantara.

Metrourbanistic

Bentuk tampilan dari monolog MU sejatinya bertolak dari keluar masuknya peran yang dimainkan. Riza menjadi narator kemudian beralih pada tokoh tua, terus berulang.

Riza sepertinya memperkuat tampilan pada tokoh tua, tokoh itu menjadi spesial, sampai riza berani mempertaruhkan dirinya untuk naik ke atas tangga reyot dan berani berdiam di atas backgroud (sebenarnya itu adalah rak buku) yang tak terlalu kuat bila dinaiki, beberapa penonton terkaget dan khawatir kalau-kalau ia jatuh dari ketinggian 5 meter.

Konsekuensi dari apa yang dilakukan riza adalah buyarnya fokus pada narasi yang ia usung dari sejak awal, sebagian penonton kemudian memilih fokus pada kekhawatiran, ketimbang mengingat narasi bagus yang telah dibangunnya.

Sebab penonton tahu betul bahwa backgroud itu bukan untuk dinaiki atau untuk tujuan spektakel, riza pada tampilannya memunculkan effek deprimental, dengan kata lain tujuan yang ingin disampai pemain ditangkap berlainan oleh penonton, bahkan penonton cenderung membuat cerita lain dari kejadian tersebut, sehingga hal semacam itu dapat mengganggu fokusnya cerita yang dibawakan.

Namun beruntunglah monolog itu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, lancar dan tidak terjadi hal-hal yang buruk.

 

*Kuciak Orang Bukit*

Monolog selanjutnya KOB yang dibawakan oleh Yadi Muryadi, bercerita tentang orang pribumi yang tidak rela bila hutan dan tanahnya dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sehingga menimbulkan perlawanan bahkan orang-orang pribumi siap berkubang darah.

Bentuk tampilan KOB mencoba menawarkan ungkapan estetik dari tradisi lama lewat kekebalan tubuh, dalam monolog itu tubuh tidak hanya dihadirkan sebagaimana tubuh sosial yang memiliki status, stratifikasi dll, namun lebih dari itu, ia mengahadirkan tubuh transendental yang dicapai melalui latihan panjang dengan pendekatan-pendekat asketis.

 

Lantas bagaimana proyeksi tubuh yang dihadirkan oleh yadi muryadi di mata penonton?

Sejarah panjang orang-orang timur, melulu bersumber pada keyakinan, dari sana pula ia mendapatkan sumber pengetahuan, aturan, bahkan etik dan seterusnya.

Keunikan keyakinan di Nusantara, bisa dilihat dari tolok ukur apapun agamanya yang masuk ke tanah ini, ia akan bersatu dan berdampingan dengan tradisi yang sudah dilakukan dari sejak dahulu kala.

Rumus ini bisa dipakai pula untuk mendekati pola pertunjukan yang ditampilkan Yadi Muryadi, dengan segala usaha bahwa teater kini bisa dijalin-satukan dengan pendekatan/bentuk total pemeranan tradisi itu.

Pada tahap bentuk pencarian estetik pertunjukan dan pemeranan, yadi muryadi berhasil menyatukannya dalam tampilan monolog.

Namun dalam sisi tertentu bentuk penyajian adegan berbahaya justru akan ditangkap sebagai wahana intrupsi dari etik sosial dan aturan agama tertentu, bahwa pertunjukan yang melakukan adegan berbahaya dengan keras ditabukan, koneksi budaya kedaerahan yadi muryadi terhambat oleh aturan daerah lain, atau bisa juga orang tua dengan kesadarannya berasumsi bahwa koneksi di beberapa adegan berbahaya tidak cocok untuk segmen tertentu semisal anak-anak.

Mari kita buka geoestik Banten yang juga memelihara tradisi pertunjukan berbahaya itu, kita akan mudah menemui pertunjukan semacam itu di beberapa acara keramaian, semisal dalam acara nikahan, sunatan, peresmian dll, ini menandakan bahwa ekspresi budaya semacam itu biasa di mata khalayak Banten.

Namun dikarenakan kebiasaan itu pula, lahir efek yang tidak diinginkan, bahkan tak satupun guru kekebalan menginginkannya, semisalkan untuk menyelesaikan masalah perseteruan mendahulukan kekerasan bahkan golok.

Image buruk semacam itu, pastilah mendapatkan tanggapan-tanggapan, misalkan seorang penyair Banten Toto St Radik mengajukan slogan "Simpan Golokmu | Asah Penamu"

Saya rasa kalimat itu dengan jelas menolak bentuk kekerasan apapun dalam menyelesaikan pertikaian, bukan dimaksudkan "tinggalkan tradisi berkesenian debus karena dalam debus ada permainan golok".

Dan sekali waktu rumah dunia pernah menampilkan anak-anak bermain debus di sebuah acara, sepertinya tampilan yang dianggap berbahaya itu justru biasa bagi masyarakat banten.

Lantas yang membayakan pertunjukan semacam yang berbahaya itu siapa?

Kecurigaan ini tentulah tidak berlandaskan. Sebab penonton di rumah dunia, lambat-laun akan didewasakan oleh permasalahan yang mereka temukan.

Jelas, adanya ruang budaya adalah mengawasi apa-apa yang masuk, bukan melarang yang masuk.

Pertunjukan Yadi Muryadi sebenarnya lancar dan tidak terganggu dengan hadirnya pertanyaan di benak penonton ketika melihat adegan yang berbahaya itu, tapi lebih pada argumen di kepala setelah pertunjukan selesai.

Tiga monolog selesai, semoga yang tersisa adalah koneksi pertemuan itu, jalinan persahabatan itu, mungkin saja isi pertunjukan terlupakan, tapi cerita yang dijalin dari pertemuan akan melekat sepanjang Banten dan Banjarmasin itu ada, ia memelulu akan terceritakan.

 

Salam Hangat

Peri Sandi Huizche

Warga Banten baru tiga bulan, dan mencintai teater seperti hidup.

Ikuti tulisan menarik Peri Sandi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler